Sesaat setelah lahir, katanya, bayi masih bisa mengingat kehidupan masa lalunya, sebelum terkontaminasi kehidupan baru. Entah itu benar atau tidak, entah aku harus percaya atau tidak, itu terdengar tidak adil bagiku. Ada seseorang yang tidak ingin aku lupakan, seseorang yang sangat kucintai, seseorang yang sering kali aku dengar suaranya menyapa di balik dinding pondok ini.Â
"Apa kabar kamu di dalam sana, Sayang?"Â
Suara itu menyapa lagi. Bertanya-tanya keadaanku berkali-kali. Berkali-kali pula aku yang meringkuk di dalam pondok bergegas membuka pintu, tetapi tak ada siapa pun di luar. Siapa pun! Psikiatriku dahulu menjelaskan bahwa itu hanya halusinasi, khayalan, atau apa pun itu sebutannya. Aku tak begitu mendengarkannya. Meski begitu, tentu saja aku percaya. Alangkah munafiknya jika aku menyanggah sesuatu yang terbukti depan mata. Nina kekasihku, tak kembali, tak akan pernah kembali, sebagaimana pun aku tinggi berharap.
Aku hanya ingin menjadi pria yang perempuan itu cintai satu-satunya. Aku tidak begitu mengerti bagaimana kegilaan ini bermula. Perempuan itu selalu datang dalam bayangan-bayangan, memanggil-manggil, berkelindan dalam pikiranku, tertanam seolah sedang tumbuh dan berkecambah dalam ingatan. Aku merasakan Nina sangat dekat, seakan ia berada sekitarku, berbicara padaku. Namun, aku harus menghadapi kenyataan bahwa hari-hari yang indah itu telah lenyap. Aku tak mungkin lagi bercengkerama dengannya, memadu kasih lagi di pondok ini seperti dahulu. Walau sungguh, aku tak sanggup melupakannya, tak mampu dan tak ingin.
****
Aku mengenalnya di Pulau Bali, ketika aku berlibur sendirian dan berkunjung ke sebuah pondok di pinggiran hutan dekat sungai yang arusnya tak begitu deras, yang suaranya menenangkan nan menentramkan jiwa. Saking tenteramnya, aku pernah berkeinginan untuk menjadikan tempat ini vila dan kafe saja. Hanya saja pondok ini milik seorang kawan. Aku sering menginap bersamanya dan kawan-kawan lain ketika penat dengan aktivitas harian di Jakarta.Â
Siang itu, aku berkendara dengan motor sewaan menuju Pantai Pandawa, ketika melihatnya di tepi jalan dengan motor vespa yang sepertinya sedang mogok. Awalnya aku berlalu, akan tetapi sesuatu dalam diri seolah menepuk-nepukku agar menghentikan motor dan membantunya.
Aku masih ingat T-shirt gombrang putih bergambar siluet kepala barong--yang saking gombrangnya mampu menyembunyikan celana hot pant jeans dibaliknya hingga hanya memperlihatkan paha putihnya--, topi anyaman jerami yang dikenakannya pada rambut ikal cokelatnya dengan tali melingkari hingga menyangga pada bawah dagunya, juga senyuman dari bibir bergincu merah muda sewarna pipinya yang merona, ketika ia berbalik padaku. Sungguh aku yang sedang berjalan menghampirinya terpesona pada pandangan pertama.
"Kau akan membantuku atau hanya berdiri di sana?" tanya perempuan itu setelah menyadari aku yang sedang berjalan ke arahnya, terhenti, karena agak lama memandanginya. Aku tersadar kikuk lalu menghampirinya dan segera mengambil alih motor vespa berwarna telur asin itu.Â
Akan tetapi, aku baru menyadari bahwa sebenarnya aku tidak begitu mengerti urusan mesin otomotif, apalagi motor antik sekelas vespa. Sebagai seorang lelaki, mungkin akan sangat memalukan jika harus jujur mengakui ketidakmampuanku itu. Maka, dengan gamang serta kesoktahuanku, aku berusaha sebisa mungkin memperbaiki.
