Aku melajukan motor dengan kencang di jalanan gelap, hanya lampu-lampu dari rumah penduduk dan bangunan menerangi selain lampu kendaraan. Sekali lagi, aku merasakan kesedihan itu lagi, ketika dia memelukku dan menempelkan kepalanya di punggung. Aku merasakan dia sedang merindui sesuatu--atau seseorang?
Kuhentikan motor di halaman sebuah rumah dengan dinding pigura berukiran khas Bali. Nina turun dan menghampiri bale-bale di mana seorang pria tua bertelanjang dada terduduk. Dengan rokok di jemari tangannya, ia menatapku lekat. Aku bisa langsung tahu bahwa dia bapaknya.Â
"Motor vespa bapak mana?" tanyanya begitu perempuan itu menghampirinya.
"Hilang. Dicuri orang." Dengan entengnya Nina menjawab.
"Hilang?" Pria tua itu tampak terkejut. "Kenapa bisa?"
Tanpa merasa bersalah sedikit pun perempuan itu tersenyum, kemudian melirikku yang masih berdiri di tempat parkiran motor dan memanggil agar segera menghampirinya. Seiring aku berjalan, keluar juga seorang wanita bersanggul dari dalam rumah dan tiba bersamaan denganku di depan bale-bale.Â
"Pak, Bu, ini Raga," perempuan itu memperkenalkan namaku pada orang tuanya.Â
"Siapa kamu?" tanya pria tua itu masih tampak sewot. Mungkin karena baru mengetahui motornya hilang.Â
"Saya Raga, Om." Aku yang tak enak hati sekali lagi memperkenalkan. "Aku tem--"
"Dia pacar Nina, Pak," ucap perempuan itu segera memotong kalimat perkenalanku.
Ada reaksi yang berbeda selain mimik keterkejutan pada wajah kedua orang tua Nina setelah mendengar kebohongannya--yang sebenarnya aku harapkan benar--, terutama bapaknya. Perlahan pria itu menurunkan tensi, berganti dengan senyum semringah, seakan melupakan motornya yang hilang. Agak aneh sebenarnya, bukan hanya pada bapaknya, melainkan pada Nina. Baru tadi siang kami bertemu dan sekarang dia mengenalkan aku pada orang tuanya sebagai pacar. Kemudian beliau memperlihatkan keramahtamahan dengan menyuruhku masuk ke dalam rumah. Dia memegang bahuku seperti menggiring pelan sementara tangan satunya lagi menunjukkan arah pintu. Aku tersenyum canggung.