Maka pada siang itu kutinggalkan Perpustakaan dengan hati yang kosong lalu  kuturuni tangga-tangga perpustakaan itu dan selalu saja kuhitung walaupun aku tahu ada berapa banyaknya.
Sore itu sehabis pulang Praktikum Kimia Organik, Erika mengajakku untuk membicarakan sesuatu. Aku sudah tahu sebenarnya apa yang akan dibicarakan nanti.
"Hensa!" suara Erika pelan.
"Ya Rika!" kataku.
"Apakah kau pernah mendengar cerita Siti Nurbaya abad dua puluh satu ?" tanyanya.
"Ah sudahlah Ri, akan lebih baik jika kita dapat melupakan semuanya," kataku datar.
"Hensa! Aku harap kamu mengerti. Pertunangan ini tidak bisa aku tolak karena aku harus berbakti kepada orang tuaku, " suara Erika lirih dan air mata itu menitik di kedua lesung pipinya.
Ruangan perpustakaan itu sepi dan memang tak ada siapapun disana kecuali kami berdua. Eh, tidak, tidak, ada pegawai perpustakaan yang rupanya terheran-heran melihat Erika menangis.
"Rika, aku tak mau kau menangis. Aku mencintaimu seperti dulu walaupun sekarang harus aku hadapi kenyataan ini," kataku datar dan  Erika masih terisak.
"Hensa, bukankah kau bisa berbuat sesuatu untukku ?". Mendengar ini Aku hanya  terdiam.
"Maukah kau bawa aku pergi dari sini. Aku tak mau dipaksa mencintai orang yang tak kucintai," kata Erika terisak. Aku tersenyum memandang Sang Kekasih tengah menangis dan wajahnya tertutup kesepuluh jemarinya yang mungil. Ia terisak sehingga nampak bahunya terguncang.