Oleh Handra Deddy Hasan
Bagi pengguna kendaraan pribadi dalam berkegiatan sehari-hari, baik menggunakan mobil atau kendaraan roda dua motor, memarkir kendaraannya merupakan suatu keniscayaan.
Para karyawan yang menggunakan kendaraan pribadinya ke kantor dapat dipastikan akan memarkir kendaraannya ketika sedang bekerja di kantor.
Begitu juga ibu-ibu rumah tangga yang pergi berbelanja ke pasar, mini market, super market, akan memarkir kendaraannya ketika sedang memilih belanjaan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Tidak luput juga ketika keluarga pergi berwisata, setibanya di tempat wisata untuk menikmati pemandangan pantai yang indah atau menikmati udara segar pegunungan, posisi kendaraan yang digunakan sudah dipastikan dalam keadaan diparkir.
Dalam keadaan normal, masalah parkir terasa mudah, namun kadang-kadang dalam keadaan tertentu masalah memarkir kendaraan merupakan masalah besar dan pelik.
Daerah Jalan Sabang merupakan salah satu tempat kuliner yang favorite di Jakarta.
Lokasi jalan tersebut berdekatan dengan daerah perkantoran, seperti Jalan Thamrin-Sudirman yang membuat jalan Sabang menjadi tempat makan siang yang mudah dijangkau, dan selalu ramai ketika jam makan siang pada hari kantor. Sehingga kalau mau menikmati kuliner di Jalan Sabang yang terkenal dengan Sate Kambing, Rumah Makan Minang Natrabu atau makanan enak lainnya jangan coba-coba datang pada jam makan siang pada waktu weekday, menggunakan mobil pribadi. Bisa-bisa akan frustrasi dan kehilangan selira makan akhirnya, waktu terbuang menahan lapar dengan hanya berputar-putar, karena saking susahnya mencari parkir. Sekali dapat parkir, jangan terlalu gembira karena di daerah Jalan Sabang, pada tempat-tempat tertentu terdapat aturan dilarang memarkir kendaraan.
Salah satu tip yang perlu dipedomani adalah jangan terlalu percaya dengan juru parkir (jukir) yang menginfokan bahwa aman parkir, walaupun ada Rambu larangan parkir.Â
Bagi jukir ilegal tersebut yang penting menerima uang parkir yang akan diminta dengan cara dipungut di depan, soal keamanannya mereka tidak bertanggung jawab.
Dalam hal ini kita harus memperhatikan rambu-rambu dengan benar. Inilah saat pengetahuan rambu-rambu lalu lintas diuji keandalannya.
Apabila di daerah tersebut ada plang huruf P besar dengan lingkaran merah yang berarti dilarang parkir, maka jangan coba-coba tetap nekad parkir di sana. Kecuali sudah mempersiapkan diri dengan risiko mobil akan diderek oleh petugas.
Risiko mobil diderek sangat tidak nyaman, selain mobil diangkut oleh petugas ke poolnya, pengemudi juga akan didenda senilai Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), padahal menurut regulasi hanya denda Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat 4 huruf d atau tata cara berhenti dan Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf e dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00 (Dua ratus Lima puluh ribu rupiah).
Dan, Pasal 106 ayat 1 huruf e UU LLAJ:
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan berhenti dan parkir.
Kasus-kasus mobil diderek di lokasi-lokasi tertentu di Jakarta sering mencuat ke permukaan dan viral di media sosial dan media mainstream tersaji dihadapan publik.
Dalam beberapa kasus, pemilik kendaraan yang justru malah marah-marah dan lebih galak dibandingkan petugas di lapangan dan tidak sedikit pemilik mobil mengancam petugas dengan menyatakan bahwa mempunyai kenalan orang penting (berpengaruh).
Biasanya petugas bergeming dan tetap melakukan tugasnya dengan mengangkut kendaraan dengan mobil Derek atau menggembok roda kendaraan agar tidak bisa digunakan.
Pemilik mobil melakukan perlawanan karena sudah dapat membayangkan bagaimana repotnya mengurus administasinya, menghabiskan waktu percuma dan kena denda tilang lagi.
Kalau tidak mau didenda, maka alternatifnya lebih parah yaitu dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) bulan.
Praktik susah mencari parkir di Jakarta sudah sangat lumrah di lokasi-lokasi tertentu karena banyak kendaraan yang beredar sementara lahan parkir yang tersedia tidak memadai.
Mencari tempat parkir pada waktu mau dekat Lebaran di Tanah Abang Jakarta, misalnya, ibarat mencari jarum ditumpukan jerami, untuk menggambarkan betapa sulitnya.
Biasanya lokasi tempat penjualan pakaian yang konon terbesar di Asia Tenggara dan didominasi oleh suku Minang tersebut pada waktu menjelang lebaran penuh sesak dengan pengunjung.
Teriakan-teriakan pedagang kaki lima berdarah Minang berjualan yang ironisnya kadang-kadang menempati tempat parkir menggema dengan kencang.
Bunyi teriakan promosi yang keras dan kadang-kadang dibumbui rasa humor seperti "Lengan pendek Rp 100.000,00 (seratus ribu), tangan panjang pancilok" akrab di telinga pengunjung.
Seandainya dapat pun parkir ketika ingin berbelanja di Tanah Abang, ada potensi hal yang tidak mengenakkan akan muncul bagi pemilik kendaraan.
Jukirnya yang sangar biasanya menuntut dan mengancam melakukan pembayaran parkir yang muaahal sekale.
Sekali parkir kita bisa diperas senilai Rp 100.000,00 padahal parkir normal mobil biasanya paling mahal berkisar antara Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) dan Rp 10.000.00 (sepuluh ribu rupiah).
Kalau tidak salah sesuai dengan ketentuan Pemerintah Jakarta parkir secara resmi untuk 1 jam pertama pemilik mobil akan dikenakan biaya parkir sejumlah Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) dan akan diakumulasi Senilai Rp 3.000,00 (tiga ribu) untuk jam-jam berikutnya.
Modus pembayaran parkir dengan cara memeras tidak hanya terjadi di Jakarta dan kota-kota satellite sekitanya (Bogor, Depok, Bekasi dan Tenggerang), tetapi juga terjadi di daerah lainnya.
Kota Bukittinggi yang terkenal sebagai destinasi wisata urang awak, merupakan salah satu lokasi praktik pembayaran parkir yang mahal.
Hal tersebut terjadi biasanya pada waktu-waktu libur panjang seperti Lebaran. Ketika orang minang pulang kampung (mudik), pulang basamo, pulang rirayo dan berwisata ke Bukittinggi akan mendapat derita diperas tukang parkir dengan biaya selangit.
Alasan tukang parkirnya adalah panen sekali setahun dan merupakan Tunjangan Hari Raya (THR) dari perantau-perantau yang sukses.
Membayar parkir memang selayaknya merupakan kewajiban bagi pemilik kendaraan ketika memarkir kendaraannya. Namun membayar biaya parkir yang tidak masuk akal mahalnya, akan membikin darah mendidih saking dongkolnya.
Perasaan merasa diperas dan diperlakukan seenaknya secara tidak adil akan membuat pemilik kendaraan akan memberontak dan melawan.
Tidak jarang dalam kejadian begini terjadi baku hantam karena masing-masing pihak sudah emosi.
Masalah parkir, bukanlah masalah sederhana, apalagi berkaitan dengan juru parkir liar yang suka memeras pengemudi kendaraan yang parkir.
Dinas Perhubungan dan Satpol DKI Jakarta berencana menindak juru parkir liar di mini market. Pemilik kendaraan yang merupakan konsumen mini market seyogianya tidak perlu membayar parkir. Sesuai ketentuan parkir di mini market gratis, tidak bayar.Â
Untuk menegaskan hal tersebut beberapa mini market menuliskan dengan huruf besar di pintu mini marketnya FREE PARKING atau PARKIR GRATIS. Dalam kenyataannya pengunjung tetap diminta dan dikutip untuk membayar sewa parkir oleh jukir liar.
Menurut Dinas Perhubungan DKI warga bisa melaporkan jika ada unsur pemaksaan dan jukirnya bisa dipidanakan (Kompas, Sabtu 4 Mei 2024).
Kadang-kadang memang keterlaluan, ketika warga hanya berbelanja seadanya, misal membeli sebotol air mineral ukuran sedang yang harganya tidak sampai Rp 5.000,00 (Lima ribu rupiah), tapi ditagih juru parkir senilai RP 5.000,00 (Lima ribu rupiah).
Keperluan masyarakat ke mini market juga bukan hanya semata-mata untuk berbelanja, sekarang ini keperluan pergi ke mini market sangat beragam niatnya. Bisa hanya untuk ke anjungan ATM melakukan kegiatan finansial, transfer uang, melakukan pembayaran atau penarikan tunai.Â
Kegiatan demikian kadang-kadang urung dilakukan karena mesin ATM rusak, uang habis, dan lain-lain, namun juru parkir tidak mau tahu dan tetap menagih biaya parkir.
Rumit dan Kompleksnya Masalah Parkir
Masalah parkir, bukanlah masalah mudah karena berakar dari Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang tidak berpendidikan, masalah pengangguran, dan regulasi yang tidak jelas.
