Mohon tunggu...
Harum Bahiya
Harum Bahiya Mohon Tunggu... Novelis - pelajar SMA

hai.. aku Hiyaa, remaja yang baru mengenal gimana sih kehidupan di SMA. dari masih duduk di bangku SMP, aku sudah mulai tertarik dengan dunia fiksi terutama novel. dari situlah aku mulai belajar buat cerita cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tunggu. Ayo Pergi

17 Maret 2024   23:35 Diperbarui: 18 Maret 2024   04:44 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja telah tenggelam berganti dengan rembulan yang berada di atas langit biru malam. Udara dinginnya menembus pakaianku, menusuk tubuhku hingga ke tulang.

Padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam, tapi jalanan kota masih saja ramai dengan orang orang juga kendaraan.

Kakiku mengayuh sepeda dengan cepat menuju rumah. Sial kenapa aku harus tertidur saat di Perpustakaan kota, tadi. Addam pun tidak membangunkanku, bahkan saat dia memiliki niat beranjak pergi dari tempat itu.

Sekarang jantungkku berdegup kencang, pikiranku berkelana menebak nebak alur yang akan terjadi saat aku sudah berada dirumah nanti.

——————

Sepeda yang ku pakai tadi, sudah kuletakkan di samping pagar. Aku membuka pintu rumahnya, disambut dengan atmosfer yang sunyi.

"Lho? Tidak ada ibu?" Gumamku heran melihat lihat sekitar. Padahal biasanya kalau aku pulang telat seperti ini, sudah bisa kupastikan ibu sudah duduk disofa seraya menunggu aku muncul dari balik pintu

Jantungku berhenti sepersekian detik saat satu panggilan masuk di hadphone ku, mengeluarkan suara dering yang lumayan kencang di situasi sepi seperti ini. Tertera kalimat yang bertuliskan "Aqila" di layarnya.

"Halo Aqil, ada apa?" Ucapku memulai perbincangan.

"Mas, mas Raka ada di rumah kan? Aqila kesana ya mas"

"Loh, jam segini? tiba tiba banget? memang ayah kemana qil?"

"Ayah lagi mode senggol bacok mas. Tadi sepulang kerja, ayah marah marah gajelas terus ngelampiasin ke Aqila."

"Astaga." Aku menghembuskan nafas kasar. Lagi lagi masalah pekerjaan ayah lampiaskan kepada Aqila yang tak tau apa apa. "omong omong kamu kesini naik apa aqil?" Lanjutku seraya mencari kunci motor yang belum kujumpai sejak pagi.

"Aqila pakai ojek online mas."

"Mas jemput aja ya Aqil, jam segini rawan buat anak gadis."

"Tapi Aqila sudah pesan ojeknya mas."

Sesaat aku menghela nafas lalu mengembuskannya pelan. "Yasudah kalau begitu, hati hati di jalan. Sudah malam, pakai jaketnya yaa."

Panggilan berakhir –––

Selagi aku menunggu Aqila kemari, aku berusaha menghubungi ibu yang sosoknya sedari tadi tak ku dapati di penjuru rumah ini.

Satu setengah jam sudah berlalu, tapi tanda tanda keberadaan ibu masih nihil untukku. Sedari tadi yang ku  lakukan hanya duduk di sofa tempat biasa ibu duduk seraya mengusap mengusap wajah frustasi.

Suara dering singkat terdengar dari atas meja makan, letaknya tak jauh dari tempatku duduk. Aku berdiri dan melangkahkan kaki mendekat ke sumber suara.

"Ibu ♥︎" Nama yang tertera di layar saat handphone nya menyala.

Sontak aku terkejut, kedua manikku membola menatap benda di hadapanku sekarang.

Beberapa pesan masuk. Manikku membaca pesan yang terkirim.

Ibu ♥︎
"Nak, maaf ibu baru bisa ngabarin, tadi handphone ibu mati."

Ibu ♥︎
"Raka, malam ini ibu gak pulang yaa. Jam enam sore tadi, mbak Ati telpon ibu, dia ngasih tau kalau nenek masuk rumah sakit. Jadi sekarang ibu lagi ada di rumah sakit jagain nenek nak."

Ibu ♥︎
"Kalau besok kamu mau kemari, boleh. Sekalian ibu minta tolong, titip baju buat ibu ganti. Oh iya Raka, itu makan malammu sudah ibu siapkan di kompor. Hati hati ya nak dirumah."

Perasaan lega kini menyelimuti diriku. Pikiran pikiran bodoh yang sempat terbesit di benakku tadi, perlahan mulai hilang digantikan dengan rasa tenang.

——————

Tadi malam adalah malam yang menegangkan bagiku, disetiap jamnya selalu membuat jantungku berdebar debar. Tapi untunglah ending nya tak seburuk yang kukira.

Satu hal yang masih membuatku tak habis fikir dari dulu hingga sekarang, lebih tepatnya dari semenjak aku dan Aqila berada di bangku enam dan tiga Sekolah Dasar.

Aku tak mengerti dengan jalan fikir ayah yang menghalalkan  pernyataan bahwasannya "Berselingkuh dapat membuat ayah lebih merasa baik setiap harinya." Tapi, itu hanya berlaku kepada ayah seorang. Maksudku, ibu memang tak memiliki niatan yang sama, tapi.. apa dia sudah gila? ayah sudah memiliki hal yang mencukupi kebutuhan mental maupun fisiknya. Aku, ibu, dan Aqila selalu bisa membuat suasana rumah menjadi hangat. Lalu untuk apa dirinya menduakan ibu?

Tak hanya itu. Ayah juga selalu menggunakan nada tinggi, bermain tangan, juga kakinya kepada ibu jika ibu melakukan kesalahan bahkan menurutku kesalahannya sepele. Belum lagi kalau dikantornya terjadi masalah, maka ibulah yang harus siap menerima segala bentuk kekerasan dari ayah.

Siapa yang tak geram melihatnya. Aku tak tega kepada ibu dan Aqila jika mereka harus terus menerus mengalami hal ini.

Dengan segala persiapan dan keberanian yang telah cukup, ibu akhirnya menggugat cerai ayah pada tanggal 20 November.

Hak asuh aku dan Aqila pun diputuskan dihari itu juga. Hasilnya.. aku tinggal bersama ibu, dan Aqila bersama ayah. Ini berlaku hingga Aqila menikah. Keputusan hakimpun di sepakati oleh kedua pihak yang bersangkutan

Satu tahun pertema usai perceraian, kehidupan aku dan ibu berjalan baik baik saja walaupun tak jarang adu argumen antara ibu dan aku berlangsung. Walaupun begitu, kebutuhan hidup kami tercukupi dengan uang yang dihasilkan dari jasa jahit baju ibu.

Tapi di sisi lain, Aqila lah yang menampung semua hal naasnya. Bisa dibilang Aqila adalah sosok pengganti ibu untuk menerima pelampiasan ayah. Memang, Aqila juga hidup berkecukupan sama seperti aku dan ibu, namun dirinya harus membayar segala fasilitas yang telah diberikan.

Aku dan ibu selalu mendapat cerita tak mengenakan dari gadis malang itu. Dirinya sentiasa ditekan untuk selalu bisa mendapatkan nilai sempurna di mata pelajaran yang tak ia kuasai. Kalau tidak, maka pukulan menghantam tubuhnya.

Aqila selalu menjadi saksi ayahnya yang gemar membawa pulang wanita yang tak ia kenal ke rumahnya hampir setiap hari.

Sungguh aku tak tega mendengar kehidupan gelapnya semasa tinggal bersama laki laki separuh baya itu. Kalau aku bisa, aku akan mengambil surat hak asuhnya.

——————

Jam dinding telah menunjukkan pukul setengah lima subuh.
Dengan kesadaran yang masih belum terkumpul sempurna, ku mantapkan niatku bersiap siap untuk sekolah.

Kini sudah pukul lima lewat dua. Aku melahap nasi gorengku di meja makan seraya memanggil sosok yang tadi malam baru saja sampai dirumah.

