Dalam kenyataannya Indonesia tidak menganut single prosecution system secara murni karena terdapat beberapa lembaga penegak hukum lainnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  yang juga memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan dalam kasus-kasus pidana khusus.
Dalam kasus-kasus pidana umum dapat kita katakan bahwa memang Kejaksaan merupakan Lembaga Pemerintahan yang mempunyai hak satu-satunya untuk melakukan penuntutan mewakili negara (Azas single procusecution)
Namun dalam tindak pidana khusus Korupsi Kejaksaan bukan satu-satunya lagi sebagai Lembaga yang mempunyai hak penuntutan karena KPK juga mempunyai hak yang sama.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa Indonesia tidak menganut system single procusecution secara ketat dan murni.
Hal demikian diatur dalam Undang-Undang yang berlaku di Indonesia secara jelas.
Di dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) disebutkan Kejaksaan adalah Lembaga Pemerintahan yang mempunyai kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan.
Kemudian dalam Pasal 3, Pasal 6 ayat e, Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), KPK sebagai Lembaga Negara dalam rumpun eksekutif yang independen mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana Korupsi.
Jadi untuk tindak pidana umum Kejaksaan memang merupakan satu-satu otoritas yang mempunyai hak untuk menuntut mewakili negara, sedangkan khusus untuk tindak pidana Korupsi, Kejaksaan tidak sendiri lagi karena ada Lembaga Negara lain (KPK) yang berhak juga menuntut mewakili negara.
Khusus untuk kasus dugaan Korupsi Gazalba, Jaksa KPK memang senyatanya tidak mempunyai Surat Delegasi dari Jaksa Agung (Kejaksaan) untuk menuntut karena hanya mempunyai Surat Tugas dari instansi asalnya.
Namun demikian bukan berarti Jaksa KPK tidak mempunyai hak menuntut Gazalba atas tuduhan gratifikasi dan Pencucian Uang Senilai Rp 62,8 miliar karena memang penugasan penuntutannya bukan berasal dari Kejaksaan.
Berdasarkan Pasal 51 ayat 1 UU KPK, setiap Jaksa Penuntut Umum KPK diangkat dan diberhentikan oleh KPK.
Hal ini berarti untuk menuntut Gazalba dalam kasus Korupsi di Pengadilan Tipikor, Jaksa KPK mempunyai kewenangan menuntut berdasarkan delegasi langsung dari KPK, bukan dari Jaksa Agung.
Jaksa KPK tidak akan pernah mendapat delegasi untuk menuntut perkara Korupsi  yang ditanganinya dari Jaksa Agung (Kejaksaan).