Kompetitif dalam bersaing serta optimis dan ambisius dalam memenangkan perlombaan. Itulah gambaran yang ada dalam diriku. Sejak dulu, kedua orang tuaku telah menerapkan pola asuh yang dapat dikatakan cukup keras tanpa memikirkan bagaimana rasa lelah yang akan kudapatkan. Belajar, persaingan serta menjadi juara adalah hal-hal yang harus kuturuti juga kuraih demi mencapai keinginan mereka.
Mungkin terasa menyenangkan jika memenangkan ranking teratas sampai juara olimpiade. Tetapi semua keadaan berbalik ketika pada saat aku memasuki bangku mengengah atas. Seluruh nilaiku turun drastis, membuatku terkejut akibat perubahan yang tak pernah kusangka sebelumnya. Aku tidak terkalahkan, aku selalu menjadi nomor satu. Namun mengapa semuanya tiba-tiba menjadi seperti ini?
Bulir keringat mulai bercucuran, badanku menegang kaku dan tanganku gemetar saat memegang lembaran laporan akhir ujian semester pertama di kelas sepuluh. Perlahan tubuhku merosot ke lantai, seiring dengan air mata yang ikut membanjiri. Kudongakan kepala, kini aku dikelilingi oleh teman-temanku yang menatap kebingungan karena suara tangisan penuh keputus asaan dariku yang terdengar semakin kencang.
Pandangan yang mereka berikan seolah menegaskan bahwa aku ini adalah orang aneh. Meski begitu, tak lama satu persatu dari mereka pun memilih untuk meninggalkanku sendirian di dalam kelas.
Aku telah gagal. Lihat! Betapa bodohnya aku.
Waktu sekolah telah usai, saatnya kembali ke rumah. Tentunya bersama ketakutan yang sedari tadi kucemaskan. Aku memberikan hasil laporan ujian semester yang dipenuhi oleh tinta merah itu pada Mama. Dan apa yang kutakutkan, akhirnya terjadi juga. Mama marah besar. Sampai-sampai tanpa belas kasihan, kepalaku dipukuli oleh gulungan buku catatan tebal. Cacian serta makian kasar juga ikut terdengar keluar dari mulut Mama.
"Kamu bodoh! Dengan nilai seperti ini, kamu berharap menjadi apa, hah?! Sangat memalukan!"teriaknya dengan mata yang melotot.
Lalu kulihat tangan kanannya beralih mendorong kepalaku. Meski begitu, aku tidak berani menghindar. "Apa yang kamu lakukan selama ini? Cara belajar kamu bagaimana sampai nilai yang kamu dapatkan bisa hancur?! Dengar ya, Mama sudah keluar uang banyak untuk membiayai kamu sekolah. Kalau nilaimu jelek seperti ini, lebih baik keluar saja!"
Mama kembali mendorong tubuhku. Bedanya kali ini hingga terjatuh. Jujur saja, tubuhku terasa sakit semua. Aku hanya menangis tanpa suara berharap Papa yang sedang menatapku itu akan membelaku agar terhindar dari siksaan Mama. Tetapi pada kenyataanya, pandangan itu terasa penuh rasa benci.
Mama ... Papa ... salahkah aku?
Semenjak saat itu, kutata kembali jadwal belajarku lebih padat dan intensif dari sebelumnya. Tidak peduli seberapa kerasnya aku belajar hingga menjadikan kepalaku terasa ingin pecah. Yang paling penting, aku harus membuat Mama dan Papa bangga. Aku ingin kembali menjadi kebanggaan keluarga, si nomor satu dan tidak pernah terkalahkan.Â
Aku juga tidak mau diejek bodoh dan menerima tatapan sinis dari guru-guru akibat nilaiku yang sempat turun. Di rumah, aku rela begadang sampai dini hari hanya untuk mempelajari buku tebal dan mengerjakan soal-soal yang termuat di dalamnya. Waktu tidur yang seharusnya 8 jam kini tinggal beberapa jam saja.
Saat mentari muncul dengan perlahan menyinari bumi, kupandangi wajahku sebelum melangkahkan kaki berangkat ke sekolah. Lingkaran hitam di sekitar kedua mataku terlihat begitu jelas. Wajahku muram, tidak ada raut ceria seperti siswa lain.
Tidak apa-apa, yang paling penting sekarang aku harus mendapat nilai sempurna demi Mama dan Papa.
Begitu menyedihkan saat usaha yang kulakukan begitu keras nyatanya mengkhianati hasil. Melihat bagaimana yang terjadi, ternyata semakin banyak aku belajar tidak kunjung membuatku mendapatkan nilai yang bagus. Bahkan beberapa kali aku tertidur saat pembelajaran tengah berlangsung dan berakhir di ruang BK.Â
Aku mendengarkan semua nasehat guru-guruku tanpa mengeluarkan protes apa-apa. Namun, begitu mereka menuduhku telah bermalas-malasan, aku merasa amarahku berkumpul pada satu titik. Yang mau tak mau harus tetap kutahan.
"Karena ini bukan kali pertama kamu ketahuan tidur di dalam kelas, ada surat untuk orang tua kamu, ya." Selembar surat itu kemudian diletakkan manis di hadapanku.
"Saya mau berbicara tentang perilaku juga tentang nilai kamu yang turun anjlok belakangan ini dengan mereka. Begitu disayangkan yang tadinya murid berprestasi berubah menjadi anak yang pemalas seperti ini," kata guru BK membuatku hilang kendali. Aku menggebrak meja di depanku. Tak hanya itu, aku juga merobek kasar surat panggilan tersebut.
"Memangnya apa yang Ibu tahu tentang saya?! Apa ibu tahu kalau saya sudah berusaha keras untuk belajar dan meningkatkan nilai saya?! Hanya karena perkara ketiduran di kelas, tidak mengerjakan PR, seenaknya Ibu menuduh saya pemalas?!" seruku berang.
Aku mengamuk sejadinya di ruang BK. Benda apa pun yang ada di dekatku, berhamburan akibat dari tendangan yang kulayangkn. Guru berkacamata itu menjerit ketakutan. "Jika Ibu sampai memberitahu Mama dan Papa, saya tidak akan segan melakukan tindakan yang tidak terpuji kepada semua orang di sekolah ini!" ancamku kemudian pergi.
Aku berjalan dengan emosi yang meluap-luap. Dan secara tidak sengaja bahuku berbenturan dengan siswa lain. Pikiranku yang sedang kacau kala itu, sudah tidak bisa berpikir sehat. Aku mendorong anak itu hingga punggungnya membentur tembok belakang. Karena tidak terima, dia hampir membalasku dan aku berencana untuk mencekiknya. Namun suara itu kembali terdengar.
"Hentikan!!! Kalau kamu sampai berani melanjutkan pertikaian ini, ibu akan laporkan pada kepala sekolah!" teriak guru BK terdengar begitu menyebalkan di telingaku.
"Saya tidak takut!" tantangku lalu menghempaskan bahu dari siswa yang kucekal dan memilih pergi dari sana.
Sepintar-pintarnya seseorang menutupi sesuatu, lama-kelamaan akan terbongkar juga. Ya, kedua orang tuaku telah mengetahui bagaimana rincinya keonaran yang kuperbuat di sekolah pekan lalu.Â
Aku mendapat hukuman berupa skorsing selama lima hari dan ancaman mengulang di kelas sepuluh tahun depan bila ujianku yang tidak kunjung mencapai kriteria minimal. Tentu saja, aku tidak terima oleh semua keputusan ini. Bukankah ini terlalu berlebihan?Â
Sebodoh itukah aku sampai perlu mengulang di kelas sepuluh untuk dua tahun?
Aku muak, aku marah terhadap diriku sendiri juga orang yang telah membuatku seperti ini. Aku benci mereka. Apa yang kulakukan pada keyantaannya tidak membuat mereka semakin bangga sedikit saja. Tidak ada pujian barang satu kata pun yang terlontar dari bibir Mama dan Papa.Â
Mereka tidak pernah menghargai semua waktu dan juga usaha yang kulalui untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Mereka lebih suka membandingkan diriku dengan saudara kandungku yang selalu mendapat gelar juara hingga bangku perguruan tinggi. Mereka terlalu memaksakanku untuk sama dengannya. Semua ini melelahkan. Aku sudah tidak kuat, ingin berontak.
Kemudian terdengar suara pecahan dari beberapa barang seperti guci dan piring dan benda-benda berbahan dasar kaca yang kulempar secara acak.Â
Aku berteriak histeris mengeluarkan gejolak amarah yang sempat kupendam. Aku berteriak layaknya orang yang kehilangan akal sehat.
"Aku benci semua ini! Aku benci dituntut seperti Kakak! Aku benci Mama! Aku benci Papa! Aku benci keluarga ini! Kalian itu tidak punya hati! Memperlakukan seorang anak yang berasal dari darah daging kalian seperti hewan! Nilai? Aku tidak peduli lagi akan hal itu, aku tidak peduli lagi dengan sekolah! Aku ingin semuanya berakhir!" teriakku.
Papa yang melihat aku berteriak memenuhi seisi rumah serta pergerakanku yang tidak terkendali seperti orang kesetanan bukannya berusaha untuk meredakan emosiku, justru malah menarik tubuhku dan mengikat kedua tanganku dengan kain. Rasanya aku semakin hilang arah, makian, umpatan dan sumpah serapah semua tertuju pada keluarga tak berhati ini.
