Aku diajak makan malam bersama mereka. Lukisan keluarga dengan pakaian adat Bali di dinding tepat di hadapan membuat aku tak bisa mengalihkan pandang. Ada enam orang di sana termasuk Nina, Bapaknya, Ibunya, satu perempuan dengan wajah persis Nina, perempuan lain yang tampak lebih tua, dan seorang bocah lelaki yang kini tengah bergabung untuk makan malam. Di mana dua perempuan lainnya? Batinku waktu itu.Â
Setelah makan malam itu aku segera pamit. Bukan aku tak menghormati mereka yang sebelumnya menawariku untuk menginap di sana. Tetapi, aku tak ingin merepotkan. Lagi pula, aku memang berniat ingin sendirian.
Akan tetapi, tepat setelah aku berpamitan, Nina sudah dengan tasnya, muncul dari dalam kamar. Aku terheran karena sepertinya dia akan ikut.Â
"Mau ke mana kamu, Nina?" tanya Ibunya.Â
"Ikut Raga, ke pondok."
Sempat ada kesan penolakan dari gestur wajah kedua orang tuanya. Namun seakan tak berani melarang, senyum yang aku yakin terpaksa itu akhirnya harus merelakan kepergian Nina denganku. Bapak dan ibu beserta bocah lelaki itu berdiri di halaman rumah memperhatikan aku yang segera melajukan motor di mana Nina terduduk di jok belakang.
Aku harus mengembalikan motor sewaan itu. Sudah telat sebenarnya. Namun, pemilik sewa seperti menungguku hingga hampir pukul 10 malam. Dari sana aku dan Nina harus melewati pemukiman warga, sawah, dan pinggiran hutan untuk sampai di pondok. Hari sudah larut. Dengan penerangan dari senter ponsel genggam, kami berjalan dan berbincang.Â
"Kenapa kamu tidak ingin meninggalkan pulau ini?" Ada satu hal yang membuatku penasaran tentang perkataannya di pantai itu yang lantas kutanyakan. Dia terdiam, tak langsung menjawab. Setelah beberapa langkah yang terasa pelan, dia pun mulai mau bercerita.
Bahwa, dia tidak bisa meninggalkan pulau ini karena kutukan yang dipercayai keluarganya. Iya, aku tidak salah dengar waktu itu. Seperti halnya aku, awalnya Nina tidak percaya. Hingga kakak tertuanya menikah dengan orang Jerman lalu tinggal di negara suaminya dan tak berapa lama meninggal dunia karena sakit. Orang-orang di sekitar kampungnya bilang itu karena tidak mematuhi larangan--entah larangan siapa--.
Nina sempat menganggap itu kebetulan saja hingga Nani, saudari kembarnya, juga mengalami hal yang sama. Dia pergi dari pulau ini dengan kekasihnya, dan meninggal karena sakit beberapa bulan kemudian. Karena itu, orang tuanya bersikeras agar Nina tidak pergi dari pulau ini. Mereka percaya kutukan itu ada.
Aku tidak tahu harus bagaimana bereaksi. Namun, aku merasa suatu hari nanti aku akan tinggal di sini bersamanya. Karena yakin dialah perempuanku, dia akan jadi milikku.Â