Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Murahnya Harga Nyawa Manusia Indonesia di Jalan Raya

23 Agustus 2023   22:50 Diperbarui: 24 Agustus 2023   06:17 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar Photo dan ilustrasi Merdeka.com

Tegakah Tetap Membiarkan Nyawa Melayang Di Jalanan

Oleh Handra Deddy Hasan

Selasa pagi (22/8/2023) pukul 07.00 WIB terjadi lagi insiden kecelakaan lalu lintas yang melibatkan truk bermuatan batu bata dengan tujuh pengendara sepeda motor terjadi di Jalan Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Penyebab kecelakaan ditengarai lantaran pesepeda motor nekat melawan arah melanggar ketentuan berlalu-lintas di jalan raya.

Akibatnya, tujuh orang pengendara motor terluka dan beberapa orang terluka cukup parah dan harus mendapatkan penanganan medis serta dirawat di beberapa Rumah Sakit (RS) (RS Umum Aulia, RS Andhika, RS Zahirah). - Kompas, Rabu 23/8/2023.

Tidak jarang kejadian kecelakaan lalu lintas seperti narasi di atas membuat yang terlibat kehilangan nyawa (meninggal).

Konon kabarnya angka kematian karena kecelakaan lalu lintas lebih tinggi dari pada angka kematian bencana alam di Indonesia.

Artinya, manusia Indonesia lebih banyak dengan sengaja menyia-nyiakan nyawanya di jalanan, dibandingkan korban bencana alam yang tidak terduga.

Apakah ini pertanda masyarakat Indonesia depresi, sehingga ada keinginan bawah sadar ingin bunuh diri dengan cara melanggar aturan lalu lintas?

Faktor yang dominan penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas adalah karena tidak patuh dan disiplinnya pengguna jalan terhadap aturan yang ada.

Beberapa Aturan Yang Suka Dilanggar Dan Berpotensi Merenggut Nyawa

Dengan memperhatikan kondisi berlalu-lintas di Indonesia, khusus apa yang terjadi di kota-kota besar di seluruh Indonesia membuat kita menjadi miris.

Penghargaan atas nyawa manusia boleh dibilang sangat rendah, banyak pengguna jalan yang nekat melanggar ketentuan, tanpa memperhitungkan akan kehilangan nyawa.

Sebagai contoh pelanggaran atas rambu-rambu lalu lintas seperti pelanggaran atas kepatuhan mengikuti lampu traffic lights  terjadi dimana-mana di jalan raya di Indonesia.

Padahal potensi resiko kecelakaan fatal yang merenggut nyawa sangat bisa terjadi ketika pelanggaran atas rambu traffic lights dilakukan.

Begitu juga seperti kejadian yang diungkap dalam awal tulisan, pelanggaran dimana pengemudi sepeda motor yang melawan arus sudah merupakan kejadian yang sangat biasa terjadi sehari-hari.

Tujuan pengemudi sepeda motor melawan arus biasanya hanya sekedar mencari jalan pintas (shot cut) menghindari macet atau mencari jarak yang lebih dekat agar relatif cepat sampai di tujuan.

Bisa dibayangkan betapa sederhananya alasan untuk melanggar ketentuan rambu lalu- lintas dibandingkan besarnya kemungkinan resiko yang akan terjadi.

Kemudian pengemudi sangat tidak peduli dengan rambu batas kecepatan, padahal tujuan dibuatnya aturan batas kecepatan adalah demi keselamatan pengemudi di jalan raya. Pelanggaran batas kecepatan, apalagi di jalan tol, sering berakhir fatal dan merenggut nyawa dengan sia-sia.

Sering juga kita lihat terjadi di masyarakat ketika kendaraan mogok baik mobil dan lebih sering motor, didorong atau ditarik seadanya.

Biasanya ditarik pakai tali atau malah ditempel pakai kaki pengemudi motor yang mendorongnya. Tindakan menarik atau menempelkan kendaraan yang mogok seperti itu, jelas-jelas tanpa memperhatikan resiko keamanan sama sekali dan tidak sesuai dengan aturan.

Khusus di Jakarta, banyak pengemudi dengan berani menerobos jalur Bus TransJakarta. Padahal jalur TransJakarta seharusnya steril dari pengguna kendaraan pribadi dan kendaraan umum yang tidak berhak serta sudah dipasang palang. Namun banyak yang memaksa tetap masuk jalur, sehingga kadang-kadang celaka karena menabrak palang atau tabrakan dengan bus TransJakarta.

Padahal berdasarkan Pasal 106 ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) menyatakan dengan tegas bahwa setiap pengemudi dilarang melakukan hal-hal tersebut.

Untuk mendukung larangan mengabaikan rambu-rambu lalu lintas berdasarkan Pasal 287 ayat 1 UU LLAJ setiap pengemudi yang tidak patuh akan dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah).

Mengapa Orang Melanggar Ketentuan Berlalu-lintas Di Jalan Raya.

Kelakuan masyarakat Indonesia berlalu-lintas sudah sampai level sangat parah, tidak disiplin dan cenderung menabrak segala aturan.

Cara masyarakat Indonesia mematuhi aturan berlalu-lintas di jalan raya jangan dibandingkan dengan masyarakat maju Jepang misalnya.

Dengan tetangga dekat Indonesia seperti negara Singapur, kita juga tertinggal jauh dalam hal pelaksanaan praktik kepatuhan terhadap aturan lalu-lintas sehari-hari.

Mengapa hal itu bisa terjadi?

Jawaban sederhananya adalah kurangnya kesadaran hukum masyarakat Indonesia mematuhi aturan berlalu-lintas.


Kurangnya kesadaran hukum dalam berlalu lintas di Indonesia dapat diduga disebabkan oleh beberapa faktor.

Salah satunya adalah pendidikan dan informasi yang belum merata mengenai aturan lalu lintas serta tidak memahami dampak pelanggaran yang dilakukan.

Kualitas ketrampilan dan pengetahuan masyarakat  pemegang SIM tentang aturan berlalu-lintas tidak memadai untuk mengendarai kendaraan dijalanan.

Hal tersebut dimulai dan terdeteksi dari sistim ujian pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang masih amburadul dalam pelaksanaannya.

Pelaksanaan praktiknya di lapangan untuk pembuatan SIM dalam beberapa kasus ditempat tertentu masih bisa menggunakan jasa calo, walaupun sudah dilarang.

Berbagai upaya telah dilakukan Polisi Republik Indonesia (Polri) untuk menghilangkan percaloan dalam pembuatan SIM, misalnya dengan membuat pengumuman serta slogan dengan tulisan besar-besar anti calo di semua lokasi kantor Polisi tempat pembuatan SIM.

Kadang-kadang Polri juga mengadakan inspeksi mendadak (sidak) untuk memberikan efek kejut agar dapat menemukan praktik percaloan sekaligus menangkap pelaku untuk diproses secara hukum

Namun semua upaya tersebut belum memadai hasilnya dan hanya efektif sementara. Untuk beberapa saat memang tempat pembuatan SIM steril dari calo, tapi lama kelamaan, praktik percaloan SIM muncul lagi belakangan.

Ketika ada masyarakat yang mengikuti ujian pembuatan sendiri secara langsung dan kemudian hasilnya tidak lulus dan harus mengulang lagi untuk ujian dalam rentang waktu yang telah ditentukan. Kadang-kadang hal ini membikin masyarakat frustasi karena melelahkan menghabiskan tenaga dan waktu. Maka untuk kasus seperti ini alternatif menggunakan calo untuk mengurus ujian SIM menjadi pilihan menarik.

Karena kalau ujian SIM melalui calo, segala bentuk ujian yang harus ditempuh peserta mudah dilalui, pelaksanaan ujian hanya sekedar formalitas dan dijamin lulus.

Akhirnya masyarakat cenderung menggunakan jasa calo, dibandingkan capek-capek mempersiapkan diri untuk ujian sendiri secara langsung.

Sehingga mengakibatkan kualitas ketrampilan mengemudi dan pengetahuan aturan berlalu-lintas pemegang SIM menjadi tidak memadai.