"Aqila Hafsa, bangun dek. Sebentar lagi mas berangkat nih, ayo sini dulu ada yang mau mas bilang."

Hari ini Aqila izin tak datang ke sekolahnya sebab jarak sekolah dari rumah ibu lumayan memakan waktu, apalagi di jam berangkat kerja seperti ini.

Terdengar suara pintu terbuka dari sebrang meja makan. Sesosok gadis cantik dengan surai panjangnya yang dibiarkan tergerai bebas bertengger di depan sana. Dengan dibalut baju tidur putih dan celana hitam, perlahan dia menghampiriku seraya mengusap usap wajahnya.

"Ada apa mas?" Jawabnya menarik bangku di hadapanku.

"Aqila dengerin mas. Tadi malam ibu kirim pesan ke mas Raka kalau ibu lagi jaga nenek di rumah sakit. Kamu kalau mau susul ibu, duluan aja ya dek. Sekalian bawain baju ganti buat ibu. Mas kayanya bakal pulang telat karena ada pertemuan band hari ini. Kamu jangan lupa makan sebelum berangkat, kabarin mas Raka kalau ada apa apa, ya."

"Iya mas, iya."

"Yasudah ini kamu kunciin pintunya dulu ya, mas mau jalan nih. Omong omong, kamu lihat kunci motor mas tidak? dari kemarin mas kehilangan kunci motor."

"Yang ada gantungan beruang putih bukan? itu ada samping rak buku ibu." Manikku mengikuti jari telunjuk yang Aqila acungkan ke suatu tempat.

Setelah kudapati benda yang kucari sedari kemarin, aku mengambil tas ku di bangku yang kupakai untuk sarapan beberapa menit sebelumnya, lalu berpamitan dengan Aqila.

Jarak tempuh sekolahku dari rumah tak begitu jauh. Kalau pakai motor kurang lebih sekitar sepuluh menitan. Kalau jalan kaki ya.. satu kali lipat dari naik motor.

"Oh sayangku kau begitu.. Sempurna~~" Aku menancapkan gas tak terlalu kencang. Disepanjang perjalanan menuju tempat tujuan, kuhabiskan dengan bernyanyi. Tapi terkadang mengomentari hal hal random yang manikku tangkap selama perjalanan.

Bel masuk telah berbunyi dari lima menit yang lalu. Aku menelusuri lorong koridor dari toilet pria menuju kelasku. Seperti biasa, sepanjang jalan banyak kudapati sorot mata siswa siswi yang menatapku tak suka, acuh, dan merendahkan.

Kabar tentang bagaimana kondisi keluargaku sudah tersebar luas di penjuru sekolah. Aku tak faham sangat apa alasan utama hal ini bisa terjadi, tapi setauku berita memalukan ini bisa beredar akibat ulah ayah yang berbicara hal pribadi di lingkup parkir sekolah dengan nada tinggi. Dimana saat itu parkiran sedang dipenuhi siswa siswi yang tengah memarkir motor.

"Raka, apa kau tidak mau mengikuti jejak ayahmu? bukankah dia laki laki sukses yang berlimpah uang? setelah lulus nanti, jadilah seperti dirinya." Ucap salah satu siswa yang cukup dikenal sebagai berandalan angkatanku.

Aku sudah biasa mendapatkan lontaran tak mengenakan seperti itu setiap harinya. Bukan aku lemah, tapi aku tak tertarik untuk menggubris omong kosong seperti tadi, menurutku itu hanya membuang masa. Jika aku timpali maka ujung ujungnya tak jauh dari baku hantam.

Pelajaran pertama sudah dimulai dari satu jam yang lalu. Pak Teguh selaku guru mata pelajaran sejarah meminta maaf sebab dirinya tak bisa datang mengajar pagi ini alasannya karena beliau sedang diluar kota untuk suatu hal entah apa itu.

Jadilah kelas ini tak terkondisi  kurang lebih dua jam lamanya. Ketua kelas yang seharusnya berperan penting dalam mengondisikan anggota anggotanya malah lepas tanggung jawab dan pergi bermain game mobile bersama yang lainnya.

——————

Hembusan angin terus menerpa wajahku pelan disepanjang kakiku melangkah dari gedung kelas menuju ruang studio sekolah yang berletak di belakang gedung kelas.

Percakapan antara Akbar, Zidan, Addam, dan aku berhenti sejenak saat mendengar benda persegi panjang yang berada di genggamanku berdering.

"Kalian masuk duluan saja, nanti gua nyusul ke dalam. Adek gua telpon."

Yang lain menurut. Satu persatu dari mereka pergi menjauh dariku dan memasuki ruangan yang akan menjadi tempat berkumpul kami dua jam kedepan.

"Halo Aqil, ada apa?"

"Aqila sudah ada di rumah sakit mas. Mas Raka kapan menyusul kesini? ibu sedari tadi bertanya."

"Kemungkinan mas kesana menjelang malam ya dek, mas sekarang sedang ada pertemuan band. Nanti kalau mas Raka sudah selesai, mas telpon lagi ya. Bilang ke ibu kalau lelah gantian sama kamu."

"Iya mas, nanti Aqila bilangin."

"Yasudah kalau begitu telponnya mas tutup ya, mas sudah ditungguin nih."

"Iya mas, dadaa."

Panggilan berakhir –––

Aku melangkahkan kakiku masuk menuju kedalam ruang studio.

Di dalam aku mendapati teman temanku yang sudah duduk melingkar di sana. Tapi tunggu. Ada sesosok wanita asing yang sebelumnya belum pernah kutemui. "Siapa dia." Ucapku bertanya tanya dalam diam.

"Nah Jihan, pria yang baru masuk itu namanya Raka Arrizqi. Supaya terkesan lebih akrab seperti yang lain, kau bisa memanggilnya Raka. Begitulah kita semua memanggilnya." Jelas Fabian selaku ketua band.

Aku membalas tatapannya dengan ramah. "Salam kenal, Aku Raka."

"Salam kenal juga, aku Jihan Afifah Putri. Kau bisa memanggilku Jihan."

"Nah, untuk selanjutnya, Jihan dan Raka harus bisa berkawan baik. Sebab kalian berdua adalah vocalist band nya. Jadi, buatlah suasana diantara kalian berdua tetap baik. Jika Jihan membutuhkan sesuatu bisa bicara kepada Raka sebagai orang terdekatnya di satu divisi."

——————

Lima bulan setelah aku dan Jihan saling mengenal. Benar saja, kami akrab. Maksudku, kedekatan kami benar benar dekat. Aku merasa nyaman dengannya. Disaat kondisi keluargaku sedang tidak baik baik saja, dialah tempat ternyamanku untuk mengalihkan masalah tersebut. Aku bisa tertawa berkat melihat senyumannya.

Jam latihanku juga paling banyak bersama gadis bermanik abu ini. Setelah usai latihan rutin bersama anggota lainnya, tentunya aku dan Jihan butuh latihan tambahan berdua untuk menyesuaikan harmonisasi vocal kami. Dan hal ini tentu saja berdampak dengan diri kita kedepannya.

Aku fikir awalnya Jihan adalah wanita yang hanya berbicara jika seperlunya. Ternyata aku salah, dia benar benar cerewet dan memiliki humor yang rendah.

"Raka, sebentar aku butuh rehat sejenak ya.. tenggorokanku kering hehe." Ucapnya cengengesan.

"Santai saja Jih, nih minun dulu. Nada tinggimu sudah sempurna tadi, hanya saja di bait kedua kau terkadang masih lari dari tempo."

——————

Satu tahun setelah aku dan Jihan saling mengenal. Kini kami benar benar dekat dari yang sebelumnya. Aku mulai berani bercerita tentang masalah keluargaku  yang baru saja terjadi. Aku pernah menangis di hadapannya dengan alasan hak asuh Aqila yang kembali di perebutkan. Dan aku yang gemar mengelus pucuk kepalanya jika dia sedang putus asa.

Yang lebih mengejutkannya lagi, dalam kurun waktu satu tahun, Jihan dan Aqila sudah saling mengenal. Bahkan bisa kubilang mereka terlihat seperti adik dan kaka. Yaa.. hal ini bisa terjadi karena aku pernah mengajak Jihan kerumahku untuk melakukan rekaman suara. Saat itu Aqila sedang ada di sana.

"Mbak Jihan, akhir pekan sibuk tidak? mau menemaniku pergi ke toko buku tidak? Ada beberapa buku yang mau kubeli. Kalau sama mas Raka itu susah."

"Ahahaha memangnya ada apa jika pergi sama Raka. Baiklah akhir pekan, Mbak jihan akan menemanimu pergi."

"Mas Raka itu orangnya gak betahan mbak, dia pasti maunya buru buru pulang."

Aku melihat Jihan tertawa puas disana bersama dengan Aqila.

——————

Satu tahun tiga bulan bersama dengan Jihan. Tangisku pecah di hadapannya. Hal terberat dalam hidupku terjadi hari ini.

Dokter barusan keluar dan mengatakan kepada aku, Aqila, dan Jihan, bahwa ibu mengalami pendarahan di bagian otak akibat benturan keras yang didapat dari ayah, lagi.

Nafasku tersengal dengan tangan yang mengepal erat. Jihan yang berada di sampingku tiba tiba membawaku kedalam dekapan hangatnya. Tangan kanannya mengelus elus punggungku lembut. Mulutnya sedari tadi tak berhenti mengeluarkan kalimat kalimat yang menguatkanku sekaligus menenangkanku.

"Stt.. stt.. Raka, tenanglah, dengarkan aku. Apa kau tidak malu? Aqila melihatmu seperti ini. sudah sudah jangan menangis yaa. Kalau kau menangis, bagaimana dengan Aqila. Dia juga butuh dirimu untuk menguatkannya. Ibumu pasti akan baik baik saja, dokter akan menanganinya dengan baik."

——————

Satu tahun delapan bulan aku dan Jihan bersama. Semakin lama, antara aku dan Jihan sama sama saling tumbuh perasaan yang sebelumnya belum pernah kami rasakan.

Aku benar benar sudah nyaman dengan Jihan. Dengan segala hal yang telah dia lakukan, membuatku selalu takut untuk kehilangan sosok dirinya.

Dia selalu datang disaat aku ada di titik terendahku. Dia datang dengan senyum manisnya yang hangat, yang selalu dapat membuatku tenang saat melihatnya.

Begitupun saat aku melihatnya bersama dengan Aqila. Mendengar dan melihat mimik wajah gembira adikku, membuatku merasakan ketenangan yang mendalam. Semua itu tak luput dari sosok Jihan.

Entah siapa gadis itu sebenarnya, tapi dia selalu memiliki seribu satu cara yang dapat menyembuhkanku, menenangkanku, dan membuatku bahagia. Seakan akan dirinya menyihirku agar bisa lupa tentang masalah yang sedang ada di depan mataku.

Belaian lembutnya, tatapan dalamnya, senyum manisnya, pelukan hangatnya, suara indahnya. Semua itu seakan akan menjadi duniaku sekarang.

Jihan Afifah Putri.

 Entah bagaimana caranya aku berterimakasih kepadamu. Sosokmu selalu membantuku disetiap kali tubuhku diterpa badai.

Dirimu seolah membawaku pergi ke tempat ternyaman, dimana hanya ada kita berdua di sana dengan suasana damai. Setiap kali kau menatapku dengan dalam, aku selalu merasa kau mengatakan "Tenang saja Raka. Aku akan tetap ada untukmu, aku tak akan pergi meninggalkanmu sendirian. Jangan takut, Jihan ada disini untukmu. Aku menyayangimu."

"Jihan." Panggilku menatap wajahnya.

Kepalanya terangkat dan maniknya menatapku serius. "Ada apa Raka?"

"Terimakasih banyak. Kau selalu membantuku disetiap kali aku butuh pertolongan. Kau selalu datang di saat aku membutuhkan seseorang."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun