Jarum jam di tanganku menunjukan pukul setengah lima sore setengah jam lagi kamu pasti datang menjemputku. Kamu akan berdiri tepat di seberang pintu gerbang pabrik roti tempatku bekerja bersama dengan para penjemput lainnya.Â
Hanya kamulah satu-satunya lelaki yang datang dengan mengendarai sepeda hitam jadul itu dan aku dengan mudahnya mengenali dirimu di antara kerumunan orang di sana. Seperti biasa bila waktu pulang teman-temanku sering mengejek di karenakan sepeda jadul tersebut.
" Hai Ayu suruh dong mas mu itu beli sepeda motor, emangnya ndak bosen apa setiap hari naik sepeda terus " sahut Riri memulai percakapan sore itu.
" Iya tuh, lagian kaya orang susah aja sih, mas mu kan juga kerja, bisa ngeredit motor, cari cicilan yang murah lah ". Een pun menimpali dengan gemas. Â
" Â Awas loh lama-lama bokongmu bisa tepos kalo mbonceng sepeda terus " senda gurau tersebut di tutup dengan perkataan Riri, senyumnya yang manis namun sinis membuatku ingin cepat-cepat pulang saja.
Mereka pun tertawa cekikikan sambil berlalu meninggalkanku dan aku tak pernah sedikit pun menanggapi gurauan mereka. Ku hampiri lelaki kurus berseragam coklat itu yang tengah berdiri tepat di depan pintu gerbang pabrik.Â
Selalu, aku duduk menyamping di jok belakang sepeda hitam tersebut, sebuah tas kulit berwarna coklat ku letakkan di atas kedua pahaku, ku lingkarkan tangan kananku di pinggangnya lalu dengan cekatan suamiku mulai mengayuh pedal sepedanya.Â
Roda mulai berputar dan sepeda berjalan sedang melewati beberapa pedagang kaki lima, angkot-angkot yang ngetem menunggu sewa menambah kemacetan jalan. Dan kamu dengan cekatan bisa menguasai keseimbangan sepeda itu.
Di tengah perjalanan menuju rumah aku pernah mencoba memberanikan diri bertanya kepada suamiku perihal kenapa ia belum mau mempunyai sepeda motor padahal sebelumnya mas Sarno tetangga kami yang kebetulan sales motor menawarkan cicilan yang paling murah serta dp yang terjangkau.Â
Namun ia mengatakan kepadaku bahwasanya " sepeda ini masih layak pakai untuk keperluan sehari-hari dan lantaran sepeda ini lah kita saling kenal hingga menjalin kehidupan rumah tangga".
Ia juga bilang bahwa dengan bersepeda hidup jadi sehat lagian keperluan rumah tangga kita masih banyak belum waktunya untuk menyicil motor, rumah saja masih ngontrak kecuali kalo aku ini bos atau pejabat". Â
Aku terdiam sejenak sambil membayangkan apa yang ada di pikirannya saat itu lalu aku bertanya  " Kalo kamu jadi pejabat, aku ini jadi apa Mas?
Segera ia pun menjawab " Ya kamu jadi istri pejabat toh yu".Â
Kemudian ia tertawa lepas terbahak seakan mentertawai nasibnya sendiri, aku hanya bisa tersenyum sambil tak lepas tangan kananku memeluk erat pinggangnya. Sepanjang perjalanan yang terlewati menuju rumah selalu saja ada bahan cerita untuk di obrolkan dan ia tak pernah mengeluh dengan kenyataan hidupnya. Meski hanya sebagai buruh di sebuah pabrik kertas.
Aku bersyukur mendapatkan lelaki seperti dia, penuh tanggung jawab, jujur serta rendah hati. Aku tak berpikir dua kali ketika ia berniat mengawiniku empat tahun yang lalu. Dia seperti malaikat kurus bagiku meskipun tak mempunyai sayap namun cukup tangguh dan sabar, aku kagum kepadanya dan aku berhutang budi kepadanya.
*****
 " Mas Dwi, bangun mas, kayak ada orang ketuk pintu kita di luar." bisikku membangunkan suamiku yang tengah lelap tertidur.
" Kenapa, ada apa." sahut suamiku.
" Ada orang yang mengetuk pintu rumah kita kayaknya mas " sahutku.
" Jam berapa ini yu."Â
" Jam satu mas."
Tak lama suara itu pun terdengar kembali.
" Coba tengok dulu sana mas." sahutku kembali kepada mas Dwi.
Mas Dwi bergegas keluar kamar sambil membetulkan sarungnya namun tak berapa lama terdengar suara motor seakan-akan terburu-buru pergi meninggalkan rumah kontrakkan kami. Perasaanku berubah tak enak aku pun yang tadinya terbaring langsung bangun dan buru-buru keluar kamar dan ternyata mas Dwi sudah tidak ada.Â
Pintu rumah masih terbuka aku kembali lagi ke kamar mengambil jaket dan berlari keluar mencari mas Dwi hingga ke ujung gang. Cepat sekali motor itu melaju hingga jalan raya pun tak ku lihat jejaknya
Suasana di gang malam itu entah mengapa sepi dan lengang, biasanya ada saja dua atau tiga orang tetangga yang asyik bermain catur di depan warung pak Soleh, apa mungkin karena sudah jam satu lewat. Aku berjalan ke gang sebelah barangkali ada orang di sana yang bisa di tanyakan, ternyata nihil. Aku panik, aku kembali ke rumah lalu menuju kamar meraih hapeku di meja namun bingung entah siapa pula yang akan aku hubungi. Selarut ini.Â
Ya Tuhan siapa mereka, dengan siapa mas Dwi pergi, kenapa tidak pamit dulu kalo memang dia punya urusan penting tapi sudah larut malam begini urusan apa, apa tidak bisa besok pagi. Aku kembali ke kamar dan mencari hapenya mas Dwi, aku perhatikan hape tersebut barangkali ada pesan atau telpon yang masuk namun hingga pagi menjelang tak ada kabar apapun.
Matahari perlahan semakin meninggi, warga di kampung ini pun beraktifitas seperti biasanya hanya aku saja yang nampak bingung sendirian di dalam rumah, di serang rasa mengantuk sebab semalaman tak bisa tidur. Aku hubungi Wiwin sepupunya mas Dwi untuk segera datang ke rumah.
" Gimana sih mbak ceritanya."tanya Wiwin.
" Aku nggak tahu win, kayak mimpi saja semalam itu" aku duduk di kursi sambil terus ku pandangi hapenya mas Dwi.
"Emang nggak bilang mas Dwi mau pergi ke mana." tanya Wiwin kembali
" Kalau dia bilang, aku mana bingung seperti ini win."
" Ya udah, mbak tunggu aja sampai nanti siang, siapa tau mas Dwi pulang, aku berangkat kerja dulu yah, nanti aku kasih tau mas Mul biar bantuin mbak nyariin mas Dwi."
Hingga siang menjelang pun suamiku belum juga pulang dan Mas Mul datang ke rumah menanyakan hal yang sama yang di tanyakan adiknya tadi pagi.Â
" Coba ingat-ingat yu, apa suamimu ada masalah di kerjaan atau ada sesuatu hal yang penting pernah dibicarakan sama kamu, atau maaf loh, kamu lagi berantem sama dia atau." tanya mas Mul beruntun.
" Nggak ada mas, semua baik-baik aja kok, malah sore itu kita habis makan soto ayam langganannya mas Dwi."Â
Mas Mul menyuruhku untuk istirahat dulu, agar aku bisa berpikiran jernih mengingat semua kejadian ini.
" Kamu lapar yu."
" Aku mau tidur aja mas, aku nggak lapar."
Malam pun tiba tak ada tanda-tanda suamiku akan pulang. Sampai ke esokan harinya pun tak kunjung pula datang, semua orang sudah ku tanyakan, teman-teman mas Dwi di kerjaan maupun tetangganya. Tak ada pilihan lain aku harus melaporkan kejadian ini kepada polisi, aku minta di temani mas Mul dan Pak RT ke kantor polisi. Di sana aku ceritakan segalanya, satu orang petugas mengetik surat aduan, laporan ku di terima dan akan segera di proses, mereka bilang mohon bantuannya juga apabila ada info yang lain tentang keberadaanya.
Sudah seminggu lamanya jejak keberadaan suamiku pun belum di temukan, aku tak bisa berdiam diri saja menunggu, aku harus mencari di mana keberadaanya saat ini. Tiba-tiba aku teringat seorang kyai di Bogor dulu dia pernah menolong sahabatku yang di guna-guna barangkali kyai itu bisa membantuku.Â
Apapun resikonya, apapun yang akan terjadi aku harus temukan suamiku, anggap saja ini hutang budi yang mesti aku bayar sebab dulu ia pernah menolongku dan tanpa melihat siapa diriku. Malam ini aku harus tidur cepat besok pagi-pagi aku harus berangkat dengan sepeda hitam itu. Â Aku putuskan kesananya dengan sepeda sebab aku tak tahu bila mesti naik angkutan umum menuju ke rumah kyai itu.Â
Pagi-pagi sekali sebelum jam enam sepeda ku kayuh menuju ke sana berbekal ingatan ku yang masih hapal jalan menuju ke rumah Kyai itu. Dua kali istirahat selama perjalanan akhirnya aku sampai juga di sebuah kampung yang di kelilingi sawah dan kebun jagung. Seingat saya inilah kampung nya, ada masjid dengan kubahnya yang biru dan juga sekolah madrasah. Sekarang hampir jam 12 siang.Â
Seorang anak perempuan berkerudung yang ku temui depan gerbang sekolah menemaniku hingga di depan gerbang rumah bercat putih. Dan aku merasakan sesuatu yang lain, seperti dejavu, seperti ada sesuatu yang memang membawaku ke sini. Seperti semuanya sudah di atur, entahlah. Aku pandangi rumah itu sesaat, aku belum berani masuk ke dalam.
Dan tiba-tiba aku di kagetkan oleh suara berat seorang lelaki.
" Assalamuallaikum."
Astaga orang itu, beberapa detik aku hanya bisa terpana memandang wajahnya hingga ia berkata kembali kepadaku.
" Sedang apa di sini, ada yang bisa di bantu."
" Ehh, aku mencari pak Kyai, ya pak Kyai, dulu aku pernah ke sini mengantar teman yang di guna-guna dan Kyai itu yang menyembuhkannya." sahutku gugup.
" Mari masuk dan istirahatlah sebentar di dalam, saya lihat kamu capek sekali, biar nanti saya suruh orang untuk membawakan makanan dan minuman untuk kamu."
Aku lihat pendopo itu, ya dulu temanku di obati di sana dan tak banyak yang berubah di tempat ini, hanya saja ada kolam kecil di depan pendopo itu yang dulu tidak ada.
Tak lama seorang perempuan separuh baya berkerudung biru membawa makanan dan minuman lalu menaruhnya di pendopo itu.
" Pak Kyainya kemana ya bu." tanyaku kepadanya.
" Sholat neng, oya silahkan di santap makanannya, itu saya taruh di pendopo buat neng." sahut perempuan berkerudung biru itu.
Setelah hampir satu jam menunggu akhirnya pak Kyai itu keluar dari dalam rumah lalu menemuiku di pendopo sambil membawa sebuah botol kecil entah berisi apa.
" Kalo kamu pegal, pakailah minyak ini."Â
" Tidak pak Kyai, saya tidak pegal, saya ke sini mau menanyakan sesuatu yang penting berkenaan dengan suami saya." sahutku.
" Hanya Tuhan dan cinta yang bisa menolongmu, sekarang pulanglah dan lakukan amal ibadah sholat dan puasa di rumahmu, kalo kamu mampu tahajud itu lebih baik lagi.
" Tapi pak Kyai."
" Pulanglah, lakukan apa yang aku perintahkan tadi."Â
" Apakah pak kyai tak mau mendengarkan ceritaku dulu."
" Pulanglah, perbaiki sholatmu, mintalah petunjuk kepada Tuhan dialah yang lebih tahu."
Dengan setengah hati aku pun kembali ke Jakarta, ada perasaan tidak puas dengan yang di perintahkan pak Kyai tadi tapi apakah hanya itu, dengan itu dan suamiku pasti akan di temukan. Kira-kira jam tujuh malam aku kembali sampai di rumah, badanku terasa remuk semuanya sepertinya besok aku tidak akan masuk kerja. Ke esokan harinya badanku kaku semua, aku tak bisa bergerak, aku minta tolong tetanggaku mbak Inah untuk membaluri minyak urut ke seluruh tubuhku.
