Bab 1
Kesan Pertama. Hatiku begitu berbunga-bunga. Aku tak sabar ingin segera sampai di rumah pemondokanku. Aku ingin tumpahkan gejolak hatiku pada Ratna, teman sekamarku. Memang dengannya aku suka berbagi rasa. Pasti dia akan terheran-heran dan penasaran dengar berita dariku. Dengan setengah berlari, aku bergegas menyelusuri lorong-lorong sempit menuju rumah pemondokan. Aku yakin Ratna telah lebih dahulu sampai daripadaku.
Rumah pemondokanku itu memang tak begitu jauh dari tempatku kuliah. Namun untuk mencapainya, aku harus berlompat-lompat kecil menghindari jalanan yang becek, agar sepatu maupun celana panjangku tidak ternoda oleh lumpur. Maklumlah aku harus memilih rumah pemondokan yang sederhana dan murah, sesuai dengan kocekku. Sebenarnya aku pun kepingin sih, tinggal di rumah pemondokan yang mewah, seperti di Griya Kencana di Setia Budi Medan itu loh... Namun apa daya, itu seperti mimpi rasanya. Tapi, sudahlah aku tak perlu merisaukan masalah tempat pemondokan itu. Toh, aku masih bisa menjalani perkuliahanku tanpa ada masalah, ya-nggak?
Akhirnya, sampai juga aku di ujung gang Dahlia, tepat di depan rumah pemondokanku. Aku lihat induk semangku dengan ciri khasnya mengunyah daun sirih beserta remeh-remehnya sedang duduk di kursi malasnya. Aku begidik, melihat warna merah yang meleleh di selah-selah sudut bibirnya itu. Memang aneh, di zaman semodern begini, masih ada saja yang nginang daun sirih bercampur remeh-remehnya begitu. Apa seperti candu, ya nikmatnya? Tapi, yah memang aneh. Coba lihat induk semangku itu masih memiliki gigi yang utuh. Padahal usianya sudah kepala tujuh gitu. Aneh-nggak? Tapi sudahlah, mengapa kita harus pusing-pusing mikirin itu. Sementara aku harus dapat menyesuaikan diri terhadap kebiasaan induk semangku itu, karena hanya rumah pemondokan ini yang tarifnya paling murah.
"Daaa Amangboru, Ratna sudah pulang?" sapaku, sambil bertanya tentang sahabat karibku itu.
Induk semangku itu menoleh dan dengan gaya dia menurunkan kaca mata kunonya, hanya sekedar untuk memperhatikanku. Sorot matanya mencorong. Maklumlah, memang matanya sudah kabur berat, seiring dengan usianya yang sudah tujuh puluhan itu.
"Oh, kaunya itu Ana?" dia balik tanya. Namun belum sempat aku jawab. Lanjutnya, "Tadi, Ratna juga menanyakanmu. Aku kira dia ada di kamarnya sekarang. Oya si Andrewpun, tadi meminta  kamu segera menemuinya di Medan Plaza jam 6 sore nanti!!!"   Â
"Oya! Terima kasih Amangboru. Aku tinggal dulu ya Amang...!" jawabku sekedar basa-basi. Tanpa menunggu reaksi Induk semangku itu, aku langsung bergegas menuju ke kamar pemondokanku. Memang aku sengaja untuk menghindari pembahasan tentang si Andrew, cucunya itu yang buat aku sebal sekali.
"Ana jangan kamu kecewakan cucuku itu, ya!" teriak induk semangku itu.
"Huuu!" dengusku menghalau teriakan induk semangku itu. Aku tidak ingin ucapan induk semangku itu  mempengaruhi perasaanku yang lagi berbunga-bunga. Rasanya saat ini hatiku hampir meledak, tak sabar menyampaikan kabar gembira ini pada Ratna. Aku tidak peduli dengan si Andrew, si penuntut dan sok pengatur itu. Â
Begitu Ratna membuka pintu kamar pemondokan, langsung saja aku cengkram kedua tangannya dan aku brondong dengan suara ceria. "Aku punya kabar gembira, Rat! Coba apa tebak?"