Â
******
Pagi pagi sekali kami sudah berangkat menuju lokasi panen kentang yang tidak jauh dari rumah kebun namun jalannya agak curam, Abak menanam kentang di lereng bukit, tanah berbukitan yang lereng di beri tugalan, sebelum mulai bekerja abak membuat tempat untuk kami bermaian, abak mendatarkan tanah yang lereng sekitar 1 x 1,5 meter, mengambil 2 bambu kecil menancapkan di tanah dan mengikatkan ujung kain sarung sebagai tempat kami berlindung dari sinar mata hari pagi, disilah kami main berdua menungu Mak dan Abak bekerja panen kentang,
Mata hari mulai beranjak naik dan kain sarung yang ikatkan pada bambu kecil itu sudah tidak ada banyangannya lagi hingga bisa melindungi kami dari panasnya sinar mata hari, tiba-tiba Abak untuk memindahkan posisi kain tersebut dan Mak juga datang dengan  membawa 2 buah jambu biji dan lamtoro, kata Mak "Nan dak usah makan jambu ini" kata orang jambu biji pantangan bagi orang yang menderita sakit kuning, adik ku menurut apa kata Mak,dia tidak memakan jambu itu, dia hanya makan lamtoro.
Aku merasa kasian, rasanya aku ingin memberikan separo dari jambu ku kepadanya nya tapi Mak melarang dan begitu kuat keinginan adik ku untuk sembuh dari sakit nya.
    Setelah makan siang bersama Mak dan Abak melanjutkan pekerjaan beliau panen kentang, kali ini posisi panen nya di atas tanah tempat kami duduk, Abak panen dengan menggunakan cangkul dan Mak mengumpulkan kentang- kentang itu dengan  keranjang terus mengangkatnya masuk karung, ada beberapa kentang yang jatuh mengelinding tepat di hadapan kami, dengan senang gembira kami menangkap kentang tersebut dan mengumpulkan nya di tempat duduk kami,
saking semangatnya kami mengambil kentang yang jatuh menggelinding itu tanpa disadari bahwa kentang itu jauh dari jangkauan tangan kami, hingga adik ku terjatuh dan ikut menggending ke bawah bersama kentang itu, aku ingin menolong Adik namun tangan ku tak sampai, aku tak sanggup menggapainya, hingga ikut pula meluncur ke bawah ke anak sungai, Mak juga demikian, Mak mengejar Adik dan tersangkut di batang kayu di bawah sana, sementara posisi adik ku sudah sampai ke sungai kecil yang berada sekitar 30 meter di bawah tempat duduk kami, Akhir nya Abak yang sampai ke bawah menolong Adik, pada saat itu kondisi adik seperti nya tidak apa-apa, hanya kepalanya yang terkena lumpur, tidak ada tanda-tanda bahaya pada dirinya, malah kaki Abak yang berdarah luka kena cangkul saat berlari hendak menolong adikku, lalu kepala adik di bersihkan kami pulang duluan bersama Mak, sementara abak kembali ketempat membereskan perkakas dan hasil panen pada hari itu.
 *******
Pagi itu terasa sangat dingin, seandainya kami memiliki alat ukur suhu udara mungkin angka pada barometer tersebut menunjukkan suhu 16 derajat, tapi sayang kami tidak memilikinya, kami hanya dapat menikmati indahnya kebersamaan ini, tidur satu selimut bersama Adik ku semata wayang, tidak cukup hanya sehelai kain selimut tebal kami menambah dengan tikar pandan yang khusus dibuat untuk selimut dianyam oleh Mak menggunakan daun pandan muda yang lembut, hingga badan terasa hangat dan adikku tertidur pulas,
Aku bangun lebih dahulu, membantu Mak memasak di dapur, kemudian Adik ku menyusul, kami berdua duduk di bangku-bangku kecil berukuran 60 cm tinggi nya 15 cm yang terletak di tepi dapur, aku bertanya "Nan mau sarapan apa? Dia jawab: Nan mau nasi ndang (nasi goreng tanpa minyak) diberi garam secukupnya" Mendengar adik mau nasi ndang, Mak turun mengambil kayu api dibawah rumah panggung yang kami tempati, tak lama api menyala dan nasi ndang nya belum matang, adikku menguap kemudian muntah warna kuning, Mak langsung mengendong adik dan membawanya keluar rumah, aku mengikuti sambil membawa segelas air minum, adik meminum air namun terus muntah lagi, Abak mengambil minyak angin dan mengoleskan di perut adik, sambil memijat-mijat dada dan punggungnya namun pertolongan petama ini belum berhasil, muntahnya belum berhenti tambah lagi mencret, Abak keluar rumah mencari pertolongan dan memanggil tetangga, aku membantu Mak mengurus adik,kemudian tetangga berdatangan memberikan pertolongan semampunya,
     Mata hari beransur naik jarum jam telah menunjukkan pukul 09.00 wib, kami memutuskan untuk membawa adik ke rumah nenek di perkampungan penduduk. Jarak kebun ke rumah nenek cukup jauh untuk ukuran pejalan kaki, ada sekitar 12 km apalagi membawa adik dalam keadaan sakit, dan saya sendiri masih berusia 5 tahun, kiranya tidak mungkin kuat untuk berjalan sejauh 12 km, kami menunggu oplet angkutan umum yang hanya lewat pada jam 1 siang, akhirnya kami tiba di rumah nenek pada pukul 4 sore.