Di negara-negara yang tingkat kecelakaannya rendah, membuat SIM sangat sulit karena melalui seleksi yang serius dan ketat atas pengetahuan berlalu lintas serta ketrampilan berkendara yang mumpuni.

Selain itu, kurangnya penegakan hukum yang konsisten dan tegas terhadap pelanggaran lalu lintas juga dapat menyebabkan persepsi bahwa pelanggaran tidak akan mendapatkan sanksi serius.

Pengemudi yang melanggar aturan lalu lintas tidak takut akan sanksi UU LLAJ, selain daripada hukumannya yang ringan berupa denda tilang beberapa ratus ribu rupiah, juga masih bisa diselesaikan secara damai dengan petugas di lapangan.

Penyelesaian damai dengan petugas adalah bahasa halus untuk praktik suap.

Penyelesaian pelanggaran lalu-lintas dengan cara damai mengajarkan masyarakat untuk menganggap enteng aturan berlalu-lintas, sehingga tidak kawatir dengan sanksinya.

Sebagai perbandingan dengan aturan lalu lintas di negara maju selain daripada petugasnya anti suap, juga sanksinya cukup berat.

Di negara-negara tertentu seperti Australia atau Jepang, setiap pengemudi yang melanggar aturan lalu lintas akan dicatat oleh petugas secara resmi.

Apabila pengemudi berlanjut melakukan pelanggaran beberapa kali (ada batasnya), maka driving licensenya (SIM) akan dicabut.

Untuk bisa mendapatkan driving license (SIM) lagi setelah dicabut tidak mudah karena harus memenuhi banyak syarat, bahkan ada kemungkinan tidak akan bisa mempunyai SIM seumur hidup.

Selain itu ada beberapa budaya Indonesia yang mungkin berperanan membuat pandangan yang lebih longgar terhadap aturan lalu lintas.

Misalnya budaya santai, tidak menghargai waktu.

Ketika merencanakan perjalanan tidak disiplin memperhatikan waktu karena terlalu santai, misalnya ketika merencanakan perjalanan berangkat kerja pagi, tapi bangunnya kesiangan.

Akibatnya berangkat ke tempat tujuan menjadi tergesa-gesa untuk memenuhi tenggat waktu yang sudah mepet. Kondisi mepet ini bisa memicu untuk melakukan pelanggaran aturan lalu lintas untuk bisa mengejar ketertinggalan waktu.

Kondisi pelanggaran lalu-lintas saat ini di kota-kota besar di Indonesia sudah semakin runyam, karena pelanggaran bukan hanya sekedar berupa pemandangan sehari-hari yang sudah menjadi rutin, tapi kejadiannya semakin masif.

Walaupun Polisi dalam melakukan penegakan hukum UU Lalu Lintas menurunkan tim gabungan yang relatif besar, tetap saja tidak bisa menangkap atau menilang seluruh para pengemudi yang melanggar lalu lintas.

Pelanggaran sudah terlalu masif, sehingga personil petugas Polisi yang dilapangan sudah tidak memadai lagi (kalah jumlah) karena terlalu banyaknya pengemudi yang melanggar aturan.
Ada saja dari pelanggar aturan lalu-lintas yang bisa lolos dari razia.

Nampaknya untuk mengatasi masalah kesadaran masyarakat Indonesia agar patuh kepada aturan berlalu-lintas dibutuhkan upaya ekstra yang luar biasa dari seluruh pemangku kepentingan (stake holder), Polri tidak akan sanggup bekerja sendirian untuk mengatasi masalah yang sudah terlanjur besar dan kompleks.

Terlepas dari segala faktor yang diduga membuat masyarakat Indonesia doyan melanggar aturan lalu-lintas, setidaknya masyarakat harus menyadari sendiri bahwa nyawa tidak bisa diganti dan sangat murah jika dihargai dengan segala imbalan dan alasan apapun.

Semoga harapan Pemimpin Indonesia yang bermimpi menjadikan Indonesia sebagai negara maju keempat di dunia, dibarengi secara paralel dengan kesadaran berlalu-lintasnya semakin patuh dan berkualitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun