Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dzikir Fitrah Dua Hati

15 Agustus 2019   15:29 Diperbarui: 15 Agustus 2019   15:51 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sudahlah Hensa. Perlahan tapi pasti, hari demi hari kita semoga  bisa memahaminya dengan baik asal kita mau melihat ke depan." Suara Aini tegas dan kali ini ada seulas senyum kecil di bibirnya. Benar yang harus dihadapi adalah melihat ke depan.

Begitu sederhanakah untuk memahami kenyataan takdir? Ternyata tidak sesederhana itu ketika aku mulai menginjakkan kaki di atas tanah, didalam kehidupan yang nyata. Kadang aku kehilangan pijakan jati diri. Kadang aku harus mencari dimana diriku yang sebenarnya. Kadang revolusi dalam jiwa ini terus bergejolak dari detik ke detik berikutnya hanya untuk mencari jati diriku.

Mungkin cara terbaik adalah hanya dengan berserah diri kepadaNya akhirnya akan kutemukan siapa diriku. Aku adalah kefanaan yang dengan pasti berasal dari ketiadaan. Sedangkan Allah adalah sejati sejatinya Kekekalan.

Saatnya kini aku harus banyak merenungkan semua yang aku lakukan. Sudahkah ada dalam hati ini keikhlasan dalam setiap langkahku? Sudahkah bersih setiap ucapan dan tindakanku? Sudahkah banyak manfaat diriku bagi orang-orang di sekitarku? Sudahkah makna selalu ada dalam hari-hariku? Sudahkah?

Padahal hari ini aku menyadari apa yang aku tengok kebelakang adalah banyak hal yang tertunda aku raih. Banyak hal yang terlewati sia-sia. Banyak hal yang hilap aku ingat. Aku hanya berharap Allah mengampuniku pada saat yang akan datang dan saat-saat kemarin dan dulu.

Sudah berapa banyak hari-hari aku lewati tanpa Aini Mardiyah. Rasa rindu yang menyebabkan hari-hari begitu merayap. Jarum jam seperti berhenti berdetak bahkan seperti berputar kembali ke arah yang berlawanan.

Idul Fitri tahun ini adalah pertama kalinya Aini berlebaran jauh dari orang tuanya dan siang itu aku menerima telpon melalui ponsel dari Aini.

"Hen pada hari yang fitrah ini aku menyampaikan mohon maaf lahir batin," kata Aini terdengar suaranya lembut seperti yang aku kenal selama ini.

"Aku juga menyampaikan permohonan maafku lahir batin dan selamat berlebaran. Bagaimana suasana sholat Idul Fitri di Brisbane ?" tanyaku kepada Aini.

" Tadi pagi aku sholat Idul Fitri di Islamic Center Brisbane bersama kaum muslim dan muslimat di Australia. Bapak Duta Besar Indonesia hadir di tengah-tengah kami. Lebaran di sini rasanya sepi tidak seperti di tanah air. Aku hanya bisa menangis ketika Papa dan Mama menelponku. Aku merindukan mereka," suara Aini terharu di seberang lautan sana.

"Ya Ain bersyukurlah sebab kamu masih memiliki kedua orang tua lengkap. Aku juga di sini merasakan haru yang begitu dalam karena untuk pertama kali berlebaran tanpa Ayah. Ternyata kita sekarang ini harus pandai-pandai menjadi orang yang ikhlas," kataku perlahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun