Mohon tunggu...
Helen Tuhumury
Helen Tuhumury Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Pattimura

Quiet but an easy going person

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ambon Dulu dan Sekarang, Ketika Adipura Hanya Kenangan

22 Agustus 2024   08:06 Diperbarui: 22 Agustus 2024   10:13 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tumpukan sampah yang tidak terurus terjadi di pesisir Teluk Ambon tepatnya Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon, Maluku, Rabu (3/8/2017). KOMPAS/Fransiskus Pati Herin

Hati dan tangan ini tidak bisa diam, setelah melihat pemandangan yang sangat menyedihkan dalam perjalanan ke tempat tugas hari ini.

Sampah-sampah yang berserakan di sepanjang jalan, tempat-tempat penampungan sampah yang menggunung belum diangkut lagi dan bau busuk yang menyengat. 

Hal yang lebih miris lagi harus melewati truk angkut sampah di jalan pada jam sibuk, dengan bak truk yang di buat lebih tinggi hanya untuk mengangkut lebih banyak sampah dan yang dimuat melebihi kapasitas hanya karena kurang armada pengangkutan sampah, sehingga banyak sampah yang berjatuhan dari truk sampah ke jalanan. 

Ambon, kota yang pernah menjadi kebanggaan warga karena kebersihannya, kini seolah-olah hanya menjadi bayang-bayang masa lalu.

Dulu, di setiap sudut kota, kita bisa merasakan atmosfer yang bersih dan segar, seakan-akan Ambon adalah potret sebuah taman yang terjaga rapi, dimana setiap kelopak bunga diatur dengan cermat, setiap jalan disapu dengan kasih sayang. 

Kini, taman itu telah berubah menjadi ladang ilalang yang dibiarkan liar, di mana sampah berserakan seperti duri yang menusuk keindahan kota.

Sumber: https://papuabarat.antaranews.com/
Sumber: https://papuabarat.antaranews.com/

Masih teringat dalam ingatan kita, kala Ambon dinobatkan sebagai penerima penghargaan Adipura bahkan sampai 7 kali. Sebuah penghargaan yang diberikan bukan sekadar karena kerja keras para petugas kebersihan, tetapi juga berkat kesadaran dan partisipasi aktif warganya. 

Namun, sayangnya, Adipura kini hanya tinggal cerita, seperti layang-layang putus yang tak lagi bisa terbang tinggi.

"Kalau dulu kota bersih, kini bak ikan kering di tepi pantai, tak berair, tak bernyawa, hanya teronggok tanpa makna."

Mari kita melihat lebih dekat apa yang terjadi di lapangan. Jalan A.Y. Patty yang dulu menjadi simbol ketertiban kini dipenuhi dengan sampah plastik yang mengapung di genangan air setelah hujan. 

Tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang dulunya dijaga dengan baik kini tak ubahnya gunung sampah yang menjulang, menebarkan aroma tak sedap hingga ke hidung warga kota.

"Kota yang dulunya ramai beraroma segar, kini bak laut yang dipenuhi sampah, dimana ikan-ikan enggan lagi berenang."

Sebuah perumpamaan sederhana mungkin bisa membantu kita memahami situasi ini.

Bayangkan, Ambon adalah rumah kita, dan sampah adalah tamu tak diundang yang datang tanpa permisi. Saat pertama kali ia datang, mungkin kita hanya menyingkirkannya ke pojok ruangan, berharap ia akan pergi dengan sendirinya. 

Namun, semakin lama kita membiarkannya, semakin banyak ia membawa temannya, hingga akhirnya rumah kita penuh dengan tamu yang tak kita inginkan. 

Begitu pula dengan sampah di kota ini. Jika dibiarkan, ia akan terus menumpuk hingga tak ada lagi ruang yang tersisa untuk keindahan dan kenyamanan.

Kondisi ini sangat kontras dengan pengalaman saya selama enam tahun tinggal di Melbourne, Australia (2 tahun studi S2 dan 4 tahun studi S3.

Di sana, kebersihan kota bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, melainkan hasil dari upaya yang terorganisir dengan baik. 

Setiap rumah di Melbourne ibarat benteng yang kuat, dengan tiga pilar yang menopangnya: tong sampah hijau, kuning, dan merah.

Hijau untuk sisa makanan dan limbah organik, kuning untuk barang-barang yang bisa didaur ulang, dan merah untuk sampah yang benar-benar tak bisa diolah lagi. Sekarang malah sudah empat, ungu untuk sampah gelas.

"Di Melbourne, tong sampah itu bak prajurit yang setia, menjaga benteng rumah dari serangan sampah liar."

Sumber: https://www.theguardian.com/
Sumber: https://www.theguardian.com/

Sistem ini begitu efisien, hingga sampah yang terkumpul setiap minggunya langsung diolah, baik menjadi kompos, energi, atau produk daur ulang lainnya.

"Di Ambon, mungkin kita butuh lebih dari sekadar prajurit---kita butuh panglima yang tegas, yang berani menata ulang strategi perang melawan sampah."

Bayangkan jika di Ambon diterapkan sistem seperti ini, dengan pengawasan yang ketat dan dukungan penuh dari masyarakat. Bukan tak mungkin Adipura akan kembali ke pelukan kita dan Ambon bersih, dan segar.

Namun, untuk sampai ke sana, kita butuh lebih dari sekadar rencana di atas kertas. Kita butuh aksi nyata, kolaborasi, dan komitmen dari semua pihak.

Sebuah pepatah bilang, "Air tenang menghanyutkan, air keruh menenggelamkan." Artinya, kita tak boleh lagi tenang dengan kondisi yang ada. Kebersihan Ambon perlu diperjuangkan, bukan dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan.

Dan untuk menutup refleksi ini,sebuah pantun mungkin bisa menggugah:

Di pasar pagi beli ikan segar,

Ikan dibersihkan di atas papan.

Ambon manise janganlah pudar,

Jaga kebersihan, kota pun tampan.

Bayangkan Ambon seperti sebutir mutiara di laut Maluku yang biru. Mutiara ini dulunya bersinar terang, memantulkan cahaya ke segala penjuru, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Namun, seiring waktu, mutiara ini mulai terlapisi oleh lumpur dan kotoran, hingga sinarnya meredup dan nyaris tak terlihat. 

"Sampah adalah lumpur yang menutupi kecantikan mutiara Ambon. Jika kita ingin melihatnya kembali bersinar, kita harus membersihkan lumpur itu dengan kesadaran dan tindakan nyata."

Ambon bisa kembali menjadi mutiara yang bersinar, tetapi itu hanya mungkin jika kita semua bersatu untuk membersihkannya dari kotoran dan sampah yang menghalangi cahayanya. 

Gunung Salahutu menjulang tinggi,

Beriringan dengan laut yang biru.

Buang sampah jangan sembarangan lagi,

Agar Ambon jadi mutiara yang selalu bersinar dan indah selalu.

Mari bersama-sama menjadi bagian dari perubahan ini. Karena ketika Ambon bersih, kita semua yang akan merasakan manfaatnya.

Ambon yang bebas sampah adalah cerminan dari warga yang peduli dan mencintai kotanya, dan itulah yang akan membuat kita bangga berjalan di setiap sudutnya.

Jika kita ingin mengembalikan Ambon ke masa kejayaannya, mari kita mulai dari diri kita sendiri.

Buanglah sampah pada tempatnya, ajaklah tetangga untuk ikut serta, dan desak pemerintah untuk menata ulang sistem pengelolaan sampah kota. 

Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga keindahan kota, tetapi juga menghormati warisan yang telah diberikan oleh generasi sebelumnya.

Sebuah kota bersih adalah cermin dari warga yang peduli, dan saya percaya Ambon masih punya potensi itu.

"Kota ini tak boleh lagi menjadi cermin retak yang tak memantulkan kebanggaan, melainkan menjadi berlian yang berkilau kembali di panggung Indonesia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun