"Saya tidak takut!" tantangku lalu menghempaskan bahu dari siswa yang kucekal dan memilih pergi dari sana.
Sepintar-pintarnya seseorang menutupi sesuatu, lama-kelamaan akan terbongkar juga. Ya, kedua orang tuaku telah mengetahui bagaimana rincinya keonaran yang kuperbuat di sekolah pekan lalu.Â
Aku mendapat hukuman berupa skorsing selama lima hari dan ancaman mengulang di kelas sepuluh tahun depan bila ujianku yang tidak kunjung mencapai kriteria minimal. Tentu saja, aku tidak terima oleh semua keputusan ini. Bukankah ini terlalu berlebihan?Â
Sebodoh itukah aku sampai perlu mengulang di kelas sepuluh untuk dua tahun?
Aku muak, aku marah terhadap diriku sendiri juga orang yang telah membuatku seperti ini. Aku benci mereka. Apa yang kulakukan pada keyantaannya tidak membuat mereka semakin bangga sedikit saja. Tidak ada pujian barang satu kata pun yang terlontar dari bibir Mama dan Papa.Â
Mereka tidak pernah menghargai semua waktu dan juga usaha yang kulalui untuk menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Mereka lebih suka membandingkan diriku dengan saudara kandungku yang selalu mendapat gelar juara hingga bangku perguruan tinggi. Mereka terlalu memaksakanku untuk sama dengannya. Semua ini melelahkan. Aku sudah tidak kuat, ingin berontak.
Kemudian terdengar suara pecahan dari beberapa barang seperti guci dan piring dan benda-benda berbahan dasar kaca yang kulempar secara acak.Â
Aku berteriak histeris mengeluarkan gejolak amarah yang sempat kupendam. Aku berteriak layaknya orang yang kehilangan akal sehat.
"Aku benci semua ini! Aku benci dituntut seperti Kakak! Aku benci Mama! Aku benci Papa! Aku benci keluarga ini! Kalian itu tidak punya hati! Memperlakukan seorang anak yang berasal dari darah daging kalian seperti hewan! Nilai? Aku tidak peduli lagi akan hal itu, aku tidak peduli lagi dengan sekolah! Aku ingin semuanya berakhir!" teriakku.
Papa yang melihat aku berteriak memenuhi seisi rumah serta pergerakanku yang tidak terkendali seperti orang kesetanan bukannya berusaha untuk meredakan emosiku, justru malah menarik tubuhku dan mengikat kedua tanganku dengan kain. Rasanya aku semakin hilang arah, makian, umpatan dan sumpah serapah semua tertuju pada keluarga tak berhati ini.
"Sudah, bawa dia ke rumah sakit jiwa sekarang. Biar dia tidak liar seperti ini! Kalau dibiarkan, dia bisa menyakiti kita semua! Dia ini sudah tidak waras!" titah Papa pada Mama yang tertuju padaku.