"Saya punya bakat yang begitu saja sukai. Sejak SD saya suka sekali membuat sketsa. Sayangnya tidak dengan Mama. Katanya, bakat yang saya punya tidak bisa menjamin kesuksesan saya kelak," tuturku lalu tersenyum kecut tatkala mengingat ucapan Mama.
"Bagaimana jika besok lusa kita adakan sesi terapi menggambar? Atau membuat sketsa sesuai dengan bakatmu. Saya akan ajak teman lain untuk ikut berpartisipasi, bagaimana?" tawar perawat itu.
Kuanggukan kepala dengan semangat. Siapa yang tidak senang saat seseorang mengizinkan untuk mengasah kembali bakatmu yang sebelumnya harus dihentikan paksa? Jika seperti ini rasanya akan betah berlama-lama berada di rumah sakit jiwa. Setidaknya di sini aku merasa dihargai, diberi apresiasi oleh dokter, perawat dan pasien jiwa yang lain.
Ya, aku memang butuh peran seorang Mama dan Papa atau orang yang mau mendengar keluh kesahku selama ini. Bukan yang hanya bisanya menuntut harus melakukan ini itu. Aku memiliki titik lemah dan lelah. Dan kejadian kemarin membuatku sadar bahwa apa yang kuusahakan terlalu keras akan berdampak pada kelabilan emosiku.
Mungkin aku juga bisa keluar masuk rumah sakit ini bila mengingat Mama dan Papa yang mungkin masih menuntut kesempurnaan. Semoga kelak mereka akan segera sadar bahwa aku tidak membutuhkan kebanggaan terhadap prestasiku. Tapi aku membutuhkan kehangatan dan kasih sayang layaknya orang tua kepada anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H