"Sudah, bawa dia ke rumah sakit jiwa sekarang. Biar dia tidak liar seperti ini! Kalau dibiarkan, dia bisa menyakiti kita semua! Dia ini sudah tidak waras!" titah Papa pada Mama yang tertuju padaku.
Tidak! Aku tidak gila. Aku hanya marah karena mereka tidak bisa memahami dan tidak mau mengerti apa yang aku rasakan. Tetapi Papa sudah mantap dengan keputusannya, ia membawaku masuk ke dalam mobil dibantu oleh Mama.
"Salah satu penyesalan terbesar dalam hidup Mama yaitu Mama menyesal pernah melahirkan kamu!" seru Mama tanpa pikir panjang bila ucapannya akan menyakiti hatiku.
"Tidak punya hati! Mama jahat! Aku benci Mama!" sahutku sambil meludah ke arah perempuan paruh baya itu.
Kedua orang tuaku memilih menutup telinga. Tidak mengindahkan penolakanku. Aku tetap dibawa ke tempat orang-orang gila bersemayam di sana.
Waktu berlalu terasa cepat. Benar-benar sesingkat itu. Dalam jangka waktu dua bulan, aku telah menghabiskan waktuku untuk berupaya sembuh di tempat ini. Aku memperhatikan pasien-pasien lain yang tengah bermain bola, memukul bantal, dan menjalani permainan lainnya sebagai bentuk terapi.
Seorang perawat menghampiriku dan kami pun berbincang. Aku sudah mulai memahami apa itu anger mannagement. Perawat itu berkata, jika aku memiliki emosi yang berlebih alangkah baiknya dikeluarkan. Jangan sampai dipendam untuk diri sendiri. Dan mencegahku untuk tidak berbuat selfharm atau bisa juga dikatakan dengan perilaku menyakiti diri sendiri.
Saat aku sudah bisa menstabilkan hal itu, baru beralih ke tingkat berikutnya. Yaitu cara menyampaikan emosi itu dengan baik. Minim amarah. Seperti disampaikan oleh bahasa yang baik.
"Memang benar. Amarah yang dipendam harus dikeluarkan. Jika tidak, akibatnya akan dirasakan oleh diri sendiri."
Aku mengangguk lalu bertanya. "Apa menurut Suster saya ini bodoh?"
Lantas perawat itu pun menggeleng.
"Manusia tidak ada yang diciptakan bodoh. Tuhan menciptakan kita itu sesempurna mungkin. Hanya saja bagaimana peran lingkungan, keluarga dan diri sendiri yang menjadikan manusia itu pandai. Namun menurut saya sendiri, kepandaian seseorang diluar sana tidak bisa hanya diukur oleh nilai angka akademis saja. Banyak anak-anak yang justru memiliki bakat terpendam yang mengejutkan."
"Saya punya bakat yang begitu saja sukai. Sejak SD saya suka sekali membuat sketsa. Sayangnya tidak dengan Mama. Katanya, bakat yang saya punya tidak bisa menjamin kesuksesan saya kelak," tuturku lalu tersenyum kecut tatkala mengingat ucapan Mama.
"Bagaimana jika besok lusa kita adakan sesi terapi menggambar? Atau membuat sketsa sesuai dengan bakatmu. Saya akan ajak teman lain untuk ikut berpartisipasi, bagaimana?" tawar perawat itu.
Kuanggukan kepala dengan semangat. Siapa yang tidak senang saat seseorang mengizinkan untuk mengasah kembali bakatmu yang sebelumnya harus dihentikan paksa? Jika seperti ini rasanya akan betah berlama-lama berada di rumah sakit jiwa. Setidaknya di sini aku merasa dihargai, diberi apresiasi oleh dokter, perawat dan pasien jiwa yang lain.
Ya, aku memang butuh peran seorang Mama dan Papa atau orang yang mau mendengar keluh kesahku selama ini. Bukan yang hanya bisanya menuntut harus melakukan ini itu. Aku memiliki titik lemah dan lelah. Dan kejadian kemarin membuatku sadar bahwa apa yang kuusahakan terlalu keras akan berdampak pada kelabilan emosiku.
Mungkin aku juga bisa keluar masuk rumah sakit ini bila mengingat Mama dan Papa yang mungkin masih menuntut kesempurnaan. Semoga kelak mereka akan segera sadar bahwa aku tidak membutuhkan kebanggaan terhadap prestasiku. Tapi aku membutuhkan kehangatan dan kasih sayang layaknya orang tua kepada anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H