SENYUM MANIS MENOREH LUKA
*
Pagi yang cerah di lokasi pondok pesantren An Nuur Kerinci, sinar mata hari pagi menyusup di sela-sela dedaunan, pohon-pohon yang rindang mengiasi perkebunan lokasi pesantren, ada pohon kayu manis, durian, alpokat, jambu biji dll, bila kita memandang sekeliling kita nampak panorama yang indah lereng bukit barisan yang tersusun rapi  bak mutiara yang tersembunyi. Â
Kebun ku tidak banyak berubah masih seperti suasana 50 tahun yang lalu, pondok kebun masih seperti yang dulu tempat kami hidup bahagia bersama ayah ibu dan adik ku semata wayang, adik ku bernama Nendralita dia menyebut diri nya "Nan" dan dia memanggilku dengan pangilan kesayangannya "Uni En" sedangkan ayah dan ibu kami panggil "Abak dan Mak"panggilan dalam bahasa minang, karena ayahku berasal dari sumatera  barat yang terkenal dengan suku minang.
Adik ku "Nan" berusia 3 tahun dan aku berusia 5 tahun, Ia lah satu-satu nya teman ku, hidup di kebun tidak banyak teman, ada sih... anak-anak sebaya ku tapi jarak rumah kami berjauhan, seluas kebun yang kami miliki saat itu sekitar 1 hektar setiap keluarga, jarak yang jauh itu tidak memungkinkan kami untuk bermain sendiri kerumah teman, takut dengan binatang buas seperti harimau sumatera,beruang panda dll, sesekali kami diantar abak untuk bermain bersama mereka selakian abak silaturrahmi ke rumah tetangga untuk istirahat sore setelah pekerajaan beliau selesai, jadi hanya adik ku satu --satu teman ku yang paling setia, kami selalu bersama setiap saat dalam suka maupun duka, kami bermain bersama bersandagurau dengan riang gembira, tingkah lakunya yang lucu dan menggemeskan, membuat aku senang dan selalu bahagia.
**
Suatu hari ia berkata kepada ku,
 " Uni En, Nan akan pergi jauh, Jauuuh sekali"
 Lalu saya menjawab "kalau Nan pergi, Uni ikut,
Ia bilang "tidak", Uni En jaga Mak, bantu Mak ambil air sambil tersenyum,
Air pancuran yang berada di lereng bukit, itulah sumber air bersih untuk memasak dan semua keperluaan, tempat ini di hiasi dengan bunga-bunga di sekitar tebat.
Tebat adalah tempat jatuhnya air pancuran yang sengaja digali dan dam, tanah galiannya di letakkan di pinngir tebat agar airnya bisa tergenang seperti embung, di sini kami selalu bercangkama sambil mandi dan mencuci pakaian, selesai mandi airnya di tampung dengan bacuk dan gigik kemudian kami bawa pulang untuk keperuan di rumah.
***
Bacuk adalah tempat air yang terbuat dari seruas bambu besar yang diberi rangkai dengan melubangi ruas bambu bagian atas untuk dijinjing atau dipegang. Gidik yang berisi air bisa di letakkan di lantai atau dimana saja asalkan tempatnya datar, sedangkan gigik juga tempat air yang terbuat dari seruas bambu ukuran sedang, ruas bambu tersebut sengaja dipotong dengan posisi terbalik agar ranting bambunya dapat  menjadi tangkai untuk di sandang atau di sangkutkan di bahu kita pada saat membawa gigik tersebut, gigik yang bersisi air tidak bisa di letakkan di lantai karna tingginya tidak seimbang dengan besarnya maka gigik harus di sangkutkan, baik di dinding teras, didahan kayu atau pun di mana saja, jika kita ingin meletakkan gigik di lantai atau di tanah gigik ini harus disandarkan pada dinding atau batang kayu,  Inilah yang selalu kami gunakan untuk mengambil air bersih,Â
Membantu ibu mengambil air pancuran itulah kegiatan kami setiap hari, menuruni lereng bukit sekitar 30 meter, menampung air dengan gigik sekitar setengah jam, setelah penuh kami bawa air ke rumah dengan mendaki sekitar 30 meter lagi, di tengah perjalanan saya merapa capek dan istirahat di bawah pohon pisang, tiba-tiba ada burung elang yang terbang melayu, kedua sayapnya terkembang lebar melayang di udara sambil berbunyi kliiiikkkk kliiiiiiiiikkkk...
Adikku bernyanyi mengikuti irama suara burung elang itu, dengan lantang Ia berseru "ooo lang kliiik ambiiik Nan lang kliiikk.... ooo lang kliiik bao Nan lang kliik ..artinya "Wahai burung elang jemput aku, bawalah diri pergi"
"ooo elang kliiik ambiiik Nan lang kliiikk.... ooo lang kliiik bao Nan lang kliik,.
Dengan tidak kalah merdunya burung elang pun membalas nyanyian adik ku, mereka bersahut -- sahutan, seolah-olah mereka sedang bercakap -- cakap, Suara itu Ia lantunkan nyaring dan berulang-ulang sambil melambaikan tangannya hingga burung elang terbang menjauh kemudian menghilang dari pandangan mata.
  Setelah burung elang pergi Ia berkata  kepada ku, "Uni En, burung itu akan  menjemput Nan dan membawa Nan Pergi, aku yang baru berusia 5 tahun tidak mengerti apa-apa. Aku pikir itu hanya illusinasi, aku hanya acuh acuh saja, Sambil berdiri dan mengangkat gigik aku berkata "Ayo kita pulang, Mak sudah sudah menunggu di rumah.
****
Setiap pagi kami berangkat dari gubuk menuju kebun tempat Mak dan Abak bekerja, dengan bekal kain sarung Abak yang sudah lusuh dan seutas tali rapia untuk membuat pondokan tempat kami berlindung dari sengatan sinar mata hari, sampai di tempat kerja, sebelum memulai mencangkul tanah, Â abak langsung mengikat ke-4 ujung kain sarung itu dengan tali rapia dan menambatkannya pada ranting pohon, disinilah kami bermain rumah-rumahan, aku berperan menjadi ibu dan adikku berperan menjadi anak, kami bermain masak-makan dengan peralan mainan serba alami, seperti tempurung kelapa kami jadikan wajan dan ranting kayu sebagai sendoknya, mengaduk-aduk tanah sebagi nasi dan daun-daunan sebagai sayuran, jika merasa panas kami berdua masuk pondokan tersebut.
     Selain bermain  masak-masakan kami juga sering bermain sekolah-sekolahan,  aku berperan sebagai guru dan adikku sebagai muridnya, dengan bekal ilmu yang didapat dari Abak dan Mak, aku menularkan pada adik ku, aku mengajari adikku membaca dengan media yang sangat sederhana yaitu tanah sebagai papan tulis dan ranting kayu sebagai spidolnya dan ada juga media lain nya yaitu daun sebagai buku dan ranting yang paling kecil sebagai pencil, ketika menggunakan daun ini harus sangat hati-hati karna daun mudah robek. Inilah kegiatan rutin kami sambil menunggu Mak dan Abak istirahat, setelah tiba waktu istirahat kamipun makan bersama dan sholat berjamaah di rumah kebun
*****
      Suara adzan dari masjid siulak deras terdengar begitu lantang ke pondok kami, diiringi dengan suara ayam jantan yang berkokok sangat merdu, kami sekeluarga bangun untuk sholat subuh, kemudian Mak sibuk menyiapkan sarapan dan bekal yang akan dibawa ke tempat kerja yaitu lahan olahan, sementara abak menyiapkan perkakas seorang petani kebun, sambil menyiapkan perkakas tersebut abak mengajari kami membaca dengan mengeja nama-nama benda yang ada, seperti cangkul, parang, pisau, kapak dll
Setelah semuanya siap kami berangkat menuju lahan olahan untuk menanam kentang,  kami berdua ikut serta, seperti biasa kami menunggu sambil bermain, kali ini Abak membuatkan tempat kami duduk dibawah pohon nangka, Mak berkomentar "jangan di situ takut nanti ada buah nangka yang jatuh dan menimpa anak-anak" kemudian Abak memeriksa pohon nangka tersebut sudah di pastikan bahwa tidak ada buah nangka  yang besar atau matang, kami berdua aman, Mak dan Abak bekerja dengan tenang,
Sedang asyik bermain ada nangka yang jatuh, dalam bahasa kampung saya bunga nangkan disebut busung cemedak ada juga yang menybutnya cimdak ulu, Entah mengapa kali ini adik ku bercanda lagi dengan mengambil 2 buah bunga nangka, terus dia membuat lubang, menggali tanah dengan ranting kayu, aneh nya lubang itu pas seperti liang lahat, sambil memperlihatkan bunga nangka lalu dia berkata " ini Nan yang ini Uni En" Nan mati (meniggal) masuk sini sambil memasukkan bunga nangka ke lubang itu, Uni En duduk sini di tepi lubang itu, sambil bercanda aku menjawab "kalau Nan mati Uni ikut" dan memasukkan bunga nangka itu ke lubang yang sama, dia bilang tidak "Uni tidak boleh ikut, Uni jaga Mak,bantu Mak mengambil air" sambil tertawa kami rebutan bunga nangka itu, kemudian kami di panggil Mak karena hari sudah menjelang petang dan kami kembali kerumah kebun.
*****
Musim panen telah tiba, saat nya kami semua bergembira, pada sore hari kami sekeluarga duduk santai di halaman rumah kebun, nama nya saja rumah di kebun, banyak nyamuk, Abak membuat perapian untuk mengusir nyamuk, dan untuk mengangatkan badan dari dinginnya suhu udara pada sore hari, saya belajar sama Abak, belajar membaca dan berhitung, maklumlah tidak ada PAUD pada masa itu, tiba-tiba Mak datang dengan membawa  makanan atau snac sore, Mak menyuguhkan pisang goreng dan kripik pisang yang gurih kesukaan adikku, ditambah minuman khas kampung ku yaitu teh daun kopi atau yang dikenal sbukkawo, sambil menikmati hidangan itu Mak dan Mbak bercakap-cakap atau ngobrol ringan tapi serius,
Ngah!.., sudah panen besok, kentang kita jual, dapat uang kita buat rumah di dusun di perkampungan penduduk, persiapan tahun depan anak kita akan bersekolah  masuk SD,
Abak menjawab : Ya,
Tiga hari lagi adalah hari balai (hari pasaran) Hari balai hanya ada 1 kali dalam seminggu, pasar kalangan itu jatuhnya pada hari selasa, kita jual kentang dan belikan perlengkapan sekolah untuk Uni En dan Nan kita belikan baju baru,
Horeee ... horeee ... baju baru
Kami berdua tertawa kegirangan
     Â
******
Pagi pagi sekali kami sudah berangkat menuju lokasi panen kentang yang tidak jauh dari rumah kebun namun jalannya agak curam, Abak menanam kentang di lereng bukit, tanah berbukitan yang lereng di beri tugalan, sebelum mulai bekerja abak membuat tempat untuk kami bermaian, abak mendatarkan tanah yang lereng sekitar 1 x 1,5 meter, mengambil 2 bambu kecil menancapkan di tanah dan mengikatkan ujung kain sarung sebagai tempat kami berlindung dari sinar mata hari pagi, disilah kami main berdua menungu Mak dan Abak bekerja panen kentang,
Mata hari mulai beranjak naik dan kain sarung yang ikatkan pada bambu kecil itu sudah tidak ada banyangannya lagi hingga bisa melindungi kami dari panasnya sinar mata hari, tiba-tiba Abak untuk memindahkan posisi kain tersebut dan Mak juga datang dengan  membawa 2 buah jambu biji dan lamtoro, kata Mak "Nan dak usah makan jambu ini" kata orang jambu biji pantangan bagi orang yang menderita sakit kuning, adik ku menurut apa kata Mak,dia tidak memakan jambu itu, dia hanya makan lamtoro.
Aku merasa kasian, rasanya aku ingin memberikan separo dari jambu ku kepadanya nya tapi Mak melarang dan begitu kuat keinginan adik ku untuk sembuh dari sakit nya.
    Setelah makan siang bersama Mak dan Abak melanjutkan pekerjaan beliau panen kentang, kali ini posisi panen nya di atas tanah tempat kami duduk, Abak panen dengan menggunakan cangkul dan Mak mengumpulkan kentang- kentang itu dengan  keranjang terus mengangkatnya masuk karung, ada beberapa kentang yang jatuh mengelinding tepat di hadapan kami, dengan senang gembira kami menangkap kentang tersebut dan mengumpulkan nya di tempat duduk kami,
saking semangatnya kami mengambil kentang yang jatuh menggelinding itu tanpa disadari bahwa kentang itu jauh dari jangkauan tangan kami, hingga adik ku terjatuh dan ikut menggending ke bawah bersama kentang itu, aku ingin menolong Adik namun tangan ku tak sampai, aku tak sanggup menggapainya, hingga ikut pula meluncur ke bawah ke anak sungai, Mak juga demikian, Mak mengejar Adik dan tersangkut di batang kayu di bawah sana, sementara posisi adik ku sudah sampai ke sungai kecil yang berada sekitar 30 meter di bawah tempat duduk kami, Akhir nya Abak yang sampai ke bawah menolong Adik, pada saat itu kondisi adik seperti nya tidak apa-apa, hanya kepalanya yang terkena lumpur, tidak ada tanda-tanda bahaya pada dirinya, malah kaki Abak yang berdarah luka kena cangkul saat berlari hendak menolong adikku, lalu kepala adik di bersihkan kami pulang duluan bersama Mak, sementara abak kembali ketempat membereskan perkakas dan hasil panen pada hari itu.
 *******
Pagi itu terasa sangat dingin, seandainya kami memiliki alat ukur suhu udara mungkin angka pada barometer tersebut menunjukkan suhu 16 derajat, tapi sayang kami tidak memilikinya, kami hanya dapat menikmati indahnya kebersamaan ini, tidur satu selimut bersama Adik ku semata wayang, tidak cukup hanya sehelai kain selimut tebal kami menambah dengan tikar pandan yang khusus dibuat untuk selimut dianyam oleh Mak menggunakan daun pandan muda yang lembut, hingga badan terasa hangat dan adikku tertidur pulas,
Aku bangun lebih dahulu, membantu Mak memasak di dapur, kemudian Adik ku menyusul, kami berdua duduk di bangku-bangku kecil berukuran 60 cm tinggi nya 15 cm yang terletak di tepi dapur, aku bertanya "Nan mau sarapan apa? Dia jawab: Nan mau nasi ndang (nasi goreng tanpa minyak) diberi garam secukupnya" Mendengar adik mau nasi ndang, Mak turun mengambil kayu api dibawah rumah panggung yang kami tempati, tak lama api menyala dan nasi ndang nya belum matang, adikku menguap kemudian muntah warna kuning, Mak langsung mengendong adik dan membawanya keluar rumah, aku mengikuti sambil membawa segelas air minum, adik meminum air namun terus muntah lagi, Abak mengambil minyak angin dan mengoleskan di perut adik, sambil memijat-mijat dada dan punggungnya namun pertolongan petama ini belum berhasil, muntahnya belum berhenti tambah lagi mencret, Abak keluar rumah mencari pertolongan dan memanggil tetangga, aku membantu Mak mengurus adik,kemudian tetangga berdatangan memberikan pertolongan semampunya,
     Mata hari beransur naik jarum jam telah menunjukkan pukul 09.00 wib, kami memutuskan untuk membawa adik ke rumah nenek di perkampungan penduduk. Jarak kebun ke rumah nenek cukup jauh untuk ukuran pejalan kaki, ada sekitar 12 km apalagi membawa adik dalam keadaan sakit, dan saya sendiri masih berusia 5 tahun, kiranya tidak mungkin kuat untuk berjalan sejauh 12 km, kami menunggu oplet angkutan umum yang hanya lewat pada jam 1 siang, akhirnya kami tiba di rumah nenek pada pukul 4 sore.
********
Rumah nenek berada di dusun/desa yang ramai penduduk, disini ada puskesmas tapi  tidak ada dokter yang bertugas hanya ada 1 mantri kesehatan yang melayani secara keseluruhan, adik dibawa ke puskesmas tetapi pak mantri tidak berada di tempat, beliau sedang mengunjungi pasien yang sakitnya sudah parah dan rumah cukup jauh.
Hari semakin gelap dan pak mantri  belum datang, ingin membawa adik ke RSU, namun kondisi saat itu tidak memungkinkan, Rumah Sakit Umum berada di Kota Kabupaten dengan jarak 15 km dan tidak ada oplet atau angkutan yang kesana, akhirnya adik di bawa pulang dan berobat sama orang pintar,
Di rumah nenek banyak tamu, semua keluarga berkumpul, Mak ingin mandi dan sholat isya, beliau menitipkan adik pada kakaknya, tapi adik tidak mau, ia menggelengkan kepalanya, ia mau bersama ku, sambil mengulurkan tangannya ia menyebut nama ku "Uni En" aku menyambut tangannya, dan duduk bersimpuh memeluknya, aku mencium keningnya, ia pun membalas ciumanku, berkali-kali ia mencium pipiku, aku tersenyum ia pun tersenyum, aku menawarkan minum, "Nan mau minum ? ia menggeleng". Nan mau makan roti? Â Ia menggeleng, lalu ia berkata: Nan mau tidur, sambil tersenyum ia merangkulku, aku membalas senyumannya sambil memindahkan posisi tangan kanannya ke bagian bawah ketiakku dan tangan kiri nya menyambung di bagian punggungku, sedangkan posisi tangan kiriku tepat di bagian kuduknya dan menyambung dengan tangan kananku di punggungnya, kami berpelukan sangat erat seperti bayi kembar siam yang tak ingin dipisahkan, adikku semata wayang tertidur pulas di pangkuan ku.
Pada keheningan malam jarum jam berdetak detik, adik ku tertidur pulas di pangkuan ku, kedekap tubuhnya sangat erat, hingga kurasakan hangat tubuhnya dan aroma napas nya yang harum bak wanginya bunga melati kembang setaman, dalam hati aku berkata, tidurlah lah dik, uni akan menjaga mu, dekap lah tubuh uni dan rasakan betapa uni ingin melakukan yang terbaik untuk mu Adikku sayang, Â para tamu sudah berangsur pulang, yang tinggal hanya nenek dan mak andak (kakak ibu), Abak sudah tertidur karna kelelahan, Â Mak menyapa ku,
 "Nak, adikmu sudah tidur?",  Sambil menganggukkan kepala, ku jawab Ya mak, letakkan adik di kasur ini, sambil menyiapkan tempat tidur,
Lalu Mak mengampiri ku, sini Mak yang memindahkan,
Aku memberikan adik pada Mak, spontan Mak langsung menjerit histeris, menangis meraung-raung, anaak ku ....anaaaaaak ku, jangan pergi nak... jangan tinggalkan Mak,
Aku binggung, aku tidak mengerti apa-apa, aku hanya menatap Mak, kemudian nenek ,mak dan mak andak berangkulan, aku semakin bingung, melihat keluarga pada menangis semuanya, Abak yang tadi nya tertidur langsung terbagun melihat adik, abak menciumnya berulang kali, Abak ingin mengambilanya dari Mak, tapi Mak tidak mau melepaskan pelukannya,  lalu Abak datang pada ku, langsung memeluk ku, ku lihat mata abak juga basah, namun abak tetap tenang, beliau berbisik, Adik mu sudah pergi meninggalkan kita  untuk selamanya, aku masih belum memahami perkataan abak, aku tertidur di pangkuan abak.
*********
Tamu di rumah ku semakin banyak, bahkan tidak cukup tempat duduk, sebagian ada yang duduk di halaman rumah, aku tidak mengerti apa yang sedang dilakukan, perhatian ku dialihkan dengan bermain bersama anak2 keluarga yang sebaya ku, di temani bibi ku, setelah pengurusan jenazah adik ku di bawa ke pemakaman umum, aku ikut mengantarkan adik ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Sejak kejadian itu, aku merasa tidak enak badan, makan tak enak tidurpun tak ngengak, Hari-hari berlalu bagai dalam mimpi, aku selalu di rundung rindu, rindu pada adik ku yang ku sayang namun rindu itu tidak bisa ku ungkapkan kata-kata, aku hanya dapat merasakan makin hari berat badan ku semakin menurun, orang bilang aku sakit tapi aku tidak merasakan sakit pada badan ku, aku hanya merasa kehilangan, luka hati ku sangat mendalam, aku terkurung dalam kerinduan yang mencekam.
Tiga bulan sudah berlalu, aku larut dalam kesedihan, kesepian, tidur tak nyenyak makan tak kenyang hingga badan ku menjadi kurus kering, tinggal kulit pembalut tulang.
Mak bertanya pada ku, apa Uni sayang sama Mak, ku jawan Ya, kalau uni sayang sama tolong lah cicip masakan Mak, makan lah lauk nasi masakan mak, aku diam sesaat, lalu Mak memegang jemari ku meletakkan di dahi Mak, aku merasakan panas, ini menandakan Mak kurang sehat, Mak demam, ternyata Mak dan Abak juga sedih kehilangan adik, tapi beliau lebih sedih lagi melihat kondisi saya.
Melihat Mak sakit, aku teringat kata-kata adikku, dia sering bilang "Uni En jaga Mak" aku bangkit dari tidurku,
ku lawan kesedihan ini dengan semangat yang membara, Â hingga kondisi ku dapat pulih kembali, namun senyuman terakhir adik ku selalu ada di pelupuk mata ku, SENYUM MANIS MENOREH LUKA
Baik lah dik, uni akan menjalankan amanah mu, uni akan menjaga Mak dan Abak sampai akhir hayat, kini mak telah menyusul mu, Mak telah besama mu di syurga, giliran mu yang menjaga mak yaa dik.
Salam Literasi, Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
                                                                                                   Yogyakarta, 20 Agustus 2023
                                                                                                   Penulis,
                                                                                                   Helma Herawati, M.PdÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H