Seumur-umur kenal Sendok, belum pernah dia cerita tentang Mangkuk. Suatu pagi setelah kopdar malam itu, sekira jam 9. Satu karton kardus indomie goreng diangkat Sendok dengan gagah. Sendok senyum-senyum. Dari Mangkuk katanya. Barusan saja Mangkuk datang dan mengantar lalu pamit pulang. Pertemanan macam apa ini. Membuat saya semakin penasaran. Kalau saya tanya langsung tentang Mangkuk, percuma. Sudah jelas Sendok acuh. Saya paham betul karakter Sendok. ingat! Memancing Sendok bercerita diperlukan cara khusus.
"Dok!"
"Yups," tukasnya sambil menyalakan laptop, mungkin Sendok mau menulis.
"Aku mau bertamu ke tempat Garpu. Kamu..."
"Haesss... Aku enggak ikut. Salam buat Garpu. Dan bilang padanya, aku lagi sibuk."
Tempat Kos Garpu tidak jauh. Tidak sampai 10 menit sudah sampai. Jadi maksud kedatangan saya ingin meluruskan lagi niat saya untuk belajar menulis. Dan mungkin, bisa jadi, Mangkuk yang membuka jalan menulis saya. Garpu angguk-angguk mendengar penjelasan saya.
"Ayo minum dulu, biar hatimu lebih santai," ujar Garpu sembari menawarkan teh hangat.
Kemudian saya meminumnya. Garpu melanjutkan.
"Begini Hen. Kamu jangan terpaku hanya pada sosok-sosok yang unik di lingkaran Sendok. Ingat! Bagaimanapun, aku, Mangkuk, dan mungkin juga yang lainnya. Tidak akan bisa membantu banyak untuk bahan tulisanmu. Yang perlu kamu pelajari, justru sosok Sendok itu sendiri."
Waduh! kajian berat ini bro. Ini sama saja, saya tanya tentang Mangkuk ke Garpu, tapi malah justru Garpu melempar kembali ke arah Sendok. Memang kalian semua ini kumpulan orang yang unik dan konyol.
"Tapi... Gini aja deh. Singkatnya, seperti apa sih sosok Mangkuk itu, menurut pribadimu..." tanya saya pasrah sudah.
"Sendok enggak akan besar tanpa Mangkuk. Begitu sebaliknya, Mangkuk enggak akan besar tanpa Sendok." jawab Garpu ketika itu dengan senyumnya yang khas. Dan saya semakin tidak mengerti. Tapi di hadapan Garpu, saya pura-pura mengerti angguk-angguk. Hanya itu upaya yang bisa saya lakukan agar Garpu tidak lagi melanjutkan kajiannya. Paling tidak ketika Garpu memandang saya, dia beranggapan, saya sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya. Akhirnya kami ngobrol yang ringan-ringan saja. Mengurai suasana biar tidak serius. Kemudian saya pamitan.
Sebelum saya balik ke kos, saya mampir dulu ke Indomaret. Cari cemilan yang ringan-ringan.
"Kok tumben enggak lama di tempat Garpu?" tanya Sendok sembari pandangannya serius mengarah ke monitor laptop tanpa menoleh ke saya.
"Kayaknya Garpu sedang ingin menjadi filsuf, bahasanya berat sekali, nyerah aku," jawab saya sembari membuka cemilan.
"Nggak banyak berubah sikap anak itu."
"Loo... Emang sudah lama dia kayak gitu?"
"Goblok! Masak kayak gitu aja perlu dijelaskan."
"Namanya juga nanya!"
"Goblok!"
"Ben."
Ingat! Jangan tersulut emosi saat Sendok berkata seperti itu. Ini taktik saya untuk Sendok masuk perangkap. Selagi dia tidak menoleh saya bisa leluasa buka cemilan yang suatu saat bisa membuat hatinya luluh.
"Biskuat ya?" tukas Sendok cepat dan sedikit melirik.
"Kok tau..."
"Ya taulah, suara bungkusnya enggak asing."
"Masalahnya... Kamu mau enggak?"
"Goblok! Kayak gitu pake nanya."
Nah, Saya lihat Sendok mulai menyimpan hasil tulisannya. Kemudian duduk santai dan menikmati biskuat.
"Tak buatin kopi ta Dok?"
"Yo enggak cocok loh Hen, kalo kayak gini minumnya ya teh anget. Rokoknya yang filter. Pass!"
"Wah kebetulan ini," ujar saya sambil mengulungkan rokok gudang garam internasional ke Sendok. Lalu sejenak saya buatkan teh poci.
"Hen! Kayaknya kali ini kamu harus tahu tentang Mangkuk." Saya 'maklap' mendengar Sendok berkata demikian.
"Tapi, tadi kenapa nggak kamu paksa, mampir sebentar saja kan bisa."
"Loo... Kamu nggak tau kalo Mangkuk itu orang super sibuk," ujar Sendok membesarkan sahabatnya itu.
"Halah... Paling-paling nggak jauh dari seputar dunia taruhan," timpal saya meremehkan.
"Eh! Hen! Jangan salah. Mangkuk itu dikenal banyak orang karena dianggap punya kesaktian."
