"Kenapa bisa hilang? Bukankah hal itu sangat penting?" tegas hakim.
"Alat bukti saya adalah air mata, kini telah hilang Yang Mulia, apakah Yang Mulia mampu memanen air mata di saat kemarau berkepanjangan?"** ujar pelapor.
Sang hakim pun kini terdiam. Ia pun mengarahkan pandangannya kepada bapak berseragam kepolisian yang ikut hadir di dalam persidangan. Sang hakim berencana untuk menanyakan alat bukti dan juga kelanjutan investigasi dari pencurian yang tidak masuk di akal ini.
"Bapak dari kepolisian, ada yang saya ingin tanyakan, bagaiaman kelanjutan soal barang bukti dan juga pencarian orang yang selama ini katanya masih belum ditemukan" tanya sang hakim kepada pihak kepolisian.
Salah seorang dari pihak kepolisian pun berdiri ia membacakan beberapa lembar kertas yang sedari tadi ia genggam, bentuknya sudah tak lagi rata, kini melingkar layaknya bentuk koran yang digengam pengguna krl setiap pagi.
"Sampai saat ini, ciri-ciri pelaku tak bisa kami cari. Tak ada bekas jejak, tak ada bekas cipratan air, tak ada alat bukti lain, seperti papan selancar atau kantung pencuri ombak yang berbekas di pantai tersebut" ujar polisi tersebut.
"Lalu apakah bukti air mata tak dapat ditemukan?" ujar hakim.
"Siap Yang Mulia, kami telah melakukan segala daya upaya, sayangnya air mata sepertinya telah terbawa ombak, jauh. Kami kesulitan. Bantuan radar dari Lapan*** juga sudah kami gunakan. Sayangnya hasilnya nihil" keluh sang polisi.
Akhirnya sidang pun diskors untuk sementara waktu. Diam-diam, si pelapor mendapatkan simpatik dari para penonton sidang yang kebanyakan adalah wartawan. Beberapa menulis bahwa pencurian ombak adalah tindakan pelanggaran HAM berat. Sebab ombak yang dicintainya, dicuri oleh orang lain.
"Oh, betapa sedihnya, yang dicintainya ditinggalkan"**** gumam salah satu wartawan yang terlihat sibuk mencatat sedari tadi. Â
Setelah skors, sang hakim pun memberikan pernyataan. Pernyataan tersebut adalah perihal bahwa kasus ini tak dapat dilanjutkan. Sebab kurangnya alat bukti dan juga kurangnya saksi.