[caption caption="Peselancar Senja |Sumber foto: tribunnews.com dengan ditambahkan efek senja."][/caption]Suasana di ruangan sidang itu nampak ramai. Di setiap sudut penuh disesaki oleh puluhan orang yang berbondong-bondong berkumpul sejak pagi. Beberapa di antaranya membawa perlengkapan peliputan. Ada kamera, buku catatan, pulpen, tape recorder dll. Ada juga beberapa polisi yang berdiri guna mengamankan jalannya sidang.
"Ini kasus luar biasa aneh, masa melaporkan pencurian terhadap ombak, ada-ada aja."
Begitu salah satu pembicaraan yang terjadi dari keramaian. Mereka masih menunggu para hakim yang sedari pagi belum menunjukan batang hidungnya, nampaknya mereka malas melangkah untuk melanjutkan kasus ini sampai perlu disidangkan.
Republik ini mendadak heboh dengan kasus ini. Si pelapor pun mendadak jadi seleb, wajahnya beredar di acara gosip di setiap stasiun televisi. Banyak yang menyebut bahwa si pelapor gila. Namun untuk menbuktikan asumsi tersebut, tes kejiwaan pun telah dilakukan. Hasil tes membuktikan bahwa si pelapor tak gila.
Sementara itu, para ahli hukum beradu opini. Ada yang pro dengan pelaporan pencurian ini dengan dalih merupakan hak individu seseorang. Namun ada juga yang kontra, mengingat kasus tersebut tak ada dasar hukumnya, bisa-bisa hal ini akan menjadi perseden buruk bagi tata hukum negara. Namun pada akhirnya sidang tetap dilakukan lantaran negara ini merupakan negara yang berlandaskan hukum dan setiap individu berhak melaporkan dan setara di mata hukum. Â Â
Akhirnya, tepat pukul 10.00 para hakim datang. Tak lama kemudian muncul si pelapor, ia berjalan tenang menuju ruang sidang. Si pelapor merupakan orang terakhir yang datang ke ruangan sidang, sebab sampai saat ini, polisi yang diberi tugas mencari pelaku, yakni si pencuri ombak, sampai sekarang polisi tak juga menemukan pelaku.
"Ciri-cirinya, ia selalu hadir ketika senja berpulang dan laut menjadi semakin gelap. Sosok itu hadir di depan mata, namun hanya berupa siluet. Hitam pekat, dan ia mencuri semua, termasuk ombak."
Jawaban ini  si pelapor jawab ketika sang hakim menanyakan bagaimana ciri-ciri si pelaku.
"Anda ini terlalu mengada-ngada, bagaimana mungkin seseorang mencuri ombak, laut itu luas bung, ada bisa dituntut karena membuat laporan palsu" ujar sang hakim.
Wajar sang hakim naik pitam, hampir semua orang yang di dalam ruangan sidang pun dibuat binggung oleh laporan si pelapor. Ia tetap kekeh dengan pendiriannya perihal pencurian ombak yang menurut sang pelapor telah membuat dirinya mengalami rasa sakit dan penderitaan.
"Benar anda telah kehilangan ombak  atau hanya halusinasi anda semata?" ungkap hakim.
"Saya, Yang Mulia, benar saya telah kehilangan ombak. Sudah puluhan pantai saya singgahi, sudah puluhan laut saya jelajahi, namun baru kali ini, saya kehilangan ombak saya. Saya meminta ketegasan hakim untuk bersikap adil terhadap dakwaan yang saya perkarakan" ujar si pelapor.
Sang hakim pun menghembuskan nafas sejenak, dikeluarkan sapu tangan dan ia mulai mengolesi sebagian wajahnya karena berkeringat cukup banyak. Meski ruangan sidang ber-ac, namun tak semata-mata bisa mendinginkan ruangan karena alotnya kasus ini.
"Kasus ini lebih sulit ketimbang kasus koruptor " ungkapnya dalam hati.
Kemudian sang hakim pun kembali melanjutkan sidangnya. "Apakah ada saksi yang melihat tercurinya ombak yang dilaporkan oleh pria ini" ungkap sang hakim sambil menunjuk si pelapor.
Tak lama, salah seorang yang duduk di salah satu sudut menangkat tangan sambil berdiri. "Saya, Yang Mulia," ujar pria yang sehari-hari bekerja menjadi penjaga pantai.
"Apakah anda melihat bagaimana pencurian ombak itu terjadi?" tanya sang hakim.
"Tidak, Yang Mulia, tapi saya orang pertama yang menemukan dirinya berada di bibir pantai tengah duduk sendirian. Saya lantas menghampiri dia karena saya khawatir ia tersapu ombak yang malam itu cukup besar" ujar saksi.
"Lantas, apakah ada dialog yang terjadi di antara kalian berdua?" tanya hakim.
"Iya, dia bercerita kepada saya, persis apa yang ia katakan kepada Yang Mulia, dia kehilangan ombaknya"
"Apakah ada hal lain yang ia bicarakan kepada anda?"
"Ada Yang Mulia, katanya baru kali ini ia berselancar, namun ombak yang biasanya ramah terhadapnya, kini menghilang. Katanya, seseorang telah mencurinya. Sayangnya ia tak mampu melihat secara jelas, hanya siluet hitam, hanya bayangan yang mulia"
"Apakah kondisi si pelapor yang anda kenal ini dalam keadaan mabuk?"
"Tidak Yang Mulia, mulutnya tidak tercium bekas minuman, lagi pula si saudara pelapor tidak berjalan sempoyongan ketika saya ajak untuk menepi ke tempat yang lebih tinggi"
"Satu lagi, apakah anda melihat gerak-gerik mencurigakan dari si pelapor?"
"Tidak Yang Mulia, sore itu pantai sedang sepi, fokus saya hanya ke dia seseorang, tak ada yang mencurigakan"
Sang hakim pun mulai frustasi. Pertanyaan yang diajukan, baik untuk si pelapor maupun saksi, tak ada hasil yang signifikan. Sudah 20 tahun lebih sang hakim bekerja sebagai pengadil, berbagai kasus telah sukses ia sidangkan, mulai dari perceraian hingga pencurian. Semuanya berjalan sukses. Â Namun baru kali ini ia mengalami kebuntuan. Di tengah kegalauannya, ia pun memiliki sebuah ide, bagaimana kalo ia menanyakan apa penyebab si pelapor melaporkan perkara tersebut ke pengadilan.
"Apakah pelapor memiliki alasan lain perihal pelaporan pencurian ombak ini?" tanya hakim
"Saya, Yang Mulia, saya marah yang mulia, setiap peselancar mendambakan ombak yang besar dan bagus, namun saya tak mendapatinya lagi. Saya merasa ini pencurian. Saya tau orangnya, dia siluet hitam, saya bertatapan dengannya" tegas si pelapor yang kekeh dengan pendiriannya
"Apakah saksi melihat ada sosok seperti yang dibicarakan si pelapor," tanya hakim kepada saksi.
"Tidak Yang Mulia, suasana pantai begitu sepi. Hanya dia, orang yang berselancar di sore itu, kebanyakan hanya bermain air di pinggir pantai," ujar saksi.
"Apakah pelapor punya bukti kuat untuk perkara pencurian ini?" tanya hakim kepada pelapor.
"Ada Yang Mulia, tapi kini sudah hilang," ujar pelapor.
"Kenapa bisa hilang? Bukankah hal itu sangat penting?" tegas hakim.
"Alat bukti saya adalah air mata, kini telah hilang Yang Mulia, apakah Yang Mulia mampu memanen air mata di saat kemarau berkepanjangan?"** ujar pelapor.
Sang hakim pun kini terdiam. Ia pun mengarahkan pandangannya kepada bapak berseragam kepolisian yang ikut hadir di dalam persidangan. Sang hakim berencana untuk menanyakan alat bukti dan juga kelanjutan investigasi dari pencurian yang tidak masuk di akal ini.
"Bapak dari kepolisian, ada yang saya ingin tanyakan, bagaiaman kelanjutan soal barang bukti dan juga pencarian orang yang selama ini katanya masih belum ditemukan" tanya sang hakim kepada pihak kepolisian.
Salah seorang dari pihak kepolisian pun berdiri ia membacakan beberapa lembar kertas yang sedari tadi ia genggam, bentuknya sudah tak lagi rata, kini melingkar layaknya bentuk koran yang digengam pengguna krl setiap pagi.
"Sampai saat ini, ciri-ciri pelaku tak bisa kami cari. Tak ada bekas jejak, tak ada bekas cipratan air, tak ada alat bukti lain, seperti papan selancar atau kantung pencuri ombak yang berbekas di pantai tersebut" ujar polisi tersebut.
"Lalu apakah bukti air mata tak dapat ditemukan?" ujar hakim.
"Siap Yang Mulia, kami telah melakukan segala daya upaya, sayangnya air mata sepertinya telah terbawa ombak, jauh. Kami kesulitan. Bantuan radar dari Lapan*** juga sudah kami gunakan. Sayangnya hasilnya nihil" keluh sang polisi.
Akhirnya sidang pun diskors untuk sementara waktu. Diam-diam, si pelapor mendapatkan simpatik dari para penonton sidang yang kebanyakan adalah wartawan. Beberapa menulis bahwa pencurian ombak adalah tindakan pelanggaran HAM berat. Sebab ombak yang dicintainya, dicuri oleh orang lain.
"Oh, betapa sedihnya, yang dicintainya ditinggalkan"**** gumam salah satu wartawan yang terlihat sibuk mencatat sedari tadi. Â
Setelah skors, sang hakim pun memberikan pernyataan. Pernyataan tersebut adalah perihal bahwa kasus ini tak dapat dilanjutkan. Sebab kurangnya alat bukti dan juga kurangnya saksi.
"Kasus ini ditutup. Karena tidak mungkin menghitung nilai rasa sakit dan penderitaan karena tidak bisa menaiki sebuah ombak besar." Ujar sang hakim.
Sidang pun selesai. Semua orang menerima keputusan hakim yang dikenal sebagai orang paling adil di negeri ini. Namun tak semua bergembira. Si pelapor tetap murung. Kini dirinya telah dipenjara oleh luka. Luka yang tak dapat disembuhkan. Sebab kenangan hadir tak sekali dua kali.
Siluet itu selalu datang dan mencuri semua ombak kenangan. Iya, siluet itu adalah seorang gadis, seseorang yang membuat cinta seperti sebuah penjara. ia, dirinya telah divonis terpenjara oleh kenangan yang tak sudah-sudah. Permata hatinya telah dicuri, tetapi siluetnya masih selalu nampak dibenaknya.
Di bilik hati yang manakah, harus ku simpan kesedihan?*****(@handyfernandy)
Â
*= Dari artikel boombastis.com dengan judul "Gugatan Tidak Masuk Akal"
**= dari artikel Kompasiana.com milik Harry Ramdhani dengan judul "Menyurati Kamu Mengabari Rindu"
***= Lapan: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
****= Dari lirik lagu berjudul "Seorang Pelaut" oleh Franky Sahilatua
*****= Dari lirik lagu berjudul "Luka" oleh Franky Sahilatua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H