"Gimana? Udah ada yang sregbelum, kuenya," lirik Adam ikut menundukkan kepala menatap kue-kue yang berjajar rapi di balik etalase.
Aku tersipu malu, mengaruk-ngaruk kepalaku yang tidak gantal. Ku dekatkan bibirku ke telinganya, berbisik pelan, "belum! Uangku gak cukup buat beli ini."
Dia tertawa, orang-orang melihat ke arah kami berdua. Aku melengos.Â
Sialan nih bocah, ngajak beli kue di toko super mahal seperti ini. Mana aku sanggup.
"Udah samakan saja, seperti punya gue, rasa coklat. Pasti keluarga lo suka. Mbak, bungkus dua lagi."
Lagi-lagi semua yang aku dapatkan gratis. Tidur gratis, makan gratis, transport gratis hingga kue ini. Hanya bermodalkan sayur loder buatan ibuku, dia sudah seroyal ini. Aku kok malah merinding sendiri. Si Adam benar-benar anak laki-laki atau bukan ya? Gara-gara kesepian dia selalu minta aku menemaninya. Dia gak kepincut ke aku kan? Aku langsung mengelengkan kepala.
Gara-gara perlakuannya yang perhatian ini, aku lupa. Kalo Adam itu naksir diam-diam Kak Riana. Itulah mengapa aku diminta membantu menulis dan mendesain mading sekolah agar dia mudah mendekatinya. Ah sudahlah! Aku tak perlu rumit dalam memikirkan perlakuannya ini. Yang terpenting persahabatanku dengan Adam semakin erat. Perlahan aku mulai menyukainya walaupun dia menyebalkan. Seperti ini kan rasanya memiliki sahabat seperti Adam.
###
Aku dan Adam berjalan keluar toko kue,menunggu angkot. Adam yang memutuskan untuk menggunakan kendaraan umum ini. Katanya, dia ingin merasakan suasana yang berbeda. Begitulah sosok Adam yang membuatku semakin kagum, kaya tapi tak sombong. Â
Dipinggir jalan, ada toko buku yang menarik perhatianku. Tanpa pamit ke Adam, aku melangkah pelan menuju toko itu. Kulihat jalan sepi. Tak apalah jika aku mampir.
"KEN!"