Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Pengurangan Digit Rupiah, Belum Saatnya Redenominasi

7 Desember 2023   22:18 Diperbarui: 15 Desember 2023   09:46 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi uang redenominasi. (Sumber: Tangkapan layar akun @chonk_green_story via kompas.com)

Pemerintah sebetulnya pernah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 77/PMK.01/2020 Tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 (PMK Rencana Strategis). Salah satu kebutuhan regulasi yang diusulkan dalam PMK tersebut adalah RUU Redenominasi dengan target penyelesaian 2021-2024.

Namun, hingga sekarang tidak ada kemajuan penyelesaian RUU dimaksud. Adapun sisa setahun ke depan, sulit untuk menyelesaikan RUU yang berdampak signifikan terhadap perekonomian.

Dapat disimpulkan bahwa Redenominasi kemungkinan kecil, jika enggan mengatakan tidak mungkin, direalisasikan dalam waktu dekat.

Belum Saatnya

Redenominasi ini memiliki tingkat kompleksitas dan risiko yang tinggi. Perlu kajian mendalam dan pertimbangan yang matang sebelum menerapkannya. Mengingat, stabilitas ekonomi tidak layak dipertaruhkan hanya karena pengurangan angka pada uang.  

Mengutip kajian berjudul Penentu Keberhasilan Redenominasi Mata Uang: Pendekatan Historis dan Eksperimental, yang ditulis Andika Pambudi dkk, hal penting dalam pelaksanaan kebijakan Redenominasi mata uang adalah kondisi perekonomian pada saat dilaksanakannya kebijakan tersebut. Akan lebih baik jika Redenominasi diterapkan ketika perekonomian dalam kondisi baik dan stabil, seperti tingkat inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Merujuk kajian dimaksud, kita dapat menelusuri kondisi ekonomi sekian tahun ke belakang hingga beberapa waktu ke depan.

Pada 2018, perekonomian global cukup terganggu dengan memanasnya hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China, atau populer disebut perang dagang. Imbas dari momentum tersebut meluas hingga ke negara-negara mitra dagang kedua negara itu, termasuk Indonesia. Fokus Indonesia saat itu adalah mempertahankan kestabilan ekonomi dengan mencari alternatif mitra dagang.

Belum usai perang dagang, tahun 2020 perekonomian global nyaris lumpuh karena pandemi Covid-19. Prioritas utama negara-negara di dunia adalah menyelamatkan rakyatnya dari serangan virus, termasuk Indonesia. Kompleksitas permasalahan memang jauh lebih rumit dari krisis-krisis sebelumnya karena menyangkut sektor kesehatan, sosial, dan ekonomi.

Defisit sektor ekonomi tidak bisa dihindarkan saat itu. BI dan pemerintah pun mengambil langkah penyelamatan ekonomi nasional yang disebut burden sharing. Ringkasnya, ada pembagian anggaran antara bank sentral dengan pemerintah untuk penanganan dampak pandemi. Kebijakan tersebut secara garis besar guna penyelamatan hajat hidup orang banyak dan pemulihan ekonomi serta dunia usaha.

Memasuki 2022, ketika pandemi sudah mulai menurun dan perekonomian dunia sedang memasuki tahap pemulihan, dunia kembali dikejutkan dengan terjadinya perang Rusia dan Ukraina. Belum tuntas persoalan tersebut, akhir 2023 konflik lama antara Palestina dan Israel kembali memanas. Banyak pengamat membaca potensi meluasnya konflik tersebut ke negara-negara Timur Tengah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun