“It’s okay. No problem. Tapi, saya minta kamu juga jangan terlalu lama memikirkannya. OK?”
Emilia mengangguk, lantas melambai waitress minta bill. Gulam pun bangkit dari duduknya, pamit ke toilet. Emilia membuka dompet, mengambil credit-card dan mengulurkan pada waitress. Setiap kali memang selalu begitu. Giliran ditagih, Gulam pasti pamit ke toilet atau pura-pura sibuk sampai akhirnya terlambat membayar. Sejak menikah, selalu saja Emilia yang menraktir suaminya. Tapi Emilia tak pernah keberatan, apalagi merasa terbebani. Barangkali karena sejak sebelum menikah Emilia sudah berkarier di perusahaan asing dan gajinya lebih dari cukup—jauh lebih besar dari penghasilan Gulam yang berwiraswasta buka kios alat-alat listrik. Emilia juga tidak pernah mengeluh meskipun gajinya terpakai untuk mencukupi semua kebutuhan hidup rumahtangganya. Toh biar sedikit masih tersisa untuk ditabung. Emilia ikhlas dan percaya suatu saat Gulam akan meraih sukses melebihi penghasilannya. Tapi, entah kenapa, malam itu Emilia merasa terpaksa dan tidak rela mengeluarkan uang untuk membayar makanan yang terlanjur ditelan Gulam.
Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju pulang, Emilia memilih diam. Pikirannya menerawang jauh, mendahului laju mobil dan sampai di ranjang Iqbal, anaknya yang baru berusia tiga tahun, yang tentu sudah tidur dikeloni Lik Ni, baby sitter-nya.
“Kamu marah ya, say?” tanya Gulam, lembut, sambil menyetir.
Tapi Gulam seperti bertanya pada patung.
“Kamu melamun ya, say?”
Emilia menyusup ke dalam mimpi Iqbal.
Setelah beberapa kali bertanya sia-sia pada patung, akhirnya Gulam bersiul melantunkan lagu Love Me Tender-nya Elvis Presley yang lantas di-medley melodi Kemesraan-nya Iwan Fals.
Malam itu, Emilia tidur berdua Iqbal, berimpitan di ranjang selebar 90 sentimeter. Sedangkan Gulam bergegas turun ke dalam kios yang terletak di lantai bawah, lalu menyalakan komputer dan chatting sampai pagi.
Sambil mendekap Iqbal yang semakin lelap karena dipeluk ibunya, Emilia berharap bisa menangis. Tapi, kendati sangat ingin menangis sepuasnya, bola mata Emilia tetap kering. Memang terasa perih, tapi tak basah airmata. Kemarahan, kepedihan hati dan perasaan terhina, tampaknya telah menyumbat mampat mata air airmata Emilia.
Meskipun semalaman tidak bisa tidur, tepat pukul tujuh pagi Emilia sudah sampai di kantor. Sejak dulu selalu begitu. Tak pernah terlambat barang semenit. Padahal jam masuk kantor resminya pukul setengah delapan. Tapi, sebagai sekretaris direksi, Emilia merasa tak patut tiba di kantor lebih lambat dari boss-nya. Maklum, boss-nya yang warganegara AS itu tinggal di apartemen seberang, lima menit jalan kaki dari gedung kantor. Tak heran jika pukul 07.10 pagi, boss Emilia sudah sampai kantor.