Secara ekonomis, potensi penerimaan dari parkir sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Jakarta cukup besar mengingat tingginya aktivitas dan jumlah kendaraan bermotor di ibu kota.
Namun, potensi ini juga rentan terhadap penyalahgunaan dan praktik korupsi terkait dengan pengelolaan parkir.
Pada waktu Joko Widodo dan wakilnya Basuki Cahaya Purnama (Ahok) sebagai Gubernur Jakarta sempat menata perpakiran dengan cara modern dengan menggunakan mesin tera dan bayar Parkir di jalanan, sehingga lebih efektif dan efisien untuk mengurangi kebocoran.Â
Namun sayangnya program tersebut tidak berlanjut karena ada pergantian gubernur. Sekarang mesin-mesin tera tersebut masih ada, namun hanya berfungsi sebagai pajangan belaka.
Agar bisa meningkatkan penerimaan PAD dari parkir, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang perlu melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, dan pengawasan dalam pengelolaan parkir.
Penertiban parkir liar dan optimalisasi penggunaan tempat parkir resmi akan menjadi salah satu langkah penting untuk meningkatkan pendapatan dari sektor parkir.
Sebagaimana kita ketahui masalah parkir liar di Jakarta sudah merupakan masalah kronis yang sudah berakar kuat. Pada umumnya dikuasai oleh preman-preman yang berlindung di balik Organisasi Kemasyarakatan.
Sebut saja beberapa contoh lokasi parkir yang dikelola oleh organisasi kemasyarakatan di Jakarta.
Di daerah Blok M Jakarta, terdapat tiga kelompok yang mengelola parkir secara terselubung.
Pemuda Pancasila, Kelompok Arek dari Jawa Timur, dan Kelompok Serang menguasai area parkir di sekitar wilayah Blok M Jakarta.
Mereka mengatur parkir dan menarik pungutan kepada pengguna parkir serta jukir yang beroperasi di area tersebut.
Di kawasan CNI Puri Kembangan, Kembangan Selatan, Jakarta Barat, terdapat parkir liar dan pedagang kaki lima (PKL) yang dikelola oleh salah satu organisasi kemasyarakatan.Â
Para pedagang dan pengguna parkir di kawasan ini membayar kepada organisasi kemasyarakatan tersebut.
Contoh lain di Pasar Ciplak Jatinegara, Jakarta Timur, terdapat parkir kendaraan dan pedagang kaki lima (PKL) liar di lahan hijau yang belum ditertibkan.Â
Pengelola Area 07 Perumda Pasar Jaya mengakui belum menertibkan parkir dan PKL liar di Pasar Ciplak karena menghindari konflik dan masalah baru. Sikap Pemerintah seperti ini merupakan representasi dari sikap Pemerintah pada umumnya. Sikap yang tidak berani menyentuh dan akan tetap membiarkan parkir liar, sejauh tidak bikin ribut, rusuh.
Tidak jarang organisasi kemasyarakatan di Jakarta bikin ribut dan rusuh di mana mereka saling bentrok dalam upaya memperebutkan dan menguasai lahan parkir di suatu lokasi.
Dalam bentrokan tersebut dipastikan akan ada saja korban meninggal, luka berat karena mereka berperang memperebutkan lahan parkir menggunakan senjata tajam berupa golok, kelewang, pisau, celurit dan lain-lain.
Kejadian tersebut memperlihatkan betapa pentingnya bagi suatu organisasi kemasyarakatan lahan parkir karena bisa menghidupi anggota dan keluarganya untuk bertahan hidup di Jakarta. Bagi mereka masalah lahan parkir adalah masalah hidup dan mati.
Sementara pihak Pemerintah berusaha untuk menertibkan dengan anjuran bagi warga untuk melaporkan adanya pemerasan karena adanya parkir liar.
Dasar hukumnya sangat kuat karena berasal dari Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2012 dan Pasal 368 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Anjuran Pemerintah DKI kepada warga untuk melaporkan pidana pemerasan atas pembayaran parkir tidak akan terlaksana dengan efektif.
Mengadu masyarakat secara head to head dengan jukir liar berkaitan dengan masalah pembayaran parkir tentunya tidak seimbang.
Sudah dapat dipastikan warga repot dan takut untuk melaporkan adanya pemerasan dari jukir liar. Seharusnya Pemerintah melindungi warga dari segala bentuk intimidasi, bukan mengadu warga dengan jukir liar dengan melaporkan pidana pemerasan.
Bagi warga lebih baik bayar saja, daripada berurusan dengan ancaman dan intimidasi jukir liar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H