Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Bantuan Hukum Gratis, Masih Sebatas Basa-basi

12 Agustus 2024   17:07 Diperbarui: 13 Agustus 2024   10:07 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI Bantuan Hukum Gratis di Indonesia | Shutterstock


Kutipan atau quotes "keadilan buat semua" atau "setiap orang setara di hadapan hukum" sudah sangat akrab dan populer di tengah masyarakat. Bahkan pada momen tertentu, misalnya pada masa kampanye pemilihan pemimpin. Kutipan ini akan makin santer terdengar karena disuarakan oleh para calon pemimpin.

Para calon pemimpin merasa perlu menyampaikan kutipan atau quotes demikian dan dianggap sebagai "mantra" yang mangkus menyihir pemilih agar menjatuhkan pilihan untuk memilihnya.

Pilihan kutipan atau quotes demikian secara khusus ditujukan untuk pemilih golongan ekonomi lemah, karena biaya untuk meraih keadilan relatif "mahal".

Padahal keadilan bukanlah hanya untuk mereka yang mampu membayar, tetapi untuk setiap orang, terlepas dari status sosial atau kekayaan mereka.

Sementara Negara sudah seharusnya menjamin hak konstitusi rakyatnya untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Agar hak azasi masyarakat untuk memperoleh keadilan terwujud maka Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum), negara bertanggung jawab memberikan bantuan Hukum terhadap orang miskin.

Bantuan Hukum untuk orang miskin (dibuktikan dengan Surat Keterangan Tidak Mampu -SKTM- dari Lurah/Kepala Desa) tidak akan dibebani biaya alias gratis karena berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU Bantuan Hukum pendanaannya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Jenis bantuan hukum gratis yang dapat dinikmati orang miskin meliputi masalah hukum keperdataan, pidana dan tata Usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi (Pasal 4 ayat (2) UU Badan Hukum).

Yang dimaksud dengan litigasi adalah proses penyelesaian sengketa hukum di pengadilan dengan cara mengajukan tuntutan atau pembelaan yang kemudian diselesaikan melalui proses peradilan. 

Dalam litigasi, pihak-pihak yang bersengketa berperkara dengan menyampaikan bukti-bukti yang dipunyai kepada pengadilan untuk mendapatkan keputusan yang final dan mengikat. Jadi masyarakat miskin Indonesia mendapatkan bantuan hukum gratis untuk maju ke sidang Pengadilan apabila menghadapi masalah hukum.

Sementara bentuk layanan jasa hukum nonlitigasi lebih menekankan pada proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, biasanya melalui negosiasi, mediasi. 

Dalam nonlitigasi, pihak-pihak yang bersengketa berusaha menyelesaikan sengketa mereka tanpa melibatkan pengadilan. Metode pendekatan nonlitigasi seringkali lebih cepat, lebih fleksibel, dan lebih murah biayanya bila dibandingkan dengan litigasi.

Adapun jasa-jasa Perdata baik secara litigasi maupun nonlitigasi yang bisa dilayani, misalnya:

1. Perceraian dan Sengketa Keluarga: 

Bantuan hukum dapat diberikan dalam kasus perceraian, hak asuh anak, pembagian harta bersama, sengketa harta warisan dan masalah keluarga lainnya.

2. Perjanjian Kontrak.

Bisa juga jasa hukum nonlitigasi diberikan berupa mengenali, meninjau, atau menegosiasikan perjanjian kontrak seperti sewa-menyewa, pinjaman, atau jual beli.

3. Sengketa Konsumen. 

Sebagaimana kita ketahui posisi konsumen selalu lemah secara hukum dalam bertransaksi sehingga dibutuhkan jasa hukum dalam kasus sengketa konsumen terkait dengan produk atau layanan yang tidak memenuhi standar atau mengakibatkan kerugian.

4. Permasalahan Tenaga Kerja.

Bagi kaum buruh yang lemah secara ekonomi membutuhkan jasa hukum dalam kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak sah, atau hak-hak tenaga kerja lainnya.

5. Sengketa Tanah.

Biasanya masalah hukum yang cukup dominan terjadi di masyarakat adalah masalah sengketa tanah. Masyarakat miskin bisa mendapatkan bantuan hukum gratis dalam sengketa kepemilikan tanah dan/atau masalah properti yang ada di atasnya.

6. Masalah Utang Piutang.

Tidak sedikit masyarakat miskin yang bermasalah hukum berkaitan dengan hutang piutang, sehingga mereka perlu perlindungan secara hukum.

Sedangkan untuk masalah pidana, masyarakat miskin dapat mendapatkan layanan hukum ketika menjadi tersangka atau terdakwa dalam kasus tindak pidana. 

Demikian juga sebaliknya butuh pendampingan ketika menjadi korban kejahatan atau penyalahgunaan kekuasaaan dari pihak-pihak yang berkuasa.

Berdasarkan Pasal 8 UU Bantuan Hukum pihak yang dapat memberikan bantuan hukum untuk orang miskin harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

Masyarakat miskin yang memerlukan bantuan hukum atau perlindungan hukum bisa mencari bantuan dari beberapa lembaga atau organisasi yang menyediakan layanan tersebut.

Misalnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH). LBH biasanya memberikan bantuan hukum gratis untuk berbagai jenis kasus hukum, termasuk kasus perdata maupun pidana. Masyarakat miskin dapat menghubungi LBH terdekat untuk meminta bantuan.

Permasalahan Pemberian Bantuan Hukum Gratis.

Meskipun bantuan hukum gratis untuk masyarakat miskin merupakan langkah penting dalam memastikan akses keadilan yang merata dan juga telah diatur dalam Undang-Undang di Indonesia terdapat beberapa permasalahan.

Permasalahan utama dan signifikan terasa di masyarakat adalah masalah pendanaan dan informasi. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) UU Bantuan Hukum pendanaannya berasal dari APBN. Sedangkan pendanaan diluar APBN seperti hibah atau sumbangan dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat masih nol alias tidak ada.

Total Anggaran Bantuan Hukum Litigasi dianggarkan sebesar Rp 8 juta untuk setiap perkara sejak dari Pengadilan tingkat pertama, sampai menempuh upaya hukum Peninjauan Kembali, sedangkan total Anggaran Bantuan nonlitigasi sebesar Rp 10.870.000,- (Kompas 5/8/2024 dari Badan Pembinaan Hukum Nasional-BPHN).

Anggaran tersebut ternyata jauh dari memadai, menurut Heri Pramono dari LBH Bandung, ia selalu nombok hingga Rp 20jt untuk satu perkara yang ditanganinya seperti kasus buruh yang dikriminalisasi. Dana Rp 8 juta sudah habis untuk biaya transportasi, termasuk untuk transportasi saksi untuk mendukung pembuktian perkaranya.

Bahkan di LBH Bandar Lampung pengacaranya tidak bisa digaji karena Dana Bantuan Hukum sebesar Rp 80juta/tahun hanya bisa digunakan untuk membiayai operasional kantor. 

Lebih parah lagi menurut pengakuan Vazza Muyassir (28) Pengacara di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan Kemanusiaan Duta Keadilan Indonesia (YLBHK-DKI) klaim Bantuan Hukum ke BPHN adakalanya ditolak karena tidak memenuhi syarat administratif seperti tidak melampirkan SKTM sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang. (Kompas, Senin 5/8/2024).

Padahal secara tegas dan jelas bahwa LBH yang memberikan bantuan Hukum dilarang menerima atau meminta pembayaran dari masyarakat miskin atas jasanya (Pasal 20 UU Bantuan Hukum)

Akibatnya LBH yang menyediakan bantuan hukum gratis seringkali menghadapi keterbatasan sumber daya, baik dari segi keuangan maupun tenaga kerja. Sehingga kadang-kadang bisa dimaklumi kualitas layanan yang dapat diberikan sangat tidak memadai untuk menggapai keadilan.

Cerita-cerita Pengacara Probono (julukan bagi Pengacara gratis pembela orang miskin) yang dibayar dengan hasil kebun berupa singkong, pisang atau sekedar makan lele dari hasil tambak petani merupakan cerita-cerita romantis suka duka pemberian bantuan hukum mereka.

Selain itu, kebijakan dan regulasi terkait bantuan hukum gratis seringkali kompleks dan sulit dipahami, baik oleh penyedia layanan maupun oleh masyarakat yang membutuhkan bantuan.

Berdasarkan catatan data Pusat Informasi Kriminal Nasional Bareskrim Polri selama 2023 terdapat 435.085 perkara, terbanyak pencurian biasa dan penipuan. Berdasarkan jajak pendapat litbang Kompas 22-24 Juli 2024, yakni 6 dari 10 reaponden tidak mengetahui sama sekali adanya bantuan Hukum gratis bagi masyarakat miskin. Adapun 4 lainnya, 3 diantaranya tidak tahu bagaimana cara mengaksesnya.(Kompas, Senin 5/8/2024).

Akibatnya banyak masyarakat miskin yang tidak didampingi oleh Pengacara ketika berhadapan dengan hukum.

Sehingga dapat dikatakan bahwa pelayanan hukum gratis bagi masyarakat miskin belum dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.

Sebagaimana tergambar dari hasil litbang Kompas di atas, masyarakat miskin masih menghadapi keterbatasan akses dan informasi terkait dengan layanan bantuan hukum gratis yang tersedia, sehingga mereka mungkin tidak menyadari atau tidak dapat mengakses bantuan yang seharusnya mereka terima.

Kombinasi dari pendanaan yang minim, ditambah dengan tidak transparannya informasi tentang jasa bantuan hukum gratis bagi masyarakat miskin merupakan dua kendala besar untuk terciptanya keadilan bagi rakyat kecil.

Sehingga walaupun telah dijamin oleh Undang-Undang bahwa masyarakat miskin memperoleh hak azasinya, masih terasa seperti basa-basi untuk sekedar menjawab tanya bahwa bantuan hukum gratis itu ada.

Pemerintah, LSM, dan lembaga terkait perlu bekerja sama untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ini guna meningkatkan efektivitas dan aksesibilitas bantuan hukum gratis bagi masyarakat miskin.

Tugas yang mendesak bagi Pemerintah adalah menyediakan anggaran yang memadai dan mensosialisasikan secara masif bahwa bantuan Hukum gratis bagi masyarakat miskin itu memang ada.

Sementara bagi LBH perlu meningkatkan pelayanan hukum yang belum merata. Berdasarkan data BPHN Kementrian Hukum dan HAM dana bantuan hukum baru menjangkau sejauh 619 Organisasi bantuan hukum yang sudah terverifikasi dan terakreditasi di 279 Kabupaten/kota. Padahal Indonesia memiliki 514 Kabupaten/kota sehingga masih ada 235 Kabupaten/kota yang belum terjangkau bantuan hukum gratis (Kompas, Rabu 7/8/2024).


Tanggung Jawab Advokat.

Sebetulnya tidak terlayaninya dan tidak meratanya masyarakat miskin dengan bantuan hukum gratis bukan semata-mata tanggung jawab LBH semata-mata.

Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) juncto Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma (PP 83/2008), setiap Advokat wajib memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

Pasal 20 UU Bantuan Hukum juncto Pasal 13 PP 83/2008 menyebutkan bahwa;

Advokat dalam memberikan Bantuan Hukum Secara cuma-cuma dilarang menerima atau meminta pemberian dalam bentuk apapun dari Pencari Keadilan.

Apabila melanggar ketentuan ini Advokat diancam dengan hukuman penjara maksimal 1 tahun atau denda maksimal Rp 50 juta (Pasal 21 UU Bantuan Hukum).

Menurut Wakil Ketua Dewan Pengurus Bantuan Hukum (PBH) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Guntur Perdamaian, masih banyak Advokat tidak patuh kepada aturan Undang-Undang. Berdasarkan data yang dimilikinya dari sekitar 60.000 anggota PERADI, baru sekitar 30% yang patuh kepada Undang-Undang untuk menjalani kerja pro bono (Kompas, Rabu 7/8/2024).

Dengan demikian terbukti walaupun UU Advokat memberikan kewajiban bagi advokat untuk memberikan bantuan hukum gratis kepada masyarakat miskin atau tidak mampu secara finansial, namun dalam praktik ini tidak selalu dilaksanakan secara konsisten oleh semua advokat.

Sebaliknya, ada beberapa advokat yang dengan sukarela atau atas inisiatif sendiri memilih untuk memberikan bantuan hukum secara gratis, terutama dalam kasus-kasus yang dianggap penting atau viral.

Adapun alasan mengapa advokat mungkin lebih cenderung memberikan bantuan hukum gratis secara sukarela atau memilih kasus-kasus yang viral bukan karena patuh kepada Undang-Undang atau punya Kepedulian Sosial.

Adapun alasan sebenarnya karena kepentingan pribadi berupa peningkatan reputasi.  

Dengan mengambil kasus-kasus yang viral yang terjadi pada masyarakat tidak mampu dan memberikan bantuan hukum gratis, Advokat tersebut berharap dapat meningkatkan eksposur dan reputasinya di mata publik. Alhasil namanya terangkat ikut populer mengiringi kepopuleran kasus. 

Metode ini oleh anak millenial diberi label perbuatan panjat sosial (pansos). Tujuannya adalah untuk dapat membantu memperluas jaringan klien dan mendapatkan mandat-mandat klien komersial yang lebih menarik di masa depan.

Contohnya kasus yang viral saat ini seperti kasus pembunuhan Vina Cirebon yang terjadi pada tahun 2016 yang lalu.

Banyak Advokat yang bersedia menyediakan diri secara gratis membantu kasus tersebut untuk memperjuangkan dan menemukan keadilan. Sebagaimana kita ketahui bahwa kasus yang terjadi 8 tahun tersebut sangat kontroversial, karena ada dugaan bahwa para terhukum diadili oleh Peradilan Sesat.

Oleh Handra Deddy Hasan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun