Mohon tunggu...
Harry Tjahjono
Harry Tjahjono Mohon Tunggu... lainnya -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Emilia

22 Agustus 2012   18:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:26 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sebagai sahabat, saya hanya ingin kalian doakan supaya saya bisa tabah dan mampu mengatasi persoalan yang sedang saya hadapi,” kata Emilia.

Sephia, Mety dan Sita, kembali saling pandang. Lalu, secara serentak mereka bertiga memeluk Emilia. Sedetik kemudian, airmata Emilia mengalir bening di pipinya. Kemarahan, kepedihan hati dan perasaan terhina yang menyumbat mampat mata air airmata Emilia, dalam sekejap meleleh hanyut terbawa butiran bening yang mengucur deras di pipinya, dan sirna.

Sejak itu, rongga dada Emilia terasa lebih lapang. Batas kesabarannya juga semakin bertambah lebar. Ketegarannya menghadapi kepahitan hidup pun kian tak terguyahkan.

Maka, ketika Gulam menagih ijin ingin kawin lagi, dengan dingin Emilia menjawab, “Maaf, saya tidak mau memberi ijin. Saya juga tidak melarang kamu kawin lagi. Tapi, kalau kamu kawin lagi, saya akan menggugat cerai.”

Mendengar jawaban Emilia, sontak Gulam naik pitam. Tangannya meraih pigura foto keluarga yang tergantung di dinding, merenggutnya dengan sekali tarikan, lantas dibanting hancur. Nyali Emilia ciut. Tapi ia tak menyerah pada rasa takut. Emilia bahkan tak lagi punya perasaan apa-apa. Emilia hanyalah sekadar patung bernyawa.

“Kamu memang nggak bisa diajak ngomong baik-baik! Kamu memang istri yang lebih senang suaminya berzinah dan berdosa!” hardik Gulam, kakinya menendang kulkas.

Tiba-tiba Iqbal nyelonong sambil menangis ketakutan.

“Diam kamu! Diam!” bentak Gulam kalap.

Tapi Iqbal malah menjerit. Tangisnya menjadi-jadi.

“Diam! Kalau nggak diam Papa balik kamu!”

Iqbal meraung ketakutan. Gulam tambah kalap. Kedua kaki Iqbal ditangkap, lalu diangkat. Saat kakinya terangkat ke atas dan kepalanya bergelayutan di bawah, tangis Iqbal langsung berhenti. Lik Ni tergopoh datang, menyambut tubuh Iqbal lantas membawanya pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun