Maka, meskipun semalaman tidak bisa tidur, tepat pukul tujuh pagi Emilia sudah duduk di belakang meja lantas bekerja seperti biasa. Sikapnya wajar, pekerjaannya lancar, bahkan sesekali tawanya masih terdengar. Tak seorangpun melihat ada seuatu yang aneh pada diri Emilia—kecuali Sita, Mety dan Sephia, yang sudah lima tahun lebih berkarib erat dan saling curhat.
“Mata Lia kayaknya sembab ya,” bisik Sita.
“Ho’oh. Semalem habis nangis ‘kali,” sahut Mety, juga berbisik.
“Ngaco! Lia mana bisa nangis?!” sambar Sephia, senyaring bunyi dua losin piring kaleng jatuh di lantai.
Emilia menoleh, tersenyum geli melihat Sephia dikerubuti Sita dan Mety.
“Dasar ember! Kalo ngomong nggak bisa pelan!” gerutu Sita.
“Ngomong aja nggak bisa pelan, gimana kalau nyanyi?” timpal Mety.
“Merdu bo…, semerdu Katon Bagaskara,” sahut Sephia mantap.
Dan Emilia tertawa. Tapi, ketiga karibnya itu tak yakin Emilia benar-benar tertawa. Karena itu, waktu jam makan siang, Emilia langsung digelandang masuk Fleurie, resto tradisional Perancis yang terletak di lantai empat Plaza Senayan. Dan di pojok ruangan, agak terlindung dari mata pengunjung, Emilia diinterogasi ketiga sobatnya.
Emilia paham, berpura-pura di depan Sephia, Mety dan Sita, adalah perbuatan sia-sia. Berkeras mengaku tidak ada masalah dan baik-baik saja, juga hanya akan membuatnya kehilangan tiga sahabat setia tempat curhat. Tapi, untuk berterus terang, Emilia juga ragu. Sebab, “Apa yang saya alami sekarang ini bisa-bisa membuat kalian semakin takut menikah,” kata Emilia.
Sephia, Mety dan Sita, saling pandang. Emilia diam menunggu.