Meski akhirnya aku menyerah. Lantas aku berdiri, memasang wajah canggung, dan tersipu malu sambil menggaruk belakang kepala. Akhirnya aku berkata jujur, mengakui bahwa aku tak mengerti. Bukannya marah atau setidaknya jengkel karena merasa dipermainkan, dia malah tertawa. Aku yang merasa bodoh pun tersengir lalu ikut tertawa, getir.
"Apa kau akan pergi ke Pantai Pandawa juga?" tanyanya kemudian. Aku mengangguk. "Ya sudah, antar aku ke sana."
"Terus Vespa-nya?"
"Tinggalkan saja! Motor butut begitu mana ada yang mau curi," ucapnya.Â
Hingga akhirnya kami meninggalkan vespa yang sebagian lekuk badannya sudah banyak noda karat. Kami pun berkendara menuju pantai tujuan. Dia yang aku bonceng dengan motor matic tak segan memelukku dari belakang. Jujur, aku senang. Ada getaran dari perutku yang dia pegang. Semacam setruman kecil yang seketika membangkitkan adrenalin. Aku pacu motor hingga melaju kencang melewati dua dinding tebing seperti lorong menuju surga yang tersembunyi.Â
Kami menikmati pantai bersama; bersantai duduk di atas pasir putih; atau berjalan-jalan berdua selayaknya sepasang kekasih; berbincang sampai sore sambil menikmati air kelapa muda. Aku ingat, kami membicarakan sesuatu tentang kelahiran seorang bayi. Perempuan itu tampaknya sangat religius. Dia berkata jika suatu hari dilahirkan kembali, dia ingin tetap berada di Pulau Bali. Ketika aku mempertanyakannya, sejenak dia diam. Kemudian tersenyum, lantas berkata, "Aku terlalu takut untuk keluar dari pulau ini, dan tak akan pernah meninggalkan pulau ini."
Dari raut wajah yang kupandangi itu, tersirat kesedihan yang mendalam meski senyum membalut, menyamarkannya. Aku yang sebenarnya ingin mempertanyakan lebih lanjut, memutuskan urung melontarkan pertanyaan yang sudah ada di ujung lidah, yang mungkin akan membuatnya merasa tak nyaman.
Sore menjelang. Kami berdua terduduk di bawah pohon kelapa menikmati sun set. Tanpa segan, perempuan itu menaruh kepalanya di pundakku ketika detik demi detik sang surya tenggelam, menyisakan warna langit yang membias sewarna; jingga yang mulai meredup gelap. Aku merasakan kesedihan itu lagi. Kemudian aku merangkul dan mengusap lengannya.
Itu adalah pertemuan pertama kami. Aku merasakan getaran asmara ketika bersamanya, yang membuatku yakin dialah perempuanku.Â
****
Begitu kembali ke tempat vespa itu ditinggalkan, motor antik itu sudah hilang. Namun, bukannya marah, perempuan itu malah tersenyum dan dengan entengnya dia mengajakku pulang ke rumahnya seakan tidak peduli pada kendaraan jadul itu.Â
Aku melajukan motor dengan kencang di jalanan gelap, hanya lampu-lampu dari rumah penduduk dan bangunan menerangi selain lampu kendaraan. Sekali lagi, aku merasakan kesedihan itu lagi, ketika dia memelukku dan menempelkan kepalanya di punggung. Aku merasakan dia sedang merindui sesuatu--atau seseorang?
Kuhentikan motor di halaman sebuah rumah dengan dinding pigura berukiran khas Bali. Nina turun dan menghampiri bale-bale di mana seorang pria tua bertelanjang dada terduduk. Dengan rokok di jemari tangannya, ia menatapku lekat. Aku bisa langsung tahu bahwa dia bapaknya.Â
"Motor vespa bapak mana?" tanyanya begitu perempuan itu menghampirinya.
"Hilang. Dicuri orang." Dengan entengnya Nina menjawab.
"Hilang?" Pria tua itu tampak terkejut. "Kenapa bisa?"
Tanpa merasa bersalah sedikit pun perempuan itu tersenyum, kemudian melirikku yang masih berdiri di tempat parkiran motor dan memanggil agar segera menghampirinya. Seiring aku berjalan, keluar juga seorang wanita bersanggul dari dalam rumah dan tiba bersamaan denganku di depan bale-bale.Â
"Pak, Bu, ini Raga," perempuan itu memperkenalkan namaku pada orang tuanya.Â
"Siapa kamu?" tanya pria tua itu masih tampak sewot. Mungkin karena baru mengetahui motornya hilang.Â
"Saya Raga, Om." Aku yang tak enak hati sekali lagi memperkenalkan. "Aku tem--"
"Dia pacar Nina, Pak," ucap perempuan itu segera memotong kalimat perkenalanku.
Ada reaksi yang berbeda selain mimik keterkejutan pada wajah kedua orang tua Nina setelah mendengar kebohongannya--yang sebenarnya aku harapkan benar--, terutama bapaknya. Perlahan pria itu menurunkan tensi, berganti dengan senyum semringah, seakan melupakan motornya yang hilang. Agak aneh sebenarnya, bukan hanya pada bapaknya, melainkan pada Nina. Baru tadi siang kami bertemu dan sekarang dia mengenalkan aku pada orang tuanya sebagai pacar. Kemudian beliau memperlihatkan keramahtamahan dengan menyuruhku masuk ke dalam rumah. Dia memegang bahuku seperti menggiring pelan sementara tangan satunya lagi menunjukkan arah pintu. Aku tersenyum canggung.
Aku diajak makan malam bersama mereka. Lukisan keluarga dengan pakaian adat Bali di dinding tepat di hadapan membuat aku tak bisa mengalihkan pandang. Ada enam orang di sana termasuk Nina, Bapaknya, Ibunya, satu perempuan dengan wajah persis Nina, perempuan lain yang tampak lebih tua, dan seorang bocah lelaki yang kini tengah bergabung untuk makan malam. Di mana dua perempuan lainnya? Batinku waktu itu.Â
Setelah makan malam itu aku segera pamit. Bukan aku tak menghormati mereka yang sebelumnya menawariku untuk menginap di sana. Tetapi, aku tak ingin merepotkan. Lagi pula, aku memang berniat ingin sendirian.
Akan tetapi, tepat setelah aku berpamitan, Nina sudah dengan tasnya, muncul dari dalam kamar. Aku terheran karena sepertinya dia akan ikut.Â
"Mau ke mana kamu, Nina?" tanya Ibunya.Â
"Ikut Raga, ke pondok."
Sempat ada kesan penolakan dari gestur wajah kedua orang tuanya. Namun seakan tak berani melarang, senyum yang aku yakin terpaksa itu akhirnya harus merelakan kepergian Nina denganku. Bapak dan ibu beserta bocah lelaki itu berdiri di halaman rumah memperhatikan aku yang segera melajukan motor di mana Nina terduduk di jok belakang.
Aku harus mengembalikan motor sewaan itu. Sudah telat sebenarnya. Namun, pemilik sewa seperti menungguku hingga hampir pukul 10 malam. Dari sana aku dan Nina harus melewati pemukiman warga, sawah, dan pinggiran hutan untuk sampai di pondok. Hari sudah larut. Dengan penerangan dari senter ponsel genggam, kami berjalan dan berbincang.Â
"Kenapa kamu tidak ingin meninggalkan pulau ini?" Ada satu hal yang membuatku penasaran tentang perkataannya di pantai itu yang lantas kutanyakan. Dia terdiam, tak langsung menjawab. Setelah beberapa langkah yang terasa pelan, dia pun mulai mau bercerita.
Bahwa, dia tidak bisa meninggalkan pulau ini karena kutukan yang dipercayai keluarganya. Iya, aku tidak salah dengar waktu itu. Seperti halnya aku, awalnya Nina tidak percaya. Hingga kakak tertuanya menikah dengan orang Jerman lalu tinggal di negara suaminya dan tak berapa lama meninggal dunia karena sakit. Orang-orang di sekitar kampungnya bilang itu karena tidak mematuhi larangan--entah larangan siapa--.
Nina sempat menganggap itu kebetulan saja hingga Nani, saudari kembarnya, juga mengalami hal yang sama. Dia pergi dari pulau ini dengan kekasihnya, dan meninggal karena sakit beberapa bulan kemudian. Karena itu, orang tuanya bersikeras agar Nina tidak pergi dari pulau ini. Mereka percaya kutukan itu ada.
Aku tidak tahu harus bagaimana bereaksi. Namun, aku merasa suatu hari nanti aku akan tinggal di sini bersamanya. Karena yakin dialah perempuanku, dia akan jadi milikku.Â
Aku dan dia sedang terduduk di teras pondok menikmati malam disertai suara arus sungai sambil menyesap teh ketika tiba-tiba saja Nina melontarkan sebuah ucapan. "Kau tahu, aku bisa berbicara dengan roh."
"Oh, ya." Tanggapanku santai saja.Â
"Aku bisa berkomunikasi dengan saudari kembarku."
Kali ini aku terkesiap. "Bagaimana mungkin?"
"Entahlah, mungkin karena ikatan batin di antara kami?" ucapnya. "Setelah Nani meninggal aku bisa berkomunikasi dengannya. Dia yang menyadarkan aku dari masa-masa depresiku dahulu, hingga aku sembuh. Bahkan Nani juga yang menyuruhku untuk membawa motor butut Bapak dan pergi ke Pantai Pandawa tadi pagi. Katanya, aku akan menemukan jodohku di sana," jelasnya. Ada senyum meski tipis tercipta di bibirnya.Â
"Oh, ya." Hanya itu yang bisa kuucapkan dan tersenyum kemudian. Aku tidak tahu kalau itu benar atau tidak. Hal-hal semacam itu tak pernah terpikirkan olehku. "Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu ... depresi?" tanyaku penasaran.Â
Sejenak dia diam, menyesap teh lalu mulai bercerita kembali. "Aku punya kekasih. Mantan tepatnya. Dia orang Surabaya, tidak jauh memang. Tapi dia tidak bisa tinggal bersamaku di pulau ini," lanjutnya. Sejujurnya aku agak terkejut mendengarnya. "Aku sangat mencintainya. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk kami menjalin hubungan. Awalnya aku merahasiakan mitos itu. Sampai dirinya tahu, dia memutuskan untuk berpisah. Karena sebelumnya dia mengajak aku untuk tinggal di Jepang. Itu impiannya."
Sekali lagi, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku melihat wajahnya. Kali ini aku tahu dari mana wajah penuh kesedihan itu berasal. Aku mencoba meraih tangannya, menggenggamnya. "Aku akan selalu bersamamu," ucapku kemudian. Kami saling menatap. Ada satu hal lain dari raut wajahnya, kesedihan itu perlahan pudar berganti senyum yang penuh harap. Harapan yang membuatku bersumpah pada diriku sendiri akan selalu ada untuknya.
"Mitos apa lagi yang kau tahu?" godaku, sekedar bertanya karena ingin menghiburnya.Â
Dia tersenyum, sejenak berpikir. "Kau tahu, beberapa saat setelah lahir, bayi masih mengingat kehidupan masa lalunya?"
"Oh, iya."
"Kamu tidak percaya?" selidiknya.
Aku mengernyit lalu menggeleng pelan. Perempuan itu menautkan dahi dan memajukan bibir bawah seperti kecewa. Aku tersenyum dibuatnya. Raut wajah itu sungguh menggemaskan, yang lantas tersipu malu. Kemudian kami saling menatap, perlahan mendekatkan wajah masing-masing dan ketika sudah sangat dekat, tanpa canggung lagi, kami mulai bercumbu.Â
****
Tiga tahun berlalu, tiga tahun pula kami bersama. Hampir tiap bulan aku pulang pergi Jakarta Bali hanya untuk menemuinya, menghabiskan waktu bersama di pondok ini. Terkadang pula aku pergi bersama kawan-kawanku yang lain untuk berlibur bersama. Kepada kawan-kawanku itu aku selalu membanggakan Nina sebagai kekasihku, sebagai perempuan yang kucintai. Sungguh tiga tahun yang paling indah.Â
Hingga masalah itu muncul. Atasanku akan memindahkan aku ke kantor cabang di Ankara, Turki. Dia memaksaku karena aku satu-satunya karyawan yang memenuhi syarat dan paling berkompeten untuk dikirim ke sana. Dia juga menjanjikan gaji tiga kali lipat jikalau aku mau.Â
Sesungguhnya aku tertarik dengan tawaran itu. Aku sempat merayu Nina agar ikut denganku ke Turki. Aku berusaha meyakinkannya bahwa kutukan itu semuanya adalah mitos belaka, dan kejadian meninggalnya kedua saudari Nina hanya kebetulan belaka. Namun, tetap saja Nina menolak. Bahkan dia mengancam untuk putus saja jika aku bersikeras.
