Sedan hitam yang dikemudikan Ani pun segera meluncur ke rumah Astrid. Sepanjang perjalanan, Astrid tak henti berceramah tentang gender, kesetaraan dan persamaan hak. Di rumah. Di kantor. Di pemerintahan.
"Pokoknya gue nggak rela kalo lu diperlakukan sewenang-wenang. Even sama suami lu sendiri. Udah nggak jamannya lagi deh," kata Astrid penuh semangat.
Ani diam saja. Kepalanya sudah mendidih karena geram atas perlakuan suaminya selama ini kepadanya. Apalagi ditambah dengan pemahaman baru yang dikobarkan Astrid.
"Kalo gue digituin, oo… gue omelin suami gue, terus gue tinggalin sendiri di rumah. Tahu rasa dia. Kenapa lu nggak pergi aja ke rumah orang tua lu? Nanti kalo dijemput suami lu, itu artinya dia butuh," saran Astrid. "Dengan begitu lu punya bargaining position yang kuat. Jangan mau dibawa pulang sebelum dia nerima semua syarat yang lu ajuin. Yah, semacam rules of the game yang baru lah."
"Pulang ke rumah ortu?" gumam Ani. "Hmm… mungkin suatu saat bisa dicoba."
"Ngapain pikir panjang segala. Pake ditimbang-timbang. Udah langsung aja. Malam ini lu langsung aja ke rumah orang tua lu. Atau … gimana kalo malam ini tidur di rumah gue aja?" tawar Astrid.
Ani diam. Dia bingung.
***
Ani menangkap keheranan di wajah Astrid saat melihat mobil John suaminya parkir di garasi. "Katanya dia ada janji mau main golf sore ini," kata Astrid dengan nada bertanya-tanya. "Tau gitu, gue bawa tuh mobil."
Astrid mempersilakan Ani masuk. Rumah besar itu tampak sepi. Seperti Ani, Astrid juga belum punya anak. Rumah besar itu hanya dihuni oleh 3 orang. Astrid, John dan Naneh, pembantu mereka asal Cilacap.
"Sebentar ya, gue ambil bukunya dulu." Astrid bergegas membuka pintu kamarnya.
Tiba tiba Ani dikejutkan oleh teriakan histeris Astrid. "Sedang apa kalian di sini?"