Akhir musim berganti, tatkala hari menginjakan tanggalnya pada awal satu january, biru catatan ini kembali mengais hati yang tengah dalam menanti, lewati goresan-goresan pena yang menghiasi, kertas tebal yang melipat pita merah jambu, pada sudut meja kayu yang tertata rapi sisi samping jendela bilik kamar, terduduk lugu paras ayu yang tengah di cumbu rayu, ketikan-ketikan rindu..
11 purnama,Â
Waktu telah berlalu, january kembali lagi menyapaku, dan biru catatan itu masih di pangkuanku, dan tentu masih basah dengan tinta merah hatiku,Â
Lagi dan lagi, penantian itu, tak pernah membuang rasa ini, ketika harus menunggu, waktu seperti tak pernah berjalan dihadapanku, tetap seperti kemarin, saat senja kau masih berdiri disampingku, mengalunkan irama dalam jiwaku, mewarnakan kehidupan pada hatiku, itulah duniaku..
**
Kau tersenyum membelai mataku, yang tertegun menatap hampa, wajah kosong dihadapanku, terlihat bening mata itu meluruhkan butir yang segera menepi sisi rona, sesaat hening tiada suara, kata-kata seakan tersekat oleh pindingan lidah yang kelu, siksa bertahun kini seperti sirna, tertelan sinaran gembira, wajah itu yang sekian lalu ku rindu kini tersenyum dibawah sinaran genta hadapanku..
Inikah penantian yang ku tunggu selama ini, berbuah keindahan hari, dimana kesabaran adalah benih dari buah yang akan di petik..
Dan biru catatan diary itu sebagai perlambang, bahwa masih ada cinta yang tak berlalu, bahkan ketika waktu tengah memisahkan, mereka tetap bersatu di dalam catatan harian rindu, yang suatu hari akan menjadi bukti, kisah sebuah hati yang tak pernah mati..
**
Aku rindu padamu,Â
Sesaat terluncurlah ucapan itu,