Mohon tunggu...
Hendri Sopian
Hendri Sopian Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Minat di bidang Pajak, Hukum, Penilaian, Manajemen Keuangan, Bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sanksi Administratif berupa Denda atas SK Keberatan PBB, Putusan Banding PBB dan Putusan Peninjauan Kembali PBB, yang telah Inkracht

19 Desember 2024   15:02 Diperbarui: 19 Desember 2024   15:02 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih menjadi perdebatan internal DJP dalam memahami apakah terdapat sanksi administratif berupa denda atas:

1. SK Keberatan PBB, yang telah Inkracht.

2. Putusan Banding PBB, yang telah Inkracht.

3. Putusan Peninjauan Kembali PBB, yang telah Inkracht.

Untuk menjawab keraguan tersebut, maka Penulis akan menyimpulkan jawaban berdasarkan uraian peraturan perpajakan yang terkait. Kesimpulan jawaban ditarik dari penafsiran dan pengalaman Penulis yang telah 10 tahun bergelut di bidang PBB.

A. SK Keberatan PBB Inkracht, apakah terdapat sanksi administratif berupa denda 30%?

Jawab: Tidak.

Dasar Hukum:

UU PBB: Pasal 11, 15 dan 23.

UU KUP: Pasal 14 dan 25.

PP 50 Tahun 2022: Pasal 32 dan 34.

Penjelasan:

Terdapat perbedaan esensial antara ketentuan PBB dan PPh sesuai persandingan dan tafsir berikut.

Pasal 11 Ayat (3) UU PBB:

Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

Pasal 15 Ayat (1) UU PBB:

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas:

a. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang; 

b. Surat Ketetapan Pajak.

Tafsir: diatur secara khusus, keberatan dalam PBB hanya atas 2 jenis kohir yaitu: SPPT PBB dan SKP PBB.

Pasal 15 Ayat (6) UU PBB:

Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.

Tafsir: diatur secara khusus, Keberatan atas 2 jenis kohir PBB tersebut, tidak menunda kewajiban WP untuk membayar PBB terutang. Apabila WP tidak membayar setelah lewat jatuh tempo, maka WP akan terkena denda administrasi sebesar 2% perbulan maksimal 24 bulan (Pasal 11 ayat (3) UU PBB). 

Argo atas Denda administrasi sebesar 2% ini terus berjalan, dan tidak tertangguh dengan adanya upaya pengajuan keberatan. Sehingga bila SK Keberatan keluar dan Inkracht, maka PBB terutang yang akan ditanggung oleh WP yaitu berupa 'pokok ketetapan' (menolak, mengabulkan sebagian, menambah) ditambah denda administrasi 2% perbulan yang dihitung sejak jatuh tempo 2 jenis kohir sampai WP melunasi 'pokok ketetapan' yang terutang di dalam SK Keberatan yang telah Inkracht. 

Bila atas SK Keberatan tsb dilanjutkan upaya hukum Banding, maka argo atas denda administrasi 2% ini terhenti saat pengajuan Banding.

Pasal 23 UU PBB:

Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 25 ayat (1) UU KUP:

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu: 

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; 

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; 

c. Surat Ketetapan Pajak Nihil; 

d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau 

e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 32 Ayat (1) PP 50 Tahun 2022:

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;

c. Surat Ketetapan Pajak Nihil;

d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau 

e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Tafsir: secara umum, Keberatan dalam bidang Pajak (selain PBB) hanya atas 5 jenis kohir tersebut (SKPKB, SKPKBT, SKPN, SKPLB, Potput). Sedangkan Keberatan dalam PBB telah diatur secara khusus hanya atas 2 jenis kohir (SPPT PBB dan SKP PBB).

Pasal 14 ayat (3) UU KUP:

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 {dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Pasal 25 ayat (7) UU KUP:

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

Tafsir: bila ada upaya Keberatan dalam bidang Pajak (selain PBB) atas 5 jenis kohir, jangka waktu pelunasan pajak terutang yang belum dibayar menjadi tertangguh hingga 1 bulan sejak tanggal penerbitan SK Keberatan, yang menjadi Inkracht. Karena jangka waktu pelunasan terutang tertangguh, maka ketentuan Pasal 14 UU KUP tidak berlaku (tidak ada argo bunga berjalan) dan kewajiban membayar pajak jadi tertangguh/tertunda. 

Ketentuan ini bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur khusus Pasal 15 (6) UU PBB yang menyatakan bahwa keberatan PBB tidak menunda (tidak menangguhkan) kewajiban membayar PBB.

Pasal 25 ayat (9) UU KUP:

Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Pasal 34 ayat (1) PP 50 Tahun 2022:

Dalam hal pengajuan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 34 ayat (3) PP 50 Tahun 2022:

Sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam hal keputusan keberatan atas pengajuan keberatan Wajib Pajak menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.

Tafsir: sebagai kelanjutan dari tafsir atas ketentuan Pasal 25 ayat (7) UU KUP di mana tidak terdapat argo bunga berjalan karena WP mengajukan Keberatan (atas 5 Jenis Kohir Pajak selain PBB), maka merupakan konsekuensi logis apabila isi keputusan SK Keberatan berupa ditolak/dikabulkan sebagian/menambah besarnya, nanti telah Inkracht, WP dikenai sanksi administrasi berupa denda 30%. 

Hal ini bertolak belakang dengan ketentuan khusus Pasal 15 (6) UU PBB yang menyatakan bahwa keberatan PBB tidak menunda (tidak menangguhkan) kewajiban membayar PBB, sehingga SK Keberatan PBB yang telah Inkracht, tentu tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda 30% (karena argo atas denda administrasi 2% sebagaimana Pasal 11 ayat (3) UU PBB ini terus berjalan dan akan terhenti saat pengajuan Banding PBB).

 

B. Putusan Banding PBB Inkracht, apakah terdapat sanksi administratif berupa denda 60%?

Jawab: Ya.

Dasar Hukum:

UU PBB: Pasal 17 dan 23

UU KUP: Pasal 25 dan 27

UU Pengadilan Pajak: Pasal 36

PP 50 Tahun 2022: Pasal 35

Penjelasan:

Terdapat perbedaan esensial antara ketentuan PBB dan PPh sesuai persandingan dan tafsir berikut.

Pasal 23 UU PBB:

Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Pasal 17 UU PBB (tahun 1994):

Dihapus.

Pasal 17 UU PBB (tahun 1985)

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6) dan Pasal 16 ayat (3) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat keputusan oleh Wajib Pajak dengan dilampiri salinan surat keputusan tersebut. 

(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.

(3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak.

Tafsir: di tahun 1985, upaya hukum berupa Banding PBB diatur secara khusus di Pasal 17 UU PBB, sehingga tidak mengikuti ketentuan umum di UU KUP. Namun setelah diubah pada tahun 1994, ketentuan Pasal 17 UU PBB tersebut dihapus. Dengan demikian, upaya hukum berupa Banding PBB tidak diatur oleh UU PBB. 

Hal ini berbeda dengan ketentuan upaya hukum Keberatan PBB yang masih mengatur secara khusus upaya hukum Keberatan PBB sesuai Pasal 15 UU PBB. Sesuai prinsip dalam Pasal 23 UU PBB, di mana terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus pada UU PBB, maka berlaku ketentuan UU KUP. Sehingga upaya hukum Banding PBB berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam UU KUP.

Pasal 25 ayat (10) UU KUP:

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan.

Tafsir: upaya hukum Banding PBB berpedoman pada UU KUP, sehingga argo denda administrasi 2% perbulan juga terhenti, ketika WP mengajukan permohonan Banding PBB.

Pasal 36 Ayat (4) UU Pengadilan Pajak:

Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).

Tafsir: apabila SK Keberatan PBB diajukan upaya hukum Banding PBB, maka banding dapat diajukan apabila jumlah PBB yang terutang sesuai SK Keberatan PBB telah dibayar sebesar 50%.

Pasal 27 Ayat (5d) UU KUP:

Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Pasal 35 Ayat (1) PP 50 Tahun 2022:

Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal Putusan Banding:

a. menolak;

b. mengabulkan sebagian;

c. menambah pajak yang harus dibayar; atau

d. membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung yang menambah pajak yang masih harus dibayar.

Tafsir: Putusan Banding PBB berupa menolak/mengabulkan sebagian/menambah pajak/membetulkan salah tulis/hitung yang menambah pajak yang masih harus dibayar, yang telah Inkracht, maka WP dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60%.

 

C. Putusan Peninjauan Kembali PBB Inkracht, apakah terdapat sanksi administratif berupa denda 60%?

Jawab: Ya.

Dasar Hukum:

UU KUP: Pasal 27

UU Pengadilan Pajak: Pasal 77 dan 89

PP 50 Tahun 2022: Pasal 36

Penjelasan:

Pasal 77 UU Pengadilan Pajak:

(1) Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

(2) Pengadilan Pajak dapat mengeluarkan putusan sela atas Gugatan berkenaan dengan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2). 

(3) Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.

Pasal 89 UU Pengadilan Pajak:

(1) Permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. 

(2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak. 

(3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.

Tafsir: Prinsipnya, Putusan Banding PBB merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai Pasal 77 Ayat (1) UU Pengadilan Pajak (final and binding). Namun sesuai Pasal 77 Ayat (3) UU Pengadilan Pajak, dibuka kesempatan kepada pihak yang bersengketa untuk dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak (Pasal 89 UU Pengadilan Pajak).

Pasal 27 ayat (5f) UU KUP:

Dalam hal Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Pasal 36 PP 50 Tahun 2022:

Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (51) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal Putusan Peninjauan Kembali menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.

Tafsir: Putusan Peninjauan Kembali PBB yang berisi jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang telah Inkracht, akan menyebabkan WP dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60%.

Referensi:

UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

UU No. 12 Tahun 1985 sebagai mana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB).

UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak).

PP 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun