"KEN!"
"KEN, MINGGIR!"
Adam terus saja memanggilku. Ahhh... Berisik sekali sesuaranya itu. Kuabaikan penggilannya. Terus berjalan ke arah toko buku itu. Tiba-tiba Adam menarik jaketku dan mendorong tubuhku, hingga aku tersungkur ke pinggir trotoar jalan. Bergegas aku bangkit dan tak sengaja kedua bola mataku menangkap kejadian naas itu.
Tubuh Adam tertabrak mobil yang lewat dan terpental di tengah jalan. Darah segar keluar dari kepalanya. Dengan lemas, dia berusaha mengangkat tubuhnya tapi tak mampu dilakukannya. Dia menatap lurus kearahku, seperti ingin mengungkapkan sesuatu. Dengan cepat aku berlari menghampirinya dan memeluk tubuhnya. Hatiku hancur melihat keadaannya. Air mataku terus saja mengalir. Menyesali sikapku yang tadi mengabaikannya.
Dia menatapku sambil tersenyum, dengan terbatuk. Dia terus saja bicara. Tapi, aku tak bisa mengangkap apa yang dia katakan. Hingga sebuah kalimat terakhirnya itu muncul darinya.
"Ken... Tol--ng lo baa---wakan kue d--an su---rat ini uuut---k Maa-ma. Ma---af, gue gak b---isa mee---nemu--nyaa."
###
Di samping tanah basah yang baru saja digali, aku menatap kayu nisan bertuliskan, Adam Suherman. Sosok sahabat yang tak ada di dunia ini lagi. Kejadian terakhir bersamanya berputar di otakku. Rasa bersalah terus saja menghantuiku. Mungkin aku hanyalah sosok sahabat yang cengeng mengharapkan dia hadir di hidupku saat ini, padahal aku dulu selalu mengabaikannya.
Tak ada lagi teriakan nyaring memanggil namaku.
Tak ada lagi sahabat yang akan merebut bekalku.
Tak ada lagi ejekan dan rangkulan hangat yang aku dapatkan darinya.