BTP yang diperbolehkan adalah sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Bahan Tambahan Pangan.
Penggunaan BTP harus ada regulasinya karena akan berdampak secara langsung kepada kesehatan masyarakat.
BTP yang tidak dibolehkan kemungkinan merupakan BTP yang bukan untuk pangan sehingga menjadi racun bagi konsumen ketika meminumnya.
Biasanya BTP yang dicampur kan kedalam minuman adalah pemanis, penguat rasa, peretensi warna, perisa ada juga kemungkinan menggunakan pengawet.
Tujuan mencampurkan BTP agar minuman kelihatan menarik dari sisi warna dan enak serta mendekati rasa asli, namun racikan bisa dibuat dengan harga murah dibandingkan menggunakan buah atau bahan asli.
Bukan maksud Penulis untuk kepo kepada bisnis rumahan Usaha Menengah Kecil dan Menengah (UMKM), namun hal ini sangat berkaitan erat dengan hak Konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UU Konsumen).
Sebagaimana diatur pada pasal 4 UU Konsumen, konsumen memiliki hak antara lain kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi produk minuman.
Sehubungan dengan fenomena penjualan minuman dingin dipinggir jalan siapa yang menjamin bahwa minuman tersebut menggunakan BTP yang diizinkan dan aman diminum oleh masyarakat.
Kalau kita berharap kepada Badan Pengawas Obat Dan Makanan (BPOM) untuk mengawasinya, nampaknya muskil karena biasanya seperti yang kita lihat BPOM hanya melakukan operasi pada saat-saat tertentu.
BPOM hadir hanya pada hari raya seperti Idul Fitri, Natal. Itupun sasarannya adalah Super Market yang menjual barang expired atau ke pasar -pasar tradisional mencari BTP pewarna dan pengawet yang tidak diperbolehkan.
Belum pernah BPOM atau Dinas Kesehatan mengakses para penjual minuman dingin pinggir jalan, padahal praktik penjualan ini semakin marak terjadi.