"Siap," jawab Redian.
Darto menyahut, "oh namamu Redian?" seraya mengulurkan tangannya.
"Iya Pak," Redian menyambut tangan Darto. Redian tahu kenapa dia manggil Pak,
karena Darto memang sudah agak tua usianya kelihatan dari wajah yang keriput dan rambutnya yang beruban hampir menutupi seluruh kepala.
Sementara atasan Redian yang pangkatnya lebih tinggi sudah bergegas mengambil
telepon genggam dan menelepon sang Jenderal dengan sangat hati-hati.
***
Pagi yang memang benar-benar menyiksa, sang Jenderal menguap keberapa kalinya, mungkin sudah tujuh kali sejak dia dilantik jadi Wakil Kepala Polisi. Namanya Jenderal Panco, kiranya dia sedang menikmati fasilitas mewah yang didapat dari jabatan pentingnya di Kepolisian.Â
Baru tujuh hari artinya satu minggu sesudah dilantik, Jenderal Panco menikmati rumah dinas kepolisian yang mewah. Tujuh kali pula dia menguap, dan tujuh kali pula berat badannya naik. Rencananya hari yang ketujuh ini Jenderal Panco ingin memerintahkan anak buahnya untuk segera mengganti seragamnya yang sudah kekecilan, khususnya bagian perut dan hari ini pula dia mau plesir ke pantai, mumpung hari minggu. Tapi tiba-tiba ponselnya berdering kencang menggetarkan gendang telinganya yang sensitif.Â
"Kriiiing ... "
Jenggirat, Jenderal Panco langsung terbangun dengan posisi duduk. Sepertinya dia masih trauma dengan latihan keras saat menjadi taruna di Akademi Kepolisian. Apa sekarang mau diulangi, ah, itu zaman susah, sekarang sudah enak.Â
"Kriiiing ... "
Edan, ponsel satunya juga bunyi, ternyata si Jenderal punya ponsel banyak. Sang Jenderal hanya menatap, ada apakah gerangan, dua-duanya bunyi, apakah ada yang penting. Sesaat hatinya gelisah belum pernah sejatinya dia merasakan tugas berat yang menimpa dirinya, sejak diangkat karirnya, kebanyakan dia hanya memerintah bahkan sampai saat ini, hanya memerintah.Â