Engkau tabah dan selalu tabah, kenyataan yang pahit telah kau telan tanpa pernah membebani mereka yang berkuasa.
1965, Malari 1974, Tanjung Priok 1984, dan yang terakhir masih membekas di mata, kerusuhan 1998.
Ratusan orang telah mati sia-sia di tanah ini, mereka yang hilang pun tak pernah kembali.
Perempuan-perempuan Tionghoa yang di perkosa, gedung-gedung yang di bakar, toko-toko yang di jarah isinya.
Engkau saksi kelam kehidupan bangsa ini. Revolusi, reformasi.
Jakarta oh Jakarta.
Wajahmu tak lagi menyerap cahaya, tubuhmu penuh sayatan luka-luka.
Nyala lampu aneka warna di gedung-gedung hanya hiasan belaka tak mencerminkan dirimu yang sebenarnya.
Taman-taman bunga di tengah kota itu palsu. Mall dan plaza yang megah di bangun kebanyakan telah menipumu.
Dirimu sakit Jakarta, dirimu tersakiti oleh mereka. Tak ada yang benar-benar mengerti keadaanmu.
Jalan-jalanmu penuh lubang, tubuhmu kebanjiran, pohon-pohon yang tumbuh di kepalamu habis di tebang.