Tanda Tangan
Pagi yang manja memaksa mataku terhenyak dari buntalan kapuk randu yang empuk, harum, dan hangat. Tak terdengar suara azan, tak juga terdengar alunan selawat. Sekejap kutengok benda bulat menempel di dinding. Betapa terkejutnya aku, jarum jam menunjuk tegas pukul enam lebih sedikit. Seketika aku duduk meringis kesakitan. Batok kepalaku serasa dihantam palu godam. Aku berusaha bangkit lalu segera membasuh muka dalam kondisi sempoyongan.
"Nyenyak sekali tidurmu. Asoy,"
"Sial!! Tahu begini, tak sudi aku melayani mereka."
"Sabar! Mereka itu pelanggan setia kita! Ingat!! Pelanggan adalah raja."
"Usang sudah pepatahmu itu. Mana ada raja ngopi di emper gerobak gerbang kampus."
Mungkin karena kurang tidur kepalaku terasa pening sekali. Orang-orang itu memang tidak bisa dikasih hati. Besok-besok kutulis saja. Gerobak tutup tepat jam dua belas malam.
"Maaf kawan, aku harus segera berangkat." Tukas Roni terlihat rapi komplit tas ransel 35 liter di pundak sambil mengenakan sepatu hiking.
"Eh! Baru kali ini aku lihat orang pergi mendaki berkemeja rapi," timpalku sesaat.
"Pagi ini aku ada janji di kantin kampus satu bertemu Pak Saipul," ujarnya sembari bangkit dan menstater Honda Legenda kesayangannya.
Mendengar itu, tanpa permisi pening kepalaku sirna. Aku mendekati sahabat karibku itu. Kemudian menghaluskan suara, "Kamu yakin!"
Roni hanya melempar senyum.
"Aku serius!"
Roni menaikkan pundak.
Sesaat, Honda Legenda itu melaju pelan kemudian senyap.
Dua minggu lagi jadwal kuliah sudah mulai aktif. Tiga hari ini ramai mahasiswa dari luar pulau Jawa sudah banyak berdatangan. Kondisi seperti ini tentu sangat baik bagi kesehatan dompetku yang bersumber dari secangkir kopi.
Aku punya gerobak kopi dengan desain minimalis. Tidak besar hanya berukuran 80x80 cm dengan tinggi meja 1 meter sejajar perut, disertai atap melengkung yang ditopang 4 besi hollow setinggi 1 meter. Memiliki gagang dorong yang dapat dilipat serta 2 laci dilengkapi kunci. Semua kerangka terbuat dari besi dengan aksen kayu.
Gerobak kopi itu sebenarnya hasil dari usaha Roni demi menghadangku dari cuti kuliah. Dulu sempat terlintas setelah berakhir semester dua aku berencana ambil cuti. Dari awal bapak memang sudah mewanti. Ia hanya bisa bantu hingga semeter dua. Setelahnya, tidak tahu. Sebab kebutuhan dua adikku juga tidak sedikit. Namun, rencana itu kemudian gagal total ketika Roni datang menjengukku di desa.
Roni yang saat itu masih asisten dosen tiba-tiba saja datang dengan khas dandanan seperti orang hendak mendaki. Mula-mula Roni mendekatiku, kemudian menyapa dengan suara pelan.
"Bro... Ayo, ikut aku lagi?"
"Proyek!!!" sahutku singkat.
"Jangka panjang," timpal Roni.
"Apa yang bisa kubantu?"
"Cukup kau kerjakan malam hari. Dan saat pagi tiba kau bisa kuliah kembali." Terang Roni sembari menunjukkan gerobak kopi yang sudah berdiri gagah di galeri foto ponsel pintar miliknya.
Butuh modal yang tidak sedikit untuk sebuah gerobak minimalis seperti itu. Aku lalu bertanya. "Kau melibatkan Pak Saipul?"
Sesaat aku mendengar tarikan napas yang dalam lalu menjawab. "Aku hanya berkeluh kesah, tetapi ia malah menawarkan gerobak itu."
"Tentu ini tidak gratis!!"
"Menurutmu enam bulan cukup kan untuk bisa balik modal?"
Aku mengangguk.
Tak terhitung berapa jumlah kebaikan Pak Saipul mengalir kepada kami berdua. Mungkin juga kepada mahasiswa yang lain. Pak Saipul adalah dosen di kampus kami yang kebetulan mengajar mata kuliah kewirausahaan. Roni dan Pak Saipul punya ketertarikan yang sama yaitu soal buku.
Pernah Suatu ketika aku terlibat megaproyek yang dipelopori Roni di desa kami yaitu mendirikan sebuah perpustakaan mini. Awal mula memang mini, tetapi karena sambutan dari warga desa sangat antusias perpustakaan semakin besar. Bangunannya bergandengan dengan gedung SD di desa kami. Roni yang memasok buku-buku itu. Mulai dari koran Kompas, Jawa Pos, aneka majalah, komik, novel, hingga buku bertema perikanan, perkebunan, dan pertanian.
Setiap satu bulan sekali, aku pulang pergi dari desa tempat tinggalku menuju kota tempat Roni kos hanya untuk menjemput buku-buku yang sudah dibungkus rapi untuk khazanah rak buku di perpustakaan desa kami. Semenjak saat itu, timbul keinginanku untuk ikut masuk kampus ambil jurusan yang berkaitan dengan pertanian. Aku rasa belum terlambat walau sudah satu tahun aku lulus dari bangku SMA.
Suatu sore selepas dari kampus Roni berkunjung ke sebuah toko buku bekas langganannya. Roni mengira penjual di toko buku bekas langganannya itu adalah pemilik toko asli. Akan tetapi, tiba-tiba saja Roni terkejut seorang pria paruh baya datang. Ia adalah Pak Saipul. Saat ia datang, Si Penjual tiba-tiba menunduk lalu meraih dan menyalami tangan Pak Saipul. Sejak saat itu Roni tahu Pak Saipul adalah pemilik toko buku bekas yang sebenarnya. Dan sejak pertemuan itu pula mereka berdua semakin akrab.
***
Pagi menjelang siang sang bagaskara menunjukan kegagahannya. Teriknya merangsek tembok beton melalui bilik lubang udara, suhu kos mirip ubi cilembu yang mulai mengeluarkan manis madu di tungku panggang. Baling-baling kipas yang konon katanya mampu menyulap udara menjadi sejuk ternyata hanya isapan jempol belaka. Kaos oblong di punggung basah kuyup, lama sekali kuperhatikan, teringat dua jendela belum kudorong ke arah luar.
Sebelumnya, tiga hari yang lalu Roni tampak begitu murung. Ia lebih banyak diam. Aku tak berani menyapa, tetapi aku masih sempat membuatkannya secangkir kopi campur gula aren kesukaannya. Aku mungkin sudah membuatnya kecewa, tetapi ini sudah menjadi pilihan akhir. Aku harus ambil blanko cuti. Dan tanggal pengajuan sudah mepet jadi aku segera menaruhnya di bagian ruang administrasi kemahasiswaan.
Bapak butuh pupuk untuk sawah kami. Dan kebetulan aku ada tabungan dari hasil gerobak kopi. Aku tahu itu tabungan untuk ongkos paket SKS dan SPP. Hal ini menjadi pukulan keras bagi Roni sebab aku terlambat bercerita.
Sesaat hapeku berdering singkat, satu pesan masuk melalui aplikasi watsap. Aku bergegas membacanya.
"Bro, apakah paket buku dari Pak Saipul sudah datang?" bunyi pesan itu.
"Oh sudah dong. Aku baru selesai membaginya menjadi 2 bungkus kardus bekas mie instan kita," tulisku, sembari menunggu balasan karena terlihat tiga titik gelombang bergerak berulang.
"Ok, Sipp! Tapi... Bisa hadir ke kampus sekarang?"
"Kalo sekarang, ya enggak bisa!"
"Kenapa?"
"Aku belum mandi. Kalo mau ya habis mandi, gimana?"
"Dobol!"
Aku membalas ikon dua jari, tiga kali berderet.
"Langsung ke ruang seperti biasa."
Aku membalas lagi dengan ikon kuning vespa diikuti ikon asap berkebul.
Siang itu pemandangan kampus tak begitu ramai seperti hari-hari biasa. Hanya beberapa fotocopy dan loket jual alat tulis yang masih buka. Semilir angin menghantam mukaku. Sejuk sekali udara hari ini. Berbeda sekali dengan di kosku tadi. Ku lihat jam di tangan menunjukan angka sebelas. Aku berlari kecil menuju tangga ke lantai dua tempat di mana ruang sahabat karibku berada. Sesaat kulihat dari bingkai daun pintu yang terbuka Roni dan Pak Saipul menyandarkan diri di antara daun jendela kaca sepertinya mereka sedang mengobrol serius. Roni manggut-manggut memperhatikan.
Tiba-tiba Pak Saipul menoleh, "Eh! Masuk mas," Sapanya.
Aku bergegas masuk, kuraih tangannya dan kutempelkan pada kening sesaat. Roni mengulurkan tangan ke arah Pak Saipul, isyarat kalau Pak Saipul mau berbicara penting.
"Mas! Saya sudah dengar Roni cerita. Masalahnya sekarang, dua minggu lagi jadwal kuliah sudah aktif. Seharusnya sebelum sampean bergerak cerita dulu ke Roni biar urusan tidak runyam!"
"I-iya Pak, maaf Pak. Tapi sa-saya sungk..." Sesaat Pak Saipul memotong.
"Halah! Waktu sudah mepet. Nanti kalian berdua ngobrol." Ujar Pak Saipul sembari meraih tas laptopnya dan bergegas pamit. "Ron! Saya harus segera pulang nanti jam dua ada penerbangan."
"Siap Pak!!!" balas Roni keras.
Seketika ruangan berubah sunyi menyisakan aku dan Roni saling diam berdiri.
"Bro..." Sapa Roni memecah kesunyian dan mengulungkan sebuah blanko dilengkapi tanda tangan yang bagiku tidak asing.
"Ron...!"panggilku segera menerima blanko itu setengah percaya setengah tidak. Aku lanjut bertanya. "Penerbangan...?"
"Beliau diminta mengajar di sebuah Universitas di Jakarta." Timpal Roni.
"Jadi... Kamu Sekarang!!!" jari telunjukku mengarah ke meja dan kursi bekas milik Pak Saipul.
"Aku mau ada rapat di zoom. Jadi! Selesaikan dulu urusanmu di bagian input data. Buruan!" ujarnya sembari duduk dengan telapak tangan goyang berulang seperti mengusir gerombolan anak ayam.
"Ron...!" panggilku lagi sembari menunjuk tanda tangan di blanko SKS.
"Aman! Pak Saipul tadi bilang tanda tangannya masih sakti."
Setelah mendengar itu aku lega. Teringat hari itu bapak berdoa kurasakan begitu nyata doa itu di hari ini.Â
TAMAT
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H