Mohon tunggu...
Hening Nugroho
Hening Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Laki-laki

Menulis itu sederhana Ig @hening_nugroho Waroenkbaca.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anjing Kencing

27 Januari 2021   22:13 Diperbarui: 27 Januari 2021   22:15 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Anjing Kencing
Penulis : Hening Nugroho

Sorot matanya tidak bisa lepas dari lingkaran terang sinar lampu senter, apa boleh buat, pagi-pagi sekali senter itu harus dipaksa ekstra keras untuk menerangi bekas siraman airyang masih tercecer di tanah. Namun tiba-tiba cahaya senter itu berkedip-kedip, redup, lalu menghilang.

"Goblok!" seru polisi, senternya dibanting, frustasi.

Polisi itu kini menatap dengan mata buta, tanpa penerangan sama sekali, menatap
tanah basah bekas guyuran air keras, polisi itu menyaksikan dengan mata telanjang kalau tanah itu merekah dan sedikit busa disana, mungkin proses kimianya sedang bereaksi. 

Polisi itu was-was tidak mau bertindak gegabah. Sedikit tanganmu kena matilah kau, air itu bisa menawarkan kematian.
Polisi yang sekarang berjongkok itu tidak punya analisis tajam tentang hal-hal yang
begituan, maklum dia polisi preman bukan ahli kimia beracun. 

Sementara yang lain menggelar garis polisi, ditarik dan dibentangkan mengurung
lokasi kejadian. Sedangkan polisi lalu lintas sedang mengatur jalan, ditutup dan dialihkan ke jalan lain sambil mengayun-ngayunkan tongkat yang menyala-nyala, mereka juga sedang asyik bermain walkie-talkienya, mengkonfirmasikan kawan-kawannya yang berada di sekitar untuk segera berkumpul ke lokasi kejadian, ini penting.

"Brik ... brik ... kresek ... kresek ... kresek ... " bunyinya tak jelas, polisi mengucap patah-patah, menyuruh rekan-rekannya agar segera merapat ke lokasi.

Lokasi kejadian yang akan diperiksa berada di bawah pohon. Pohon yang belum diketahui namanya, polisi belum bisa mengidentifikasi karena mereka sedang fokus pada alat bukti, tapi bisa dilihat dari tingginya kira-kira setinggi orang dewasa. Namun salah seorang warga nyeletuk, pohon cabe. Masak polisi gak ngerti.

Muda-mudi setengah ngantuk buru-buru datang ke tempat itu menyaksikan sebuah kejadian yang mendatangkan banyak polisi. Apalagi banyak media juga yang sedang mengutip berita itu, ada yang mencatat, wawancara, ada juga yang sedang cari produsernya agar cepat-cepat menayangkan di tv biar dapat rating nomor satu. Sementara warga berharap wajahnya nongol juga disiarkan langsung secara nasional meski belum mandi, maklum kejadian mendadak di pagi hari, kalau tidak salah habis subuh, jadi masih agak gelap, situasi yang masih nyaman buat tidur sebenarnya. 

Di samping pohon cabe itu ada sebuah toko kelontong, lumayan besar tokonya, berkali-kali polisi menatap toko itu padahal belum buka, masih terkunci rapat, apakah ada hubungannya dengan kasusnya, entah tidak tahu. Tapi setelah diperhatikan baik-baik, mata polisi itu terus-menerus menatap ke atas lalu salah satunya menunjuk dengan jari telunjuknya, mengarah ke kamera CCTV.

Setelah ditunggu beberapa menit akhirnya para polisi berkumpul, mereka bergerombol namun belum terlihat polisi yang berpangkat tinggi, mereka hanya polisi-polisi yang sebetulnya tidak berwenang menyelidik ke tahap yang lebih tinggi. 

"Yang penting amankan TKP, kita tunggu tim," kata polisi itu.

Ada beberapa polisi yang masih tertidur, ada pula yang sudah terjaga namun kali ini semua harus sudah bangun, ini peristiwa besar yang bisa menyita seluruh negeri. Tidak usah khawatir awak media sudah siap menyiarkan. 

Kembali ke lokasi, polisi berwajah preman itu tak habis-habisnya menyelidik, adarasa penasaran tapi dia tak kuasa menangkap benda apa itu, sekilas air biasa tapi berbuih, air keras sudah biasa disebut namun yang paling jelas itu air apa, polisi preman itu tak bisa menyimpulkan, kadang hanya bermain tebak-menebak sendiri. Wajahnya sudah berkeringat padahal pagi masih sejuk. Efek psikologis, kasus ini sepertinya bakal panas, dan hampir saja tangannya menyentuh barang bukti itu tapi kemudian.

"Hei pakai sarung tangan!" salah seorang petugas berseragam rompi oranye datang
sambil melempar sarung tangan putih plastik, dia petugas kepolisian yang memang punya wewenang menyelidik kasus-kasus seperti itu. Benda-benda beracun semacam apapun bisa ditafsirkan oleh orang itu. 

Polisi berwajah preman itu menuruti, langsung dia pakai sarung tangan itu, dia belum kenal petugas berompi oranye itu tapi dari saku kanannya tertulis nama Darto. 

"Jangan kau sentuh tanah itu, bahaya," kata Darto

Polisi preman itu menyahut, "dari mana kamu tahu ini bahaya?"

"Itu air raksa, bila kamu sentuh dikit saja tanganmu bisa melepuh," kata Darto sambil
menyarungkan tangannya dengan sarung plastik elastis.

"Jadi memang betul ini air raksa?"

"Ya, aku bisa lihat dari bekas tanahnya, kucium aromanya tak berasa," kata Darto

"Kalau kamu pikir aku bercanda coba kamu hirup sendiri tapi jangan terlalu dekat
nanti kamu tersedak," perintah Darto

Polisi preman itu buru mencium tanahnya. Dan memang benar tidak ada baunya.
Darto mengambil plastik dari tas lalu dengan satu sendok kecil mengambil sempel
tanahnya untuk diperiksa lebih lanjut di laboratorium.

"Korbannya sudah dilarikan ke rumah sakit?" tanya Darto

"Tahu dari mana?" polisi preman itu terkejut

"Intelijen," singkat Darto

"Secepat itu?"

"Ya."

"Katanya memang seperti itu tapi aku sendiri kurang jelas peristiwa yang terjadi, kata
orangku, si "dia" wajahnya disiram air keras pas subuh tadi," kata polisi preman itu.

"Ya memang begitu, dan aku yakin peristiwa ini tidak akan terungkap," kata Darto sambil menatap tajam mata polisi preman itu.

"Kamu yakin?"

"Pasti."

Salah seorang polisi berseragam preman lainnya datang, "Redian, tugasmu sudah
selesai sebentar lagi Jenderal datang," katanya.

"Siap," jawab Redian.

Darto menyahut, "oh namamu Redian?" seraya mengulurkan tangannya.

"Iya Pak," Redian menyambut tangan Darto. Redian tahu kenapa dia manggil Pak,
karena Darto memang sudah agak tua usianya kelihatan dari wajah yang keriput dan rambutnya yang beruban hampir menutupi seluruh kepala.

Sementara atasan Redian yang pangkatnya lebih tinggi sudah bergegas mengambil
telepon genggam dan menelepon sang Jenderal dengan sangat hati-hati.

***

Pagi yang memang benar-benar menyiksa, sang Jenderal menguap keberapa kalinya, mungkin sudah tujuh kali sejak dia dilantik jadi Wakil Kepala Polisi. Namanya Jenderal Panco, kiranya dia sedang menikmati fasilitas mewah yang didapat dari jabatan pentingnya di Kepolisian. 

Baru tujuh hari artinya satu minggu sesudah dilantik, Jenderal Panco menikmati rumah dinas kepolisian yang mewah. Tujuh kali pula dia menguap, dan tujuh kali pula berat badannya naik. Rencananya hari yang ketujuh ini Jenderal Panco ingin memerintahkan anak buahnya untuk segera mengganti seragamnya yang sudah kekecilan, khususnya bagian perut dan hari ini pula dia mau plesir ke pantai, mumpung hari minggu. Tapi tiba-tiba ponselnya berdering kencang menggetarkan gendang telinganya yang sensitif. 

"Kriiiing ... "

Jenggirat, Jenderal Panco langsung terbangun dengan posisi duduk. Sepertinya dia masih trauma dengan latihan keras saat menjadi taruna di Akademi Kepolisian. Apa sekarang mau diulangi, ah, itu zaman susah, sekarang sudah enak. 

"Kriiiing ... "

Edan, ponsel satunya juga bunyi, ternyata si Jenderal punya ponsel banyak. Sang Jenderal hanya menatap, ada apakah gerangan, dua-duanya bunyi, apakah ada yang penting. Sesaat hatinya gelisah belum pernah sejatinya dia merasakan tugas berat yang menimpa dirinya, sejak diangkat karirnya, kebanyakan dia hanya memerintah bahkan sampai saat ini, hanya memerintah. 

Dua ponselnya masih menyala, berdering terus-terusan. Jenderal Panco kebingungan mau angkat yang mana. Satu ponsel itu berhubungan ke Kepolisian sementara yang lain berhubungan dengan penguasa.

Penguasa?

Yang paling dia ingat hanya satu, karirnya naik gara-gara ...

Jenderal Panco angkat ponselnya,
"Halo ... "

"Kamu masih ingat kerjasama kita?"

"Maaf ini siapa?" dalam layarnya tidak ada identitas, orang asing. Tetapi kenapa orang itu tahu nomor sang Jenderal. Tidak ada yang bisa memastikan siapa orang itu. 

Suara dalam ponsel terdengar berisik, mungkin seperti ditempeli sesuatu mulutnya biar tidak ketahuan suara aslinya, atau jangan-jangan orang asing itu sedang berada di jalan.

"Aku perintahkan kamu untuk bersihkan semuanya," orang asing itu mengancam.

"Maaf ini siapa, jangan bertindak macam-macam, anda tidak tahu dengan siapa anda bicara," sang Jenderal tampak lebih agresif. 

Telepon orang asing itu dimatikan.
Sang Jenderal seperti kehabisan nafas, terbengong, hari apa ini kenapa begitu
menyiksa. Sementara ponsel satunya masih berbunyi mungkin sudah untuk kesekian kalinya. 

Sang Jenderal angkat ponselnya yang kedua. Dari Sujawat. Kepala bidang antiteror. Ingatan Jenderal sangat apik untuk menghafal karena dulunya dia juga pernah bertugas di bidang antiteror. 

Tanpa disapa Sujawat langsung menyapa salam pagi sang Jenderal dengan
membubuhi tugas yang tak ringan, agak sedikit berat mengucapkan, ada semacam tarik ulur antara keinginan dan kenyataan, keinginannya agar semua tentu baik-baik saja tapi kenyataan berkata terbalik

 "Pak Jenderal bisa tolong segera datang ke lokasi TKP?" kata Sujawat dari suaranya
terkesan buru-buru.

Jenderal Panco menahan jawaban, dia coba cerna dulu situasinya, mengingat nama TKP itu identik dengan sebuah peristiwa yang tentunya semua polisi harus sigap tatkala mendengar nama itu

 "dimana?"

"Jogja Pak."

"Jogja?"

"Iya Pak."

Tahan nafas sebentar, "oke saya akan datang langsung dari Jakarta, kira-kira dua jam
saya sampai Jogja," kata Jenderal Panco

"Baik Pak."

Komunikasi usai. Ada yang membuat Jenderal Panco bingung, dua ponsel berdering bersama nyaris tanpa jeda, makna isinya yang satu bernada mengancam, misterius, ingin mempertahankan diri sementara dari lapangan meminta agar segera mengungkap. 

Apakah kedua hal ini saling berhubungan.
Kedua kaki Jenderal Panco sudah terangkat berjuntai di tepian ranjang tanpa menyentuh lantai maklum tubuhnya pendek. Jenderal Panco sedikit melenguh, malam yang sebetulnya indah namun harus bangkit dengan pagi yang menyiksa. 

Tentu siapapun tak akan tahan dengan godaan semacam ini tapi lagi-lagi ini tugas
menyangkut negara dan juga karirnya, bintang tiga menempel di pundak seragamnya. 

Jalannya terus diburu waktu, tak bisa ditunda-tunda mungkin sebentar lagi pimpinannya yang lebih tinggi juga akan menelepon, kiranya sang Jenderal harus sudah punya jawaban yang meyakinkan dan keberadaannya di TKP sedikit membikin petingginya percaya kalau Jenderal Panco bisa kerja cepat, apalagi harapan beberapa pihak ikut memberikan beban. 

Jabatan sebetulnya adalah harapan namun beberapa orang yang tak mengerti jabatan itu hanya disalahgunakan untuk kepentingan semata lalu apa gunanya jabatan, yang ada itu cuma politis. 

Jenderal Panco sudah mempersiapkan dirinya, berkacak pinggang di depan cermin,
memakai jaket, seragamnya ditutup biar tidak mencolok. Bergegas menuju bandara.

Satu jam sudah Jenderal Panco melayang di udara, mau naik merek pesawat apa saja terserah, yang penting cepat sampai tujuan. Peristiwa ini sangat penting, apalagi sampai mengusik ketenangan seorang Jenderal bintang tiga. Ada sms masuk, dibuka. Jenderal Panco mengadu alisnya, dahinya mengkerut, tak tahu titik terangnya, masih gelap.

Masih ingatkah ketika kita masuk garis polisi tanpa punya izin, pastinya jika kita melanggar pasti ada hukumnya bukan. Itu kalau manusia yang lewat. Kalau ternyata bukan manusia?

Jenderal Panco mendarat mulus di
Bandara tanpa halangan, lagi-lagi berkacak pinggang, membetulkan celananya yang sudah semakin sempit menerima kenyataan kalau perutnya hampir meletus. 

Dengan kawalan polisi Jenderal Panco menaiki mobil camry hitam melesat dari Bandara ke TKP tanpa halangan, lampu merah disikat, ini genting, semua pengendara harap maklum.

Semua personil sudah berdiri sejajar di TKP merapatkan barisan untuk menyambut
sang Jenderal. Namun sebelum masuk TKP, Jenderal Panco dibawa ke sebuah tempat,
dimana terdapat beberapa buah tv dan alat pemutar kaset. 

Jenderal Panco mengamatinya serius tanpa berkedip. Ada yang janggal.Dalam sebuah adegan, muncul dalam layar tv, saat CCTV diputar, tanpa suara hanya gambar. Kamera menyorot satu lokasi tempat kejadian dimana barang bukti berada, di bawah
pohon cabe, cairan itu masih nampak segar, namun terentang sudah garis polisi, intinya
kamera CCTV itu hanya merekam kejadian sesudahnya bukan sebelumnya. 

Semua pasang mata tampak sangat bernafsu. Tapi, hei, ada seekor anjing masuk melewati garis polisi, berjalan melenggak-lenggok tanpa salah lalu mengencingi barang bukti itu. Kenapa polisi tidak melarang, ini salah siapa.

Peristiwa yang unik. Jarang terjadi. Semua orang bertanya apakah bisa seekor anjing
dihukum gara-gara menghilangkan barang bukti. Belum ada yang bisa jawab karena kasus ini belum pernah terjadi di negeri kita. 

Bahkan sampai ada desakan untuk membawa masalah ini ke parlemen, tujuannya jelas, dibuatkan peraturan baru untuk menangani kasus ini. Semua orang tergelak, Jenderal Panco pun sampai geleng kepala, tak masuk akal. Tertutuplah kasus air raksa, dipenuhi kabut tebal, di satu sisi ada yang malah membesar-besarkan masalah anjing itu, sedangkan kasusnya sendiri tertutupi.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun