"Aini kok sendirian? Erika mana ?" tanyaku ketika aku lihat Aini sendirian tanpa Erika.
"Tidak Hensa. Sore nantipun Erika tidak ikut praktikum. Dia hanya kirim salam untukmu," kata Aini. Mendengar ini aku hanya menarik nafas dan menambah rasa gundah gelisah ini semakin memuncak.
"Hensa, aku turut prihatin denga apa yang terjadi dengan kalian, " suara Aini penuh rasa simpati atas kejadian yang menimpaku.
"Terima kasih Aini."
"Kamu harus tabah Hensa. Allah tidak akan membebani kita diluar kemampuan kita. Semua yang terjadi pasti sudah melalui campur TanganNya. Pasti selalu ada hikmahnya, " kembali suara Aini sangat menenteramkan hatiku.Â
Memang kata-kata itu sering aku dengar namun saat kata-kata itu diucapkan oleh Aini maknanya terasa menjadi luar biasa. Bukan kata-kata biasa memang. Selalu saja terasa damai berada di dekat gadis ini. Entahlah saat seperti ini selalu saja Aini ada di sampingku.
Ruang kuliah hari itu begitu hening  dan sekitar 50 mahasiswa sedang mengikuti kuliah  Biokimia dengan khusyu. Di kelas itu terus terang aku tidak begitu fokus mengikuti kuliah karena perhatianku lebih banyak tertuju kepada seorang gadis cantik yang duduk di  baris kedua dari depan persis di samping kiriku. Gadis itu bernama Erika Amelia Mawardini.
Sejak SMP di  kotaku dia adalah cinta monyetku. Di SMA ternyata dia adalah cinta remajaku. Saat ini ketika sudah duduk di Perguruan Tinggi di kota Bogor ini ternyata dia masih juga menjadi cinta masa depanku.Â
Dalam dunia pelajaran sekolah, sejak SMP dulu, Erika adalah gadis yang pintar. Di kelas dia menjadi pesaingku dalam hal prestasi belajar. Sewaktu di SMA juga demikian bahkan ketika masuk Perguruan Tinggi di Bogor, Erika dan aku diterima tanpa testing alias melalui jalur prestasi di sekolah.Â
Berapa tahun sudah aku selalu bersamanya. Seolah tidak percaya jika saat ini Erika sudah bertunangan tapi bukan denganku. Rasanya seperti mimpi. Orang tua Erika menjodohkannya dengan seorang dokter muda, anak sahabat dekat ayahnya. Â Tentu saja dokter itu lebih mapan dariku. Bagiku ini mimpi buruk bahkan bukan lagi sekedar mimpi tapi kenyataan pahit yang harus aku hadapi.
Siang itu aku menuju Perpustakaan di lantai dua dan aku masih juga iseng menghitung tangga-tangga perpustakaan itu walaupun sudah tahu ada berapa banyaknya. Perpustakaan pada siang yang mendung ini sangat sepi. Di pojok sana kulihat Alan dan disampingnya Aini Mardiyah. Alan sedang asyik membaca dan Aini menulis beberapa informasi dari jurnal yang sedang dibacanya.