"Tapi... Gini aja deh. Singkatnya, seperti apa sih sosok Mangkuk itu, menurut pribadimu..." tanya saya pasrah sudah.
"Sendok enggak akan besar tanpa Mangkuk. Begitu sebaliknya, Mangkuk enggak akan besar tanpa Sendok." jawab Garpu ketika itu dengan senyumnya yang khas. Dan saya semakin tidak mengerti. Tapi di hadapan Garpu, saya pura-pura mengerti angguk-angguk. Hanya itu upaya yang bisa saya lakukan agar Garpu tidak lagi melanjutkan kajiannya. Paling tidak ketika Garpu memandang saya, dia beranggapan, saya sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya. Akhirnya kami ngobrol yang ringan-ringan saja. Mengurai suasana biar tidak serius. Kemudian saya pamitan.
Sebelum saya balik ke kos, saya mampir dulu ke Indomaret. Cari cemilan yang ringan-ringan.
"Kok tumben enggak lama di tempat Garpu?" tanya Sendok sembari pandangannya serius mengarah ke monitor laptop tanpa menoleh ke saya.
"Kayaknya Garpu sedang ingin menjadi filsuf, bahasanya berat sekali, nyerah aku," jawab saya sembari membuka cemilan.
"Nggak banyak berubah sikap anak itu."
"Loo... Emang sudah lama dia kayak gitu?"
"Goblok! Masak kayak gitu aja perlu dijelaskan."
"Namanya juga nanya!"
"Goblok!"
"Ben."