Ratna pun langsung menatapku. Keningnya mengernyit, heran. Tak biasanya dia melihat aku pulang dengan begitu ceria.
"Tumben, kamu begitu ceria Ana? Kabar Apa lagi  yang kamu bawa hari ini?" sambutnya, sembari memeluk pinggangku.
"Kamu tau nggak, aku tadi ketemu arjuna mencari cinta loh!"
"Ah, arjuna kamu bilang? Apa bukan keledai Ana?" sela Ratna. Lalu Ratna melepaskan pelukannya dan melangkahkan kakinya menuju ranjangnya.
"Ini super beda Rat," ujarku.
 "Alaaa, apa sih bedanya bagimu Ana? Bukankah kamu sudah punya Andrew dan Gilang? Mau apa lagi kamu?" komentar Ratna, sembari meletakkan buku novel yang baru dibacanya. Ratnapun lalu duduk di sisi ranjangnya dan bersandar di daun ranjang, sembari memperhatikanku yang sedang meletakkan buku di atas meja belajarku. Ratna menjadi penasaran juga melihat sikapku. Dia merasa iri melihat aku dapat mengeksploitasi diriku. Sebenarnya, dia ingin memiliki karakter yang kuat dan dapat membuat cowok terpesona, tidak hanya mengandalkan kecantikan semata. Harus ada kekuatan yang menonjol memancar  dari dalam diri, sebagai ciri  khas gitu, batin Ratna.
Sementara itu, aku sungguh sumringah dengar komentar Ratna. Dia tau betul aku suka sekali mempermainkan perasaan laki-laki, terutama terhadap laki-laki yang mudah aku perdaya oleh kerupawanan dan kekuatan khasku. Tanpa menoleh aku menyelanya. "Ah, jangan cepat berburuk-sangka begitulah kawan! Ini yang aku temukan di dalam perpustakaan kampus beda loh. Jika aku katakan padamu, pasti kamu tidak akan percaya!"
"Ooo kelihatannya apa dia begitu spesial? Apa dia laki-laki sejati seperti yang kamu impi-impikan itu?" berondong Ratna sinis.
Aku tidak menanggapi pertanyaan Ratna yang bernada sumbang itu. Aku jatuhkan tubuhku di atas ranjang. Pikiranku melayang mengingat dan membayangkan pertemuan itu. Hatiku rasanya berbunga-bunga, melihat cara dia memandangku, sikapnya dan senyumannya yang menyejukkan hati, terutama tutur katanya yang membuat diriku terlena. Dia mampu baca apa yang ada di dalam dadaku. Dia sungguh menghargai aku, memperlakukan aku dengan penuh perhatian. Di matanya tidak aku temukan sikap dan perangai laki-laki yang suka memperdaya kaum perempuan. Aku ingin sekali dekat dengan dirinya, merebahkan kepalaku di dadanya yang bidang itu, tentu begitu asyik sekali. Aku rasa dirinya laki-laki yang mampu membimbing diriku untuk melepaskan beban deritaku dan kehausanku akan belaian kasih sayang yang sesungguhnya dari seorang laki-laki sejati. Tapi yang menjadi tanda tanya dalam benakku, apa dia memiliki perasaan yang sama dengan apa sedang aku rasakan ini ya?
Saat itu, aku betul-betul sedang kesal sekali di dalam ruangan perpustakaan kampusku. Aku tak menemukan buku yang aku cari. Padahal, aku sedang diburu waktu untuk menyelesaikan tugas yang diberikan dosen killerku, Bapak M. Sianturi yang menyebalkan itu. Dia selalu memberi beban tugas dalam waktu mepet sekali. Di mana bahan literaturnya sangat langka lagi. Apalagi dia sudah mengultimatum barang siapa yang tidak menyelesaikan tugas yang diberikan ini, maka jangan harap dapat lulus mata kuliah yang diasuhnya itu. Tabu baginya tawar-menawar. Untuk mengantisipasi ancaman Dosen Killerku itu, maka aku sudah mengumpulkan setumpuk buku psikologi pendidikan di hadapanku. Namun dari sederet buku yang aku kumpulkan ini tak satupun yang membahas mengenai cara mengatasi kesulitan belajar seperti yang diinginkan Bapak M. Sianturi itu. Padahal sudah semua buku aku bolak-balik, halaman demi halaman.
Tanpa aku sadari secara refleks aku lampiaskan kekesalanku dengan mengetuk-ngetuk ujung pulpenku di atas buku tulisku. Akibat perbuatanku itu, membuat seseorang yang duduk di hadapanku merasa terganggu juga.