Tidak! Aku tidak gila. Aku hanya marah karena mereka tidak bisa memahami dan tidak mau mengerti apa yang aku rasakan. Tetapi Papa sudah mantap dengan keputusannya, ia membawaku masuk ke dalam mobil dibantu oleh Mama.
"Salah satu penyesalan terbesar dalam hidup Mama yaitu Mama menyesal pernah melahirkan kamu!" seru Mama tanpa pikir panjang bila ucapannya akan menyakiti hatiku.
"Tidak punya hati! Mama jahat! Aku benci Mama!" sahutku sambil meludah ke arah perempuan paruh baya itu.
Kedua orang tuaku memilih menutup telinga. Tidak mengindahkan penolakanku. Aku tetap dibawa ke tempat orang-orang gila bersemayam di sana.
Waktu berlalu terasa cepat. Benar-benar sesingkat itu. Dalam jangka waktu dua bulan, aku telah menghabiskan waktuku untuk berupaya sembuh di tempat ini. Aku memperhatikan pasien-pasien lain yang tengah bermain bola, memukul bantal, dan menjalani permainan lainnya sebagai bentuk terapi.
Seorang perawat menghampiriku dan kami pun berbincang. Aku sudah mulai memahami apa itu anger mannagement. Perawat itu berkata, jika aku memiliki emosi yang berlebih alangkah baiknya dikeluarkan. Jangan sampai dipendam untuk diri sendiri. Dan mencegahku untuk tidak berbuat selfharm atau bisa juga dikatakan dengan perilaku menyakiti diri sendiri.
Saat aku sudah bisa menstabilkan hal itu, baru beralih ke tingkat berikutnya. Yaitu cara menyampaikan emosi itu dengan baik. Minim amarah. Seperti disampaikan oleh bahasa yang baik.
"Memang benar. Amarah yang dipendam harus dikeluarkan. Jika tidak, akibatnya akan dirasakan oleh diri sendiri."
Aku mengangguk lalu bertanya. "Apa menurut Suster saya ini bodoh?"
Lantas perawat itu pun menggeleng.
"Manusia tidak ada yang diciptakan bodoh. Tuhan menciptakan kita itu sesempurna mungkin. Hanya saja bagaimana peran lingkungan, keluarga dan diri sendiri yang menjadikan manusia itu pandai. Namun menurut saya sendiri, kepandaian seseorang diluar sana tidak bisa hanya diukur oleh nilai angka akademis saja. Banyak anak-anak yang justru memiliki bakat terpendam yang mengejutkan."