Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Pengurangan Digit Rupiah, Belum Saatnya Redenominasi

7 Desember 2023   22:18 Diperbarui: 15 Desember 2023   09:46 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi uang redenominasi. (Sumber: Tangkapan layar akun @chonk_green_story via kompas.com)

Baru-baru ini viral video yang menampilkan pengurangan digit angka pada uang baru Bank Indonesia (BI). Konfirmasi BI, informasi dalam video tersebut adalah hoaks sebagaimana diberitakan Kompas.com (30/11). Video semacam itu sebenarnya sudah berulang kali muncul, entah apa tujuan penyebarnya.

Mengenai penyederhanaan jumlah digit Rupiah, kebijakan tersebut memang rencana lama BI dan pemerintah. Rancangan ketentuannya pun sudah dipublikasikan yaitu Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi). 

RUU dimaksud juga telah disampaikan pemerintah kepada DPR lalu pernah diusulkan masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2015-2019.

RUU Redenominasi hingga saat ini belum disahkan. Isu penyederhanaan digit rupiah pun sewaktu-waktu muncul meskipun eskalasinya kecil. 

Mengingat implementasi ketentuan semacam itu dapat berdampak besar terhadap perekonomian Indonesia, tentunya banyak kondisi yang melatarbelakangi penundaan penerapannya.  

Pengurangan Digit Rupiah

Penyederhanaan jumlah digit pada pecahan Rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga, atau nilai tukar Rupiah terhadap harga barang atau jasa dikenal dengan Redenominasi. Bentuk kebijakan tersebut adalah penghilangan tiga angka nol dalam Rupiah lama.

Sederhanya, setiap seribu Rupiah lama nilainya sama dengan satu Rupiah setelah redenominasi. Setiap satu Rupiah setelah Redenominasi nilainya sama dengan seratus Sen. Jadi, muncul satuan baru Sen untuk Rupiah lama di bawah seribu Rupiah.

Ilustrasinya, apabila terjadi Redenominasi Rp100.000 menjadi Rp100 maka harga barang yang semula Rp100.000 akan menyesuaikan menjadi Rp100. Untuk itulah, Redenominasi ini sebatas pengurangan digit uang dan harga.

Redenominasi berbeda dengan Sanering yang merupakan pemotongan nilai uang sedangkan harga barang-barang tetap, bahkan cenderung meningkat sehingga daya beli efektif masyarakat menjadi menurun.

Contohnya, apabila terjadi Sanering maka Rp100.000 menjadi Rp50.000. Namun, harga barang yang semula Rp100.000 masih akan tetap.    

Itulah sekilas pemanahaman mengenai Redenominasi yang sebagian diintisarikan dari RUU Redenominasi.  

Jadikah Redenominasi?

Redenominasi ini memerlukan waktu yang panjang, dari persiapan hingga penyesuaiannya. Dalam RUU Redenominasi, penyederhanaan jumlah digit rencananya mulai berlaku 1 Januari 2020 yang diawali dengan BI mengeluarkan dan mengedarkan Rupiah dengan kata "Baru". Selanjutnya, mulai 1 Januari 2025, BI mengeluarkan dan mengedarkan Rupiah tanpa kata "Baru".

Proses berikutnya pun masih panjang karena adanya pencabutan dan penarikan Rupiah lama hingga 31 Desember 2024 dan Rupiah dengan kata "Baru" hingga 31 Desember 2028.

Dari urutan waktu itu saja sudah jelas jauh terlewat sehingga sulit menyimpulkan jadi atau tidaknya pemberlakuan Redenominasi ini.

Selain urutan waktu, bisa juga dijajaki dari beberapa rencana kebijakan BI. Merujuk pernyataan Gubernur BI dalam Pertemuan Tahunan BI 2023 November lalu, pada tahun 2024, dengan berlanjutnya gejolak global, kebijakan moneter akan tetap pada stabilitas (pro-stability). 

Sementara empat kebijakan lain, yaitu kebijakan makroprudensial, digitalisasi sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta pengembangan UMKM dan ekonomi keuangan syariah untuk pertumbuhan (pro-growth).

Dari pernyataan tersebut, Redenominasi tidak masuk dalam rencana strategis bank sentral tahun depan.    

Dalam forum yang sama, sambutan Presiden Indonesia menekankan pada penguatan ekonomi domestik dalam menghadapi risiko geopolitik pada 2024 dan dorongan kepada sektor riil.

Isu redenominasi tidak disinggung juga oleh kepala pemerintahan.

Pemerintah sebetulnya pernah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 77/PMK.01/2020 Tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 (PMK Rencana Strategis). Salah satu kebutuhan regulasi yang diusulkan dalam PMK tersebut adalah RUU Redenominasi dengan target penyelesaian 2021-2024.

Namun, hingga sekarang tidak ada kemajuan penyelesaian RUU dimaksud. Adapun sisa setahun ke depan, sulit untuk menyelesaikan RUU yang berdampak signifikan terhadap perekonomian.

Dapat disimpulkan bahwa Redenominasi kemungkinan kecil, jika enggan mengatakan tidak mungkin, direalisasikan dalam waktu dekat.

Belum Saatnya

Redenominasi ini memiliki tingkat kompleksitas dan risiko yang tinggi. Perlu kajian mendalam dan pertimbangan yang matang sebelum menerapkannya. Mengingat, stabilitas ekonomi tidak layak dipertaruhkan hanya karena pengurangan angka pada uang.  

Mengutip kajian berjudul Penentu Keberhasilan Redenominasi Mata Uang: Pendekatan Historis dan Eksperimental, yang ditulis Andika Pambudi dkk, hal penting dalam pelaksanaan kebijakan Redenominasi mata uang adalah kondisi perekonomian pada saat dilaksanakannya kebijakan tersebut. Akan lebih baik jika Redenominasi diterapkan ketika perekonomian dalam kondisi baik dan stabil, seperti tingkat inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Merujuk kajian dimaksud, kita dapat menelusuri kondisi ekonomi sekian tahun ke belakang hingga beberapa waktu ke depan.

Pada 2018, perekonomian global cukup terganggu dengan memanasnya hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China, atau populer disebut perang dagang. Imbas dari momentum tersebut meluas hingga ke negara-negara mitra dagang kedua negara itu, termasuk Indonesia. Fokus Indonesia saat itu adalah mempertahankan kestabilan ekonomi dengan mencari alternatif mitra dagang.

Belum usai perang dagang, tahun 2020 perekonomian global nyaris lumpuh karena pandemi Covid-19. Prioritas utama negara-negara di dunia adalah menyelamatkan rakyatnya dari serangan virus, termasuk Indonesia. Kompleksitas permasalahan memang jauh lebih rumit dari krisis-krisis sebelumnya karena menyangkut sektor kesehatan, sosial, dan ekonomi.

Defisit sektor ekonomi tidak bisa dihindarkan saat itu. BI dan pemerintah pun mengambil langkah penyelamatan ekonomi nasional yang disebut burden sharing. Ringkasnya, ada pembagian anggaran antara bank sentral dengan pemerintah untuk penanganan dampak pandemi. Kebijakan tersebut secara garis besar guna penyelamatan hajat hidup orang banyak dan pemulihan ekonomi serta dunia usaha.

Memasuki 2022, ketika pandemi sudah mulai menurun dan perekonomian dunia sedang memasuki tahap pemulihan, dunia kembali dikejutkan dengan terjadinya perang Rusia dan Ukraina. Belum tuntas persoalan tersebut, akhir 2023 konflik lama antara Palestina dan Israel kembali memanas. Banyak pengamat membaca potensi meluasnya konflik tersebut ke negara-negara Timur Tengah.  

Mengingat negara-negara yang berkonflik atau lingkungan sekitarnya merupakan pemain penting dalam perekonomian dunia, dampak konflik pun lagi-lagi bakal menganggu perekonomian global.    

Dari rangkaian peristiwa ekonomi itu, tergambar jelas bahwa kondisi ekonomi rentan bergejolak dalam beberapa tahun terakhir bahkan ke depan. Dalam kondisi semacam itu, tentu bukanlah saat yang tepat untuk menerapkan Redenominasi.    

Menyelamatkan Perekonomian  

Persoalan geopolitik tidak bisa dipastikan kapan berakhirnya. Indonesia juga tidak dapat sepenuhnya campur tangan dalam penyelesaiannya. Yang bisa dilakukan adalah memperkuat perekonomian domestik agar mampu bertahan menghadapi tekanan global.

Terkait Redenominasi, mengutip kembali kajian Andika Pambudi dkk, dampak yang muncul karena perubahan nominal mata uang adalah munculnya bias psikologis yang disebut money illusion. Sebagian besar masyarakat akan mempersepsikan bahwa harga barang menjadi lebih murah karena dihilangkannya angka nol dari mata uang terdahulu.

Dari sisi Pemerintah, sebagaimana tercantum dalam PMK Rencana Strategis, dampak Redenominasi adalah timbulnya efisiensi perekonomian berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit Rupiah.

Selain itu, Redenominasi akan menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi, dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya jumlah digit Rupiah.

Berbagai dampak sebagaimana hasil kajian dan pemetaan Pemerintah tersebut justru menunjukkan tingkat urgensi yang rendah dari penerapan Redenominasi. Nilai tambah yang diperoleh tidak sebanding dengan kebutuhan saat ini, yakni menjaga kestabilan ekonomi.

Sebenarnya, kebijakan Redenominasi pernah dilakukan Indonesia pada 1965 karena persiapan terwujudnya kesatuan moneter bagi seluruh wilayah negara Indonesia. Adapula redenominasi beberapa negara di Eropa pada 1999 karena terkait penyatuan mata uang Euro.

Dengan demikian, alasan untuk melakukan Redenominasi ini harus berdasarkan pada tingkat urgensi yang tinggi, yang mana tidak ada pilihan lain, dan dampaknya terukur atau tingkat spekulasinya rendah.  

Jadi, langkah BI dan pemerintah yang tidak mengangkat isu Redenominasi dalam beberapa tahun ke belakang dan ke depan sudah tepat.

Arah Kebijakan

Berbagai kebijakan BI, sepertihalnya mendorong percepatan digitalisasi pembayaran, perluasan sistem pembayaran antarnegara, mendorong pertumbuhan kredit/pembiayaan, dan sebagainya mengarah pada penguatan ketahanan dan kebangkitan ekonomi nasional. Hal itu sudah sejalan dengan kebutuhan perekonomian nasional saat ini dan mendatang.

Pemerintahpun masih konsisten pada kebijakan menjaga daya beli masyarakat melalui bantuan sosial, insentif pajak, penurunan kemiskinan, dan banyak kebijakan strategis lainnya. Semua kebijakan itu mengarah pada percepatan pembangunan pasca pandemi dan dalam rangka menuju Indonesia maju 2045.          

Melihat arah kebijakan BI dan pemerintah, dapat disimpulkan bahwa Redenominasi dalam waktu ke depan kemungkinan masih menetap sebagai wacana. Belum nampak alasan yang kuat untuk memunculkannya menjadi kenyataan.           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun