"Hensa, aku ingin kau memelukku untuk yang terakhir tapi aku takut ini justru akan semakin menambah kepedihan ini !" suara Erika penuh haru.
"Ya Ri, akupun demikian!" ucapku pelan.
"Izinkan aku hanya memandangmu Hensa!" katanya perlahan. Di depanku ia menatapku tajam. Jemarinya kugenggam erat ketika ia berkata lirih.
"Selamat tinggal Hensa!" desahnya sambil memandangku dengan mata yang berkaca-kaca.
"Selamat jalan Rika!" kataku tertegun.Â
Mata indah itu masih berkaca-kaca dan bibir manis itu bergetar. Sementara di luar sana awan mendung mulai mengurung semakin tebal semakin gelap. Hujanpun tak dapat dielakkan turun dengan deras sederas air mata Erika membasahi pipinya
Hari itu adalah hari terakhir aku bertemu Erika. Hari-hari berikutnya kulewati penuh dengan kehampaan dan kekosongan seolah dunia ini tak berpenghuni. Benar-benar sepi.Â
Saat sepi sepi itu menyapaku, selalu saja ada Aini hadir dalam benakku dan teringat kata-katanya. "Kamu harus tabah Hensa. Allah tidak akan membebani kita diluar kemampuan kita. Semua yang terjadi pasti sudah melalui campur TanganNya. Pasti selalu ada hikmahnya, "Â
Aku masih duduk membaca di perpustakaan itu sambil mencoba melupakan saat saat bersama Erika namun aku tidak berhasil. Akupun segera saja meninggalkan perpustakaan itu.Â
Setiap aku menuruni tangga-tangga perpustakaan ini, setiap itu pula aku selalu masih menghitung berapa jumlahnya dan ternyata memang masih genap. Tapi entah kenapa kini rasanya seperti ada sesuatu pijakan tangga yang hilang dan aku tak tahu dimana aku harus menemukannya.Â
Sungguh mati aku benar-benar tidak tahu. Sungguh aku rasanya sedang kehilangan sebuah pijakan.