"Wuuiiihh... Sangar!!!" lanjut saya bertanya. "Tapi... Kamu percaya Dok?"
Sendok menaikan bahu.
"Dulu, di kampus kita itu. Jam kuliah bisa sampe malem." Sembari Sendok berkisah, saya menyuguhkan teh poci yang masih hangat.
"Tapi, pas jam kuliah hampir usai kalo nggak salah 3 orang mahasiswa tiba-tiba saja kerasukan. Lah kok yo pas waktu itu di malem jumat. Rame itu satu gedung UKM. Kebetulan yang kena rasuk pas di depan gedung UKM kita itu. Mangkuk yang baru saja keluar dari WC, yang katanya habis bongkar muat, mendadak kaget. Akhirnya kita putuskan ke TKP," ujar Sendok sembari tangannya ikut bergerak saat bercerita.
"Terus-terus..." tukas saya.
"Itukan semua pada bingung. Dosen juga bingung. Cuma Mangkuk yang baru saja masuk ke ruang kuliah terlihat dingin dan mendadak suasana jadi tenang." Saya mengernyit dahi mendengarnya.
"Sebentar!" ujar Sendok sembari membuka bungkus rokok yang masih baru tadi. Kemudian memantik korek.
"Kowe metu! metu! metu! Begitu kata Mangkuk sambil telunjuknya ke arah 3 mahasiswa yang kerasukan tadi. Nggak lama, 3 mahasiswa tadi lemas dan sadar." Kali ini saya takjub. Sendok melanjutkan. "Semenjak kejadian itu Mangkuk naik daun. Dan konon sampe ada yang cari tahu kalo ternyata Mangkuk kelahiran dari Kota Banyuwangi."
"Sangar rek..." ujar saya lagi-lagi takjub.
"Ada lagi Hen. Tapi khusus yang ini, aku kayak setengah percaya dan setengah enggak percaya. Soalnya, Mangkuk kadang-kadang radak konyol."
"Heeemm... Dobol! Iki mesti akal-akalan?" timpal saya agak ragu.
"Sik... Sik..." ujar Sendok berusaha mengingat sembari menghisap agak lama rokok di tangannya. "Waktu itu, tahun kapan ya...!!!"
"Halaah... Wis, langsung ae cerita, kesuwen!" tukas saya tidak sabar.
"Nah!!! Ingat aku," sesaat kedua bola matanya melotot. Lanjut Sendok. "Waktu itu kalo nggak salah memang sudah saatnya masuk musim penghujan. Dan hujan kali ini datang lebih cepat. Dan kebetulan juga pas ada kegiatan ospek kampus yang rencananya diselipkan stressing sebagai acara penutup. Padahal di tahun-tahun sebelumnya sudah enggak ada acara kayak gituan."
"Hheeemmm!" gumam saya.
"Kebetulan aku koordinator bidang kerohanian. Aku menolak keras. Tapi ketua panitia tetap ngeyel, nggak bisa, pokoknya acara itu harus ada. Karena aku kalah suara, Mangkuk tak hubungi. Aku bilang ke Mangkuk, untuk kali ini kamu harus tampil. Ini demi adik-adik Maba."
Sendok memantik korek.
"Terus... teruss..." seru saya memunggu Sendok bercerita lagi.
"Mangkuk datang. Ngancam panitia. Katanya, kalo enggak dibatalkan tak panggilkan hujan. "Wong edan. Mahasiswa kok ngelenik! Goblok!" kata ketua panitia waktu itu. Mangkuk pergi dengan santai, tersingung juga enggak. Malahan setelah itu Mangkuk langsung melakukan prosesi ritual memanggil hujan. Sebetulnya saat itu langit sudah tampak mendung dan gelap. Mangkuk memantik korek dupa dibakar. Langit berubah tambah gelap. Angin datang, sedikit demi sedikit terasa angin bertiup semakin kencang. Adik-adik maba yang tadinya disuruh kumpul untuk acara stressing tiba-tiba ragu. Nggak lama seketika hujan turun sangat deras. Acara gagal."
"Semudah itu memanggil hujan?" timpal saya setengah enggak percaya.
"Sebentar..." balas Sendok yang kali ini nyambi ngemil biskuat.
"Karena waktu itu ketika Mangkuk sedang ritual, hadir beberapa panitia diutus untuk mengikuti Mangkuk dari kejauhan. Aku ada di samping Mangkuk, tak sampaikan, "Mbok ya sudah aktingnya, toh hujan sudah turun." Dengan suara pelan Mangkuk membalas, "Sudah terlanjur, sekalian didramatisir."
Sejak kejadian itu, Mangkuk menjadi buah bibir. Pamornya semakin moncer. Kalau cuma sekedar menolak hujan hal seperti itu sudah biasa. Tapi ini malah mendatangkan hujan. Bukan sembarang orang bisa. Kata Mangkuk, itu cuma soal keterampilan membaca musim saja. Hingga sekarang Mangkuk tidak pernah sudi menerima tawaran yang berhubungan dengan hujan. Tapi kadang kala ada saja yang memaksa. Kalau sudah begini Mangkuk cuma bisa berkata, "Maaf saya enggak mau kalau tidak dibayar sangat mahal."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI