"Kalau dia memperhatikan hal-hal kecil, tentu dia akan memperhatikan hal-hal yang besar," demikian kata hati Ani waktu itu.
Tapi kini, sudah lama sekali Tony tidak membuatnya senang. Jangankan memberi kejutan, bedak Ani habis pun, Tony seolah tidak mau tahu. Tidak ada lagi Tony yang romantis dan selalu memperhatikan semua kebutuhannya seperti ketika mereka pacaran dulu. Yang ada sekarang adalah seorang laki-laki yang berbuat seenaknya dalam rumah, menguasai televisi dan nonton semua pertandingan olah raga, serta menyuruhnya melakukan hal-hal yang sebetulnya bisa dikerjakan oleh pembantu.
Ani mengangkat wajahnya. Bantal itu kini basah, setelah menampung luapan air mata kesedihan yang menderanya. Tangannya meraih telepon di samping tempat tidur.
Dia angkat telepon, lalu dengan lirih berbisik, "Astrid, gue pingin ngobrol."
"Lu kenape? Abis mewek ya?" Suara di seberang sana menebak tepat.
"Nanti lah gue cerita,"sahut Ani.
"OK. Di mana?"
"Tator?"
Sejam lagi ya? OK?"
Ani meraih handuk, lalu segera mandi. Keluar dari kamar mandi, dia lihat mata Tony sudah setengah terpejam. Pertandingan bola sudah tidak lagi menarik perhatiannya. Kopi yang dibikin tadi belum berkurang setetespun. "Padahal tadi mintanya kayak perempuan hamil mau melahirkan," keluh Ani.
"Mas, aku janjian mau ketemu Astrid,' kata Ani, sambil berusaha menegarkan suaranya. Takut ketahuan habis nangis.