Di depanku Erika duduk dengan tenang. Wajah yang teduh, tenang, bak telaga kedamaian. Rambutnya yang hitam sebatas bahu. Matanya yang bening dan tajam. Hidungnya, bibirnya dan ketika aku menatap semuanya ia mengangkat wajahnya. Aku tersenyum dan iapun tersenyum.
When eyes meet eyes and the feelings strong. I turn the way from the warmth. Stumble and fall but I give you it all (untuk melukiskan suasana ini kupinjam sepotong syair lagu Women in Love nya Barbara Streisand).
"Hensa, bagaimana perasaan hatimu saat ini ?" suara Erika demikian tenang.
"Aku tidak tahu. Tapi nampaknya hari ini aku merasa kau sangat lain, " kataku. Kulihat Erika tertunduk. Ia mempermainkan jemarinya dan di sana aku dapat melihat cincin tunangan itu begitu cantik menelusup di jari manis tangan kirinya.
"Aku tak bisa berkata apa-apa Hensa. Aku merasa hari ini kita bertemu untuk yang terakhir. Esok, esok aku tak mungkin bisa memandangmu lagi !" kata Erika sambil memandangku tajam. Aku menghela nafas yang rasanya sesak sekali.
"Rika, aku sudah menyadari semuanya!"
"Terima kasih!" suara Erika tersekat di kerongkongan.
"Hensa, aku juga harus menyadari bahwa esok calon suamiku akan membawaku pergi dari bumi Bogor ini" kata Erika. Rasanya dada ini semakin sesak dan aku hanya dapat memandang Erika yang tertunduk.
"Hensa !" suara Erika lirih sambil memandangku.
"Aku tak mau menangis. Bukankah kau menyukai jika aku tidak menangis?" katanya lagi. Tapi ternyata mata indah itu malah berkaca-kaca dan bibir manis itu bergetar menahan pedih.
"Bukankah kau ingin agar aku tabah?. Tabah menghadapi cobaan ini?" Erika tertunduk. Setitik air mata jatuh diatas jemarinya.