Hingga dua hari ke depan badanku masih terasa kaku dan di tambah perutku yang sering merasa mual, namun perkataan pak Kyai siang itu tetap aku laksanakan. Teman-teman kerjaku terus memberi semangat dan aku mulai menjalani sholat tahajud berdoa dan meminta agar suamiku cepat pulang.
Hingga suatu malam setelah kurang lebih sebulan aku melakukan tirakat itu, aku bermimpi melihat suamiku, wajahnya putih berseri dan ia terlihat gemuk. Ia tersenyum sambil mengulurkan dua tangannya dan entah dari mana tiba-tiba muncul seorang anak kecil datang menghampirinya dan memberikan sebuah kalung, setelah ku amati kalung itu. Astaga, itu kalung hadiah ulang tahunku dulu dari mas Dwi.
Sebelum mimpi itu selesai, aku sudah terbangun dan malam itu aku mendengar suara ketukan pintu, buru-buru aku bangun dan keluar dari kamar, antara masih bermimpi dan tidak aku mengira itu adalah mas Dwi.Â
Ternyata dua orang bertubuh tegap mengenakan jaket hitam berdiri tepat di depan pintu.
" Selamat malam bu, kami dari pihak kepolisian ingin menanyakan apakah betul ini rumah Bapak Dwi."
" Ya betul pak, saya istrinya, apakah bapak sudah menemukan suami saya ada di mana."
" Sebaiknya ibu ikut kami ke kantor polisi, sementara ini kami ingin lakukan pengeledahan atas rumah ibu."
" Penggeledahan, memangnya kenapa pak, suami saya narkoba, bukan pak nggak mungkin, suami saya kerja di pabrik, suami saya rajin ibadah sering ke masjid."
" Biar kami jelaskan nanti di kantor polisi, ibu tenang saja, kami akan perlakukan ibu dengan baik sesuai dengan protap yang berlaku, sementara biarkan anggota kami menggeledah rumah ibu."
Sekitar delapan sampai sepuluh orang polisi berpakaian hitam lengkap dengan senapan laras panjangnya masuk ke dalam rumah kontrakkan kami, namun hanya satu orang saja yang nampak wajahnya.
Saya melihat ada pak RT dan mas Mul di sana dan juga beberapa warga yang di halangi jaraknya oleh para anggota polisi. Â Saya berteriak memanggil nama mas Mul, ia hanya bilang nanti menyusul dan begitu saya keluar dari gang terlihat beberapa mobil polisi berwarna hitam berjejer parkir bertuliskan densus 88.
Di kantor polisi di ceritakanlah semua kepadaku, aku tak percaya mas Dwi terlibat serangkaian pengeboman yang memang akhir-akhir ini ramai pemberitaanya di TV hingga kemarin ternyata salah satu mayat yang teridentifikasi oleh tim labforensik polri yaitu mayatnya mas Dwi. Â Aku lemas seperti tak mempunyai tulang sempat pingsan beberapa kali di kantor polisi hingga akhirnya tim mereka membawa saya ke rumah sakit terdekat sebab merujuk kondisi tubuh saya yang tiba-tiba menurun.
Saya mendapat pengawalan ketat di rumah sakit, saya masih tidak percaya kenapa mas Dwi tega menghancurkan hidupnya sendiri, menghancurkan keluarganya, menghancurkan cita-citanya dan yang baru saja aku tahu ia telah menyia-nyiakan anak yang tengah ku kandung ini. Tak ada gelagat mencurigakan selama hidup dengannya. Semua normal, semua baik-baik saja, jangankan mau berbuat jahat, bohongpun ia tidak pernah, ia lelaki yang jujur, setia, baik.Â
Ia yang mengangkat derajat saya yang tadinya hanya seorang perempuan klub malam yang bergelimang maksiat, menjadi seorang istri dari suami yang rajin sholat dan ke masjid. Â Ia yang menolong saya ketika itu saat dua orang lelaki memukuli tubuhku di jalan karena menolak ajakannya bersetubuh dan dengan sepeda hitam itu lah saya di bawa ke rumah sakit akibat luka sayatan pisau di lengan saya.Â
Barangkali banyak kesalahan saya selama menjadi istri mas Dwi, saya mohon minta maaf, saya banyak berhutang budi, semoga mas Dwi tenang di sana. Biar si kecil ini saya tanggung hidupnya.
Handy Pranowo
9022021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI