Mohon tunggu...
Helma Herawati
Helma Herawati Mohon Tunggu... Guru - GURU SD NEGERI JETIS 1 YOGYAKARTA & PENDIRI PONPES AN-NUUR KERINCI

HELMA HERAWATI, Lahir di Siulak Panjang- Kerinci-Jambi, Hobby membaca dan menulis, Pekerjaan Guru SD Negeri Jetis 1 Yogyakarta dan Pembina Pondok Pesantren AN-NUUR KERINCI

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyum Manis Menoreh Luka

21 Agustus 2023   00:10 Diperbarui: 21 Agustus 2023   00:58 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tebat adalah tempat jatuhnya air pancuran yang sengaja digali dan dam, tanah galiannya di letakkan di pinngir tebat agar airnya bisa tergenang seperti embung, di sini kami selalu bercangkama sambil mandi dan mencuci pakaian, selesai mandi airnya di tampung dengan bacuk dan gigik kemudian kami bawa pulang untuk keperuan di rumah.

***

Bacuk adalah tempat air yang terbuat dari seruas bambu besar yang diberi rangkai dengan melubangi ruas bambu bagian atas untuk dijinjing atau dipegang. Gidik yang berisi air bisa di letakkan di lantai atau dimana saja asalkan tempatnya datar, sedangkan gigik juga tempat air yang terbuat dari seruas bambu ukuran sedang, ruas bambu tersebut sengaja dipotong dengan posisi terbalik agar ranting bambunya dapat  menjadi tangkai untuk di sandang atau di sangkutkan di bahu kita pada saat membawa gigik tersebut, gigik yang bersisi air tidak bisa di letakkan di lantai karna tingginya tidak seimbang dengan besarnya maka gigik harus di sangkutkan, baik di dinding teras, didahan kayu atau pun di mana saja, jika kita ingin meletakkan gigik di lantai atau di tanah gigik ini harus disandarkan pada dinding atau batang kayu,  Inilah yang selalu kami gunakan untuk mengambil air bersih, 

Membantu ibu mengambil air pancuran itulah kegiatan kami setiap hari, menuruni lereng bukit sekitar 30 meter, menampung air dengan gigik sekitar setengah jam, setelah penuh kami bawa air ke rumah dengan mendaki sekitar 30 meter lagi, di tengah perjalanan saya merapa capek dan istirahat di bawah pohon pisang, tiba-tiba ada burung elang yang terbang melayu, kedua sayapnya terkembang lebar melayang di udara sambil berbunyi kliiiikkkk kliiiiiiiiikkkk...

Adikku bernyanyi mengikuti irama suara burung elang itu, dengan lantang Ia berseru "ooo lang kliiik ambiiik Nan lang kliiikk.... ooo lang kliiik bao Nan lang kliik ..artinya "Wahai burung elang jemput aku, bawalah diri pergi"

"ooo elang kliiik ambiiik Nan lang kliiikk.... ooo lang kliiik bao Nan lang kliik,.

Dengan tidak kalah merdunya burung elang pun membalas nyanyian adik ku, mereka bersahut -- sahutan, seolah-olah mereka sedang bercakap -- cakap, Suara itu Ia lantunkan nyaring dan berulang-ulang sambil melambaikan tangannya hingga burung elang terbang menjauh kemudian menghilang dari pandangan mata.

   Setelah burung elang pergi Ia berkata  kepada ku, "Uni En, burung itu akan  menjemput Nan dan membawa Nan Pergi, aku yang baru berusia 5 tahun tidak mengerti apa-apa. Aku pikir itu hanya illusinasi, aku hanya acuh acuh saja, Sambil berdiri dan mengangkat gigik aku berkata "Ayo kita pulang, Mak sudah sudah menunggu di rumah.

****

Setiap pagi kami berangkat dari gubuk menuju kebun tempat Mak dan Abak bekerja, dengan bekal kain sarung Abak yang sudah lusuh dan seutas tali rapia untuk membuat pondokan tempat kami berlindung dari sengatan sinar mata hari, sampai di tempat kerja, sebelum memulai mencangkul tanah,  abak langsung mengikat ke-4 ujung kain sarung itu dengan tali rapia dan menambatkannya pada ranting pohon, disinilah kami bermain rumah-rumahan, aku berperan menjadi ibu dan adikku berperan menjadi anak, kami bermain masak-makan dengan peralan mainan serba alami, seperti tempurung kelapa kami jadikan wajan dan ranting kayu sebagai sendoknya, mengaduk-aduk tanah sebagi nasi dan daun-daunan sebagai sayuran, jika merasa panas kami berdua masuk pondokan tersebut.

         Selain bermain  masak-masakan kami juga sering bermain sekolah-sekolahan,  aku berperan sebagai guru dan adikku sebagai muridnya, dengan bekal ilmu yang didapat dari Abak dan Mak, aku menularkan pada adik ku, aku mengajari adikku membaca dengan media yang sangat sederhana yaitu tanah sebagai papan tulis dan ranting kayu sebagai spidolnya dan ada juga media lain nya yaitu daun sebagai buku dan ranting yang paling kecil sebagai pencil, ketika menggunakan daun ini harus sangat hati-hati karna daun mudah robek. Inilah kegiatan rutin kami sambil menunggu Mak dan Abak istirahat, setelah tiba waktu istirahat kamipun makan bersama dan sholat berjamaah di rumah kebun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun