"Kalau internal, Dit?"
        Adityapun begitu antusias untuk membeberkan tahunya. Tahu nggak apa yang dikatakan...
        "Fisik dan psikis. Fisik, seperti kondisi badan yang sakit, lapar dan sebagainya. Sedangkan Psikis bersumber dari kondisi kejiwaan kita sendiri yang menjadi penghambat, ketika melakukan proses belajar."
        "Maksudmu, Dit?" aku menjadi penasaran juga mendengar omongan Aditya.
        "Ketika kita belajar, tetapi sesungguhnya kita tidak siap untuk belajar. Kita sulit memfokuskan pikiran karena pikiran kita tersita atau melayang memikirkan hal lain yang tidak ada hubungan dengan apa yang kita pelajari. Seperti apa yang kamu lakukan barusan, ada keinginanmu untuk belajar, tetapi pikiranmu larut dalam keresahan memikirkan hal lain. Alhasil belajar seperti melakukan hal sia-sia."
        "Ah, kamu bisa aja Dit ngeledek,"tukasku secara spontan, malu-malu.
        "Bukankah apa yang kukatakan itu memang riil, Ana? Kita akan sulit konsentrasi belajar, jika dibenak pikiran kita terjadi duplikasi pikiran dan perasaan, seperti terus menerus terbayang tentang kekasih atau dalam kondisi perasaan marah, kesal, dendam, benci, sedih dan ketakutan."
        Benar juga fakta yang dikatakan Aditya ini. Aku langsung ngaca diri.
        "Ya, aku akui apa yang kamu katakan itu memang benar sih, Dit. Setelah aku perhatikan sumber utama kesulitan belajarku selama ini ternyata tressornya problem psikisku sendiri rupanya. Aku baru sadar sekarang dan aku sungguh beruntung mendapat pencerahan darimu Dit."  Â
        Mendengar ucapanku, Aditya menjadi tersenyum, tapi bukan bangga diri loh! "Bagus sekali Ana, jika kita mulai memahami hal yang paling hakiki dari problem kita itu." Lalu tiba-tiba Aditya mengubah nada bicaranya padaku. "Tapi ngomong-ngomong maaf ya Ana, kalau aku bersikap lancang terhadapmu!"
        "Ah, tidak apa-apa Dit. Apa yang ingin kamu katakan, katakan saja Dit? Aku tidak tersinggung kok... Malah aku merasa senang dan berterima kasih sekali, jika kamu dapat memberi informasi lebih lanjut padaku," ujarku, tanpa menghilangkan keseriusanku menyimak tutur kata Aditya. Aku tidak tau kemana arah pembicaraan Aditya. Tapi memang aku tertarik terhadap apa yang akan dikatakan Aditya padaku. Akupun semakin asyik ngobrol dengan Aditya. Apa karena tutur katanya yang menarik atau memang orangnya semakin mempesonaku? Kuperhatikan Aditya juga semakin asyik untuk ngobrol gitu.