"Keterlaluan kamu, Raga. Masa karena gaji yang lebih besar sampai tega mengingkari janjimu pada Nina," ucap Indra, kawanku, ketika aku mencoba meminta saran padanya.Â
"Lalu aku harus bagaimana?"
Sejenak lelaki itu terdiam, berpikir sambil menatapku agak serius. Dia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. "Bagaimana kalau kau beli pondok di Bali itu. Bukankah kau dulu sempat ingin menjadikannya kafe? Kau bisa tinggal di sana bersama Nina dan berhenti dari pekerjaanmu," ujarnya setelah isapan panjang dan mengembuskan asap ke udara.Â
Aku sedikit terkejut dengan idenya. "Kau yakin mau menjual pondok itu padaku?" tanyaku. Dia mengangguk. Aku tersenyum senang dan bangga punya teman seperti dirinya.
Aku membeli pondok itu dengan harga murah. Dengan uang tabungan dan uang kompensasi dari perusahaan, aku membangun sebuah kafe sekaligus tempat tinggal di pondok itu.
Di tengah-tengah pengerjaan itu, aku memberanikan diri melamarnya ketika kami berjalan-jalan di pantai tempat pertama kali kami bertemu. Meski sempat khawatir, akan tetapi akhirnya dia membuatku menjadi pria paling bahagia di dunia, dia menerima lamaranku. Sengaja aku melamarnya saat pengerjaan, agar ketika selesai, kami bisa langsung menempatinya.Â
Akan tetapi, hal yang tak terduga itu terjadi. Sehari sebelum hari pernikahan Nina menghilang. Benar-benar hilang tanpa jejak, tanpa ada satu orang pun tahu, termasuk keluarganya. Dia hilang ketika semua resepsi sudah sangat siap. Bahkan di hari pernikahan pun aku masih memaksakan untuk diselenggarakan, aku berharap Nina muncul. Namun, perempuan itu tak pernah terlihat lagi.Â
Aku dan keluarganya sudah mencari ke mana-mana. Para polisi pun sudah mengerahkan banyak personel untuk mencari keberadaannya. Namun, hasilnya nihil. Aku pergi ke tempat-tempat biasa kami bersama menghabiskan waktu, termasuk pondok itu. Namun, tak kutemukan juga. Aku bahkan sudah mengalihkan dana tabungan, yang tadinya untuk pembangunan kafe untuk membuat iklan spanduk, dan pamflet pencarian, namun masih tak ada hasil.Â
Yang bisa aku lakukan hanya menunggu, menunggu, dan terus menunggu. Hingga sampai titik di mana aku benar-benar menyerah. Aku depresi berat dan berkeinginan untuk mati. Pernah juga melakukan percobaan bunuh diri. Pikiran gilaku muncul waktu itu, bahwa mungkin dengan bunuh diri, aku berharap bisa menemukannya di kehidupan selanjutnya.
 ****
"Makanlah, Raga," ucap wanita yang duduk di sampingku sambil memegang sendok untuk menyuapi. Ia adalah ibuku. Aku bergeming terduduk di kursi menghadap jendela tanpa bergerak sedikit pun. Mataku lebih tertarik pada awan yang berarak di luar sana.Â
Sejak kehilangan Nina, aku kehilangan segalanya. Hancur tak bersisa. Tak ada lagi gairah. Bahkan aku ingin mengakhiri hidup. Sempat beberapa kali aku coba, tetapi Ibu selalu menggagalkannya.
"Kalau kau begini terus kau bisa mati!" ujarnya. Aku masih bergeming dan berpikir betapa bodoh perkataannya itu. Karena itu yang aku inginkan. "Hei, makanlah, Raga." Kali ini Ibu memaksa. Sebuah suapan meluncur ke mulutku dengan kasar. Terpaksa aku membuka mulutku sedikit untuk menyambut makanan itu. "Mama sudah tak tahu harus berbuat apa lagi, Raga. Sudah dua tahun kau seperti ini. Mama sudah tidak sanggup."
Ibu meletakan piring di meja beserta alat makan, kemudian melangkah mendekati jendela yang sedikit terbuka. Ibu mengeluarkan sebatang rokok, menyalakan korek api untuk menyundut, lalu menghisapnya kuat. Kepulan asap mengepul lalu keluar cepat dari sela-sela jendela.
"Apakah kau tidak bisa mencari perempuan lain?" Ibu melirik ke arahku. Ucapan itu sudah sering kali terdengar ketika dia sudah jengah dengan diriku. "Dari dulu kau memang selalu begini, Raga. Kau harus selalu mendapatkan apa yang kau mau. Tapi, Raga, perempuan itu tak akan pernah bisa kau dapatkan. Dia mungkin sudah bersama pria lain. Sadarlah! Kau sudah dewasa! Bukan anak kecil lagi!"
Ada raut kesedihan sekaligus kesal dari wajah berkeriputnya. Ibu berjalan menghampiri meja di mana tasnya disimpan, kemudian kembali berjalan menghampiriku setelah merogoh isi di dalamnya. "Sebenarnya doktermu melarang Mama untuk memberitahumu, tetapi...."
Ia tak meneruskan ucapannya dan langsung menaruh benda yang tadi diambilnya dalam tas tepat di meja sebelah kananku, kemudian segera pergi.Â
Sungguh aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Itu adalah sebuah kertas undangan pernikahan dengan nama Nina dan nama pria yang aku tahu adalah mantannya. Hatiku remuk ketika mengetahui kenyataan itu, seakan mendapatkan pukulan telak tepat di ulu hati. Perih. Aku menatap kertas undangan itu dengan air mata. Geram sekaligus sedih.Â
Di tanggal yang tercantum, aku memutuskan pergi ke pesta pernikahan itu. Dari jauh aku melihat perayaan pernikahan dengan adat Bali yang megah, persis seperti resepsi pernikahanku yang gagal dahulu. Aku melihat Nina tampak bahagia bersama pria itu. Belakangan aku tahu, selama ini Nina pergi menemui mantan kekasihnya yang sangat dia cintai ke Jepang. Rupanya dia sempat teryakinkan olehku bahwa kutukan itu hanya mitos. Ironi, Nina memilih kembali kepada mantannya berkat aku.
Sekali lagi, aku hancur.
****
Aku memutuskan untuk mengasingkan diri di pondok yang sudah dua tahun terbengkalai. Sudah berbulan-bulan aku di sini sendirian. Beberapa kali mencoba untuk bunuh diri karena berpikir untuk apa lagi aku meneruskan kehidupan ini. Terkadang seseorang yang aku kenal suaranya berbicara dari luar, bercerita tentang indahnya kehidupan di luar sana, dan menasihati agar aku menjadi orang yang lebih baik jika sudah keluar dari pondok ini.Â
Aku tahu itu suara Nina. Dia hadir seakan-akan berbicara padaku. Walau aku tahu dia hanya halusinasiku saja. Namun, kepadanya jua aku sering bercerita tentang "kita", tentang masa lalu dan kenapa aku berada di sini. Hanya untuk menjaga kewarasan yang hampir tak lagi kumiliki.Â
Hingga suatu hari, ketika sudah waktunya aku harus meninggalkan tempat ini.
Ada kekuatan aneh yang mengusikku untuk keluar. Suara aliran arus sungai terdengar tak biasa, seolah-olah meluap dan membanjiri pondok. Aku meringkuk di dalam tanpa bisa bergerak sedikit pun. Kemudian seseorang mendobrak masuk pondok. Tangan itu meraih tubuhku, memaksa untuk membawaku keluar.
Aku mendengar Nina berteriak kesakitan, bersama suara-suara lain terdengar seolah sibuk mengurusi sebuah kelahiran. Aku yang tak tahu apa yang sedang terjadi lalu menangis, karena hanya itu yang bisa kulakukan.
Hingga tak lama kemudian, aku menjadi lebih tenang, ketika aku merasa berada di pelukan dan mendengar detak jantung yang sangat kukenal.Â
"Halo." Seseorang menyapa dengan sangat lembut. "Haaalooo."
Samar-samar aku memandang seberkas wajah. Wajah yang sangat aku kenal. Dia tersenyum. Wajah itu ... wajah yang tak ingin aku lupakan. Nina?
-- Selesai --
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H