Mari kita melihat lebih dekat apa yang terjadi di lapangan. Jalan A.Y. Patty yang dulu menjadi simbol ketertiban kini dipenuhi dengan sampah plastik yang mengapung di genangan air setelah hujan.Â
Tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang dulunya dijaga dengan baik kini tak ubahnya gunung sampah yang menjulang, menebarkan aroma tak sedap hingga ke hidung warga kota.
"Kota yang dulunya ramai beraroma segar, kini bak laut yang dipenuhi sampah, dimana ikan-ikan enggan lagi berenang."
Sebuah perumpamaan sederhana mungkin bisa membantu kita memahami situasi ini.
Bayangkan, Ambon adalah rumah kita, dan sampah adalah tamu tak diundang yang datang tanpa permisi. Saat pertama kali ia datang, mungkin kita hanya menyingkirkannya ke pojok ruangan, berharap ia akan pergi dengan sendirinya.Â
Namun, semakin lama kita membiarkannya, semakin banyak ia membawa temannya, hingga akhirnya rumah kita penuh dengan tamu yang tak kita inginkan.Â
Begitu pula dengan sampah di kota ini. Jika dibiarkan, ia akan terus menumpuk hingga tak ada lagi ruang yang tersisa untuk keindahan dan kenyamanan.
Kondisi ini sangat kontras dengan pengalaman saya selama enam tahun tinggal di Melbourne, Australia (2 tahun studi S2 dan 4 tahun studi S3.
Di sana, kebersihan kota bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, melainkan hasil dari upaya yang terorganisir dengan baik.Â
Setiap rumah di Melbourne ibarat benteng yang kuat, dengan tiga pilar yang menopangnya: tong sampah hijau, kuning, dan merah.
Hijau untuk sisa makanan dan limbah organik, kuning untuk barang-barang yang bisa didaur ulang, dan merah untuk sampah yang benar-benar tak bisa diolah lagi. Sekarang malah sudah empat, ungu untuk sampah gelas.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!