Mohon tunggu...
Harry Wiyono
Harry Wiyono Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hamba Tuhan

Sebagai : 1. Wakil Gembala GGP Betesda Pamulang 2. Sebagai wartawan sejak tahun 1984 3. Researcher di MRI (Market Riset Indonesia) 4. Researcher di Ecbis Rescons 5. Researcher di CDMI

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Habakuk dalam Rancangan Tuhan

22 Maret 2024   09:42 Diperbarui: 22 Maret 2024   09:42 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sudah dijelaskan diatas bahwa setiap orang yang masih hidup pasti punya permasalahan, ketiga kesaksian tersebut menggambarkan betapa beratnya permasalahan yang mereka hadapi. Berhasil tidaknya ketiga hamba Tuhan tersebut dalam mengatasi masalah hal itu tergantung dari bagaimana mereka menanggapi masalah itu. Biasanya ada 2 hal yang dilakukan oleh manusia yaitu melalui cara pandang manusia dan cara pandang Allah.

Cara Pandang Manusia

Cara pandang manusia biasanya serba instan. Contoh sederhana ketika kita sakit, maka hati kita akan lega, ketika kita sembuh, ketika listrik rumah kita dicabut, maka hati kita akan lega apabila kita punya uang untuk membayarnya, ketika rumah kita disegel, maka hati kita akan tenang apabila kita bisa melunasinya, ketika mobil kita akan diderek, maka hati kita akan tentram apabila bisa membayarnya.

Cara  pandang seperti ini, jelas akan menjerumuskan manusia lebih dalam, dalam menghadapi permasalahan, jika demikian maka tidak heran apabila manusia akan cepat menghilang dari peredaran (mati), bagaimana tidak!  Sebab tidak semua yang kita harapkan akan terwujud, ada yang sudah bertahun-tahun menderita sakit, dan sudah berkali-kali masuk rumah sakit tetap saja tidak sembuh. Ada yang sudah berusaha kemana-mana mencari dana untuk pembayaran listrik, pembayaran rumah, cicilan mobil dan lain sebagainya, tetapi tidak juga memperoleh dana. Kalau menghadapi masalah seperti ini, tidak jarang kita menjadi stress, berlanjut kepada stroke dan akhirnya meninggal dunia.

Tidak kita sadari bahwa biasanya semua yang kita inginkan melebihi dari kebutuhan, artinya sebenarnya kita sudah tercukupi akan kebutuhan kita, tetapi keinginan kita lebih besar. Misalnya sebenarnya dengan gaji Rp. 10 juta per bulan, sudah tercukupi semua kebutuhan kita, tetapi keinginan kita lebih besar dari itu, itulah yang namanya nafsu.

Untuk mengatasi nafsu ini biasanya ditempuh dengan cara instan, yaitu melalui korupsi, melalui pungli, catut sana catut sini. Segala cara ditempuh untuk memenuhi nafsu ini. Semua cara diatas memang sudah lazim ditempuh oleh orang selama ini. Tetapi anehnya sekarang ini, ada cara yang tidak lazim mulai dilakukan oleh banyak orang yaitu dengan menggugat orang tuanya sendiri, semuanya itu dilakukan hanya untuk memperoleh keuntungan besar bagi diri sendiri tidak mamperdulikan orang lain walaupun itu orang tuanya sendiri.

Keinginan besar untuk segera terselesaikan dari masalah, kadang-kadang juga membuat kita mengabaikan kedaulatan Tuhan. Bagi kita yang terbiasa berpikir bahwa satu-satuya jalan kelegaan adalah melalui pemulihan keadaan, maka dengan sendirinya ketika masalah menimpa, kita datang kepada Tuhan dengan satu-satunya tujuan yaitu meminta-Nya untuk memperbaiki situasi buruk kita sesuai dengan kehendak dan rencana kita sendiri.

Akibatnya tanpa disadari kita tidak memperlakukan-Nya sebagai Tuhan tetapi menggunakan-Nya sebagai sarana semata-mata. Kita memanfaatkan Allah dengan segala kuasa-Nya untuk membantu, mensukseskan, mencapai apa yang kita inginkan. Kita menjadi sangat berminat mencari formula-formula yang menjanjikan akan membuat Allah menjadi alat efektif. Misalnya seperti Doa dengan visualisasi, kita harus membayangkan semua detil permintaan kita. Atau ajaran-ajaran tentang bagaimana memiliki Iman Pemindah Gunung agar Allah mau memenuhi permintaan kita.

Kita juga akan mengukur Tuhan dari perspektif kegunaan dan manfaat-Nya dalam memperbaiki situasi kita. Kalau  Ia memang "Alat" yang benar-benar bermanfaat, maka akan kita gunakan di kesempatan berikutnya. Sebaliknya kalau tidak terbukti bermanfaat bagi penyelesaian masalah kita, ya kita buang saja.

Kita percaya bahwa kelimpahan pemberian membuat kita merasa puas. Sehingga setiap pemberian Tuhan yang kita terima, tidak peduli berapapun banyaknya, akan memacu kita untuk mendapat lebih dan lebih banyak lagi. Kita adalah nafsu yang berjalan. Coba tanyakan, rekening bank dengan jumlah uang berapakah sampai kita tidak menghendaki uang lebih banyak lagi? Dari sepeda kita ingin sepeda motor, kemudian mobil, kemudian rumah, kemudian villa dan seterusnya.

Semakin banyak Allah memberi, samakin kita berpaling pada pemberian-pemberian itu. Kita makin tidak pernah datang kepada Allah itu sendiri karena kekurangan waktu, bahkan waktu kita habis untuk mengatur semua pemberianNya. Kita terikat pada pemberian-pemberian itu sendiri. Kita menikmati ciptaan dan bukan Pencipta-Nya. Maka dari itu, siapapun yang berpegang pada apa yang ada di dalam dunia, akan menghabiskan seluruh hidupnya tanpa kemajuan berarti untuk kaya di hadapan Tuhan. Barang-barang telah mengisi tempat yang seharusnya ditempati Allah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun