“Sebagai sahabat, saya hanya ingin kalian doakan supaya saya bisa tabah dan mampu mengatasi persoalan yang sedang saya hadapi,” kata Emilia.
Sephia, Mety dan Sita, kembali saling pandang. Lalu, secara serentak mereka bertiga memeluk Emilia. Sedetik kemudian, airmata Emilia mengalir bening di pipinya. Kemarahan, kepedihan hati dan perasaan terhina yang menyumbat mampat mata air airmata Emilia, dalam sekejap meleleh hanyut terbawa butiran bening yang mengucur deras di pipinya, dan sirna.
Sejak itu, rongga dada Emilia terasa lebih lapang. Batas kesabarannya juga semakin bertambah lebar. Ketegarannya menghadapi kepahitan hidup pun kian tak terguyahkan.
Maka, ketika Gulam menagih ijin ingin kawin lagi, dengan dingin Emilia menjawab, “Maaf, saya tidak mau memberi ijin. Saya juga tidak melarang kamu kawin lagi. Tapi, kalau kamu kawin lagi, saya akan menggugat cerai.”
Mendengar jawaban Emilia, sontak Gulam naik pitam. Tangannya meraih pigura foto keluarga yang tergantung di dinding, merenggutnya dengan sekali tarikan, lantas dibanting hancur. Nyali Emilia ciut. Tapi ia tak menyerah pada rasa takut. Emilia bahkan tak lagi punya perasaan apa-apa. Emilia hanyalah sekadar patung bernyawa.
“Kamu memang nggak bisa diajak ngomong baik-baik! Kamu memang istri yang lebih senang suaminya berzinah dan berdosa!” hardik Gulam, kakinya menendang kulkas.
Tiba-tiba Iqbal nyelonong sambil menangis ketakutan.
“Diam kamu! Diam!” bentak Gulam kalap.
Tapi Iqbal malah menjerit. Tangisnya menjadi-jadi.
“Diam! Kalau nggak diam Papa balik kamu!”
Iqbal meraung ketakutan. Gulam tambah kalap. Kedua kaki Iqbal ditangkap, lalu diangkat. Saat kakinya terangkat ke atas dan kepalanya bergelayutan di bawah, tangis Iqbal langsung berhenti. Lik Ni tergopoh datang, menyambut tubuh Iqbal lantas membawanya pergi.