Pagi menjelang siang sang bagaskara menunjukan kegagahannya. Teriknya merangsek tembok beton melalui bilik lubang udara, suhu kos mirip ubi cilembu yang mulai mengeluarkan manis madu di tungku panggang. Baling-baling kipas yang konon katanya mampu menyulap udara menjadi sejuk ternyata hanya isapan jempol belaka. Kaos oblong di punggung basah kuyup, lama sekali kuperhatikan, teringat dua jendela belum kudorong ke arah luar.
Sebelumnya, tiga hari yang lalu Roni tampak begitu murung. Ia lebih banyak diam. Aku tak berani menyapa, tetapi aku masih sempat membuatkannya secangkir kopi campur gula aren kesukaannya. Aku mungkin sudah membuatnya kecewa, tetapi ini sudah menjadi pilihan akhir. Aku harus ambil blanko cuti. Dan tanggal pengajuan sudah mepet jadi aku segera menaruhnya di bagian ruang administrasi kemahasiswaan.
Bapak butuh pupuk untuk sawah kami. Dan kebetulan aku ada tabungan dari hasil gerobak kopi. Aku tahu itu tabungan untuk ongkos paket SKS dan SPP. Hal ini menjadi pukulan keras bagi Roni sebab aku terlambat bercerita.
Sesaat hapeku berdering singkat, satu pesan masuk melalui aplikasi watsap. Aku bergegas membacanya.
"Bro, apakah paket buku dari Pak Saipul sudah datang?" bunyi pesan itu.
"Oh sudah dong. Aku baru selesai membaginya menjadi 2 bungkus kardus bekas mie instan kita," tulisku, sembari menunggu balasan karena terlihat tiga titik gelombang bergerak berulang.
"Ok, Sipp! Tapi... Bisa hadir ke kampus sekarang?"
"Kalo sekarang, ya enggak bisa!"
"Kenapa?"
"Aku belum mandi. Kalo mau ya habis mandi, gimana?"
"Dobol!"