Apakah Ada Orang Kuat Dibalik Korupsi BTS, Sehingga Johnny G Plate Mengajukan Diri Sebagai JC?
oleh Handra Deddy Hasan.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) nonaktif Johnny G. Plate menyatakan siap menjadi justice collaborator (JC) dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Tahun 2020-2022 (Korupsi BTS) (Liputan6.com, 14/6/2023).
Menanggapi hal tersebut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, usulan Johnny G Plate jadi saksi pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator) dalam dugaan kasus korupsi BTS merupakan ranah Kejaksaan Agung (Kompas, Rabu 14 Juni 2023).
Justice collaborator (JC) merupakan seseorang yang juga berperan sebagai pelaku tindak pidana, tetapi yang bersangkutan bersedia untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksian mengenai berbagai bentuk tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan terorganisir maupun kejahatan serius.
JC atau saksi pelaku yang bekerja sama berperan penting dalam membongkar sejumlah tindak pidana besar. Di Indonesia, status JC membuat terdakwa mendapatkan penghargaan, termasuk berupa keringanan hukuman.
Apakah Johnny G Plate sadar bahwa dengan pernyataannya bersedia menjadi JC, berarti dia sekaligus mengakui baik sebagian maupun secara keseluruhan tindak pidana korupsi yang dituduhkan padanya?
Jadi dengan menjadi JC selain kemungkinan mendapatkan keringanan hukuman, juga mempunyai konsekwensi mengakui dan mengamini tuduhan-tuduhan penyidik kepada pihak JC.
Dengan kesediaannya menjadi  JC atau "pengungkap kejahatan" berarti secara sukarela bersedia memberikan informasi secara jujur atau kerja sama kepada pihak penegak hukum mengenai tindak pidana yang dilakukannya atau yang dilakukan oleh orang lain.
Tujuan dari menjadi JC adalah untuk membantu pihak berwenang dalam menyelidiki, mengungkap, atau mengadili kejahatan yang terjadi. Sehingga pekerjaan penyidik lebih mudah untuk membuktikan kejahatan tindak korupsi BTS yang sedang diselidiki.
Sebagaimana kita ketahui kejahatan korupsi adalalah salah satu kejahatan kerah putih (White Collar Crime)Â yang direncanakan bersama-sama dengan sistematis dan tertutup.
Biasanya para pelaku adalah orang-orang terpelajar dan saling melindungi. Adanya JC akan sangat membantu penyidik mengungkap kasus lebih transparan dan tuntas sampai ke akar-akarnya.
Keadilan dan Kesetaraan:
Hal lain yang menjadi motivasi seseorang menjadi JC adalah masalah memperjuangkan keadilan dan kesataraan.
Apakah dengan mulai terkuaknya kasus korupsi BTS di Kemenkominfo sebetulnya merupakan korupsi dimana actor intellectual nya yang levelnya diatas Johnny yang nota bene seorang Menteri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ada orang kuat selain Johnny yang justru merupakan pelaku utama.
Kalau levelnya di atas Menteri yang bisa memerintah Menteri dan Menteripun patuh, siapakah orang kuat yang akan diungkap oleh Johnny kepada penyidik ?
Melalui skenario motif kesetaraan dan keadilan ini, seharusnya Johnny merasa dia hanyalah merupakan pion yang dikorbankan.
Dengan pengajuannya dirinya sebagai JC, Johnny ingin mengungkapkan bahwa dirinya juga sebetulnya korban karena ada grand design yang jauh diatas kewenangannya untuk korupsi BTS yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 8 triliun.
Jadi dengan motivasi seperti ini kesannya Johnny sangat peduli dengan keadilan dan kesetaraan dan ingin menjadi JC untuk memperjuangkan hak-hak individunya yang teraniaya dan berpotensi akan diabaikan oleh sistem hukum.
Johnny merasa diperalat sehingga terpanggil untuk melawan ketidakadilan dan berharap berkontribusi dalam kasus korupsi BTS yang membelitnya.
Apapun motivasi Johnny untuk mengajukan diri sebagai JC jelas akan menguntungkan penyidik untuk mengungkapkan kasus dengan tidak perlu bersusah payah.
Apakah Johnny Memenuhi Syarat sebagai JC?
Agar seseorang bisa diterima dengan status JC dalam suatu tindak pidana harus memenuhi beberapa persyararan. Tidak semua pengajuan JC yang diajukan terdakwa akan diterima.
Kriteria untuk menjadi JC tercantum secara normatif dalam SEMA No. 4 tahun 2011.
Â
Pengertian JC yang diatur dalam SE MA No 4 Tahun 2011 adalah saksi pelaku yang bekerja sama.
Artinya, tersangka adalah salah satu pelaku dari tindak pidana korupsi, namun bukan pelaku utama.
Dalam aturannya, tersangka pidana korupsi bisa mengajukan diri menjadi JC dengan persyaratan bahwa tersangka salah satu pelaku tindak pidana korupsi atau pencucian uang, mengakui kejahatan yang telah dilakukannya, dan bukan pelaku utama kejahatan tersebut.
Jadi Johnny terlebih dahulu harus bisa meyakinkan penyidik bahwa dirinya bukan pelaku utama agar bisa diterima sebagai JC.
Selain dari membuktikan dirinya bukan sebagai  pelaku utama, keterangan yang diberikannya harus signifikan, relevan, dan andal sehingga bisa menguak secara transparan kasus korupsi BTS.
Johnny juga harus mengakui secara jujur tindakan yang dilakukannya disertai kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dengan pernyataan tertulis dan mau bekerja sama dan kooperatif dengan penegak hukum.
Bagaimana kalau seandainya Johnny sekedar mengalihkan perhatian dan membuat skenario karangan alias berbohong, sehingga berfikir bisa lolos dari jeratan hukum.
Dengan iming-iming keringanan hukuman dengan  mendapatkan peran JC tidak menutup kemungkinan akan dimanfaatkan oleh tersangka kasus korupsi.
Ada kemungkinan pihak tersangka membuat skenario karangan dengan berbohong, atau malah justru dia pelaku utama yang mencoba lolos dari hukuman berat.
Berbohong agar dapat status JC, bukanlah perkara mudah, kecuali Johnny sangat cerdas sekali. Tim jaksa yang professional tentunya tidak akan mudah terkecoh karena  bukti-bukti yang diperoleh aparat tidak semata-mata berasal dari pengakuan tersangka.
Penyidik tentunya memperoleh bukti dari banyak sumber untuk bisa menguji apakah seorang tersangka berbohong atau tidak demi status JC. Â
Selain daripada itu berbohong membutuhkan konsistensi. Â Para penuntut yang sudah dibekali kemampuan interview bisa menilai, apakah dia konsisten atau tidak dalam memberikan keterangan.
Perbuatan berbohong dalam memberikan keterangan dalam proses pro justitia mempunyai konsekuensi hukum, termasuk dalam kasus tindak pidana korupsi.
Segala apa yang diungkapkan di persidangan ada akibat hukumnya. Ada ketentuan kalau Johnny berbohong, akan dikenakan Pasal 22 pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memberi keterangan tidak benar dalam proses penyelidikan kasus korupsi, maka terancam pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun, dengan denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.
Kasus-Kasus JC yang Memperoleh Reward Dengan Pengurangan Hukuman.
Motivasi seseorang menjadi JC sangat pribadi dan bisa macam-macam, salah satunya adalah untuk bisa mendapatkan keringanan hukuman.
Salah satu JC yang mendapatkan keringanan pidana adalah kasus yang terkenal sehubungan perkara pembunuhan yang dilakukan Ferdy Sambo dimana Bharada Richard Eliezer mengajukan diri sebagai JC Â dalam perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.
Berturut-turut dari kasus-kasus korupsi  yang pernah ada, terlihat bahwa terdakwa yang mengajukan JC diringankan hukumannya.
Sugiharto, Irman, dan Andi Agustinus Kasus korupsi e-KTP mendapatkan pencerahan berkat peran tiga terdakwa yang menjadi JC.
Mereka adalah mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Sugiharto, eks Dirjen Dukcapil Irman, serta pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.Â
Dilansir dari pemberitaan Kompas.com (25/9/2018), Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) Irman dan Sugiharto.
Berdasarkan putusan PK tersebut, hukuman penjara Irman pun berkurang dari 15 tahun penjara di tingkat kasasi menjadi 12 tahun penjara.
Sementara itu, hukuman Sugiharto berkurang dari 15 tahun penjara di tingkat kasasi menjadi 10 tahun penjara.Â
Keduanya mantan pejabat Ditjen Dukcapil ini juga tetap dijatuhi hukuman denda sebesar Rp 500 juta subsider 8 bulan kurungan.Â
Salah satu pertimbangan MA mengurangi hukuman keduanya, yakni  penetapan status JC oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kemudian, seperti diberitakan Kompas.com (5/10/2018), Andi Narogong mendapatkan vonis hukuman 13 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan dari MA. Dia juga wajib membayar uang pengganti sebesar 2,15 juta dollar AS dan Rp 1,186 miliar subsider 3 tahun kurungan.
Agus Condro Mantan anggota DPR dari fraksi PDI-Perjuangan, Agus Condro, juga tercatat menjadi JC untuk kasus suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004 yang dimenangkan Miranda Goeltom.Â
Dikutip dari Kompas.com (10/8/2022), perkara korupsi yang menjerat lebih dari 26 anggota DPR periode 1999-2004 itu terbongkar berdasarkan informasi dari Agus.Â
Ia melaporkan dan menyerahkan penerimaan cek senilai Rp 500 juta ke KPK.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pun menjatuhkan vonis bersalah dan hukuman penjara selama 1 tahun 3 bulan kepada Agus pada 16 Juni 2011.Â
Pada 25 Oktober 2011, Agus mendapatkan bebas bersyarat setelah menjalani dua per tiga masa tahanannya dan ditambah remisi.Â
Pembebasan bersyarat ini juga menjadi bentuk penghargaan bagi Agus karena telah berperan menjadi JC.
Namun motivasi menjadi JC untuk mendapatkan keringanan hukuman, kadang-kadang tidak sesuai dengan keinginan pelaku yang mengajukan diri sebagai JC, misalnya dalam kasus Tommy Sumardi.
Tommy Sumardi mengajukan permohonan menjadi JC dalam kasus korupsi Djoko Tjandra pada 2020 silam.Â
Diberitakan Kompas.com (29/12/2020), Tommy berperan sebagai perantara suap dari Djoko Tjandra kepada dua jenderal polisi untuk menghapus red notice atas nama Djoko Tjandra.Â
Mengajukan diri sebagai JC saat berstatus terdakwa, Tommy Sumardi dituntut 1,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.Â
Namun, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis ultra petita atau melebihi tuntutan, yakni 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jadi bagi Tommy Sumardi, walau telah mengajukan diri sebagai JC tidak mendapat imbalan pengurangan hukuman, malah Tommy menerima hukuman lebih berat dari pada tuntutan jaksa.
Artinya status JC tidak hanya merupakan kewenangan sepenuhnya penyidik atau penuntut umum, hakim sebagai pemutus dan pihak yang menjatuhkan hukuman juga harus yakin.
Terdakwa juga harus bisa meyakinkan hakim dalam pemberian keterangannya di persidangan bahwa dia bukan pelaku utama dan memang berkontribusi secara signifikan membuat perkaranya jadi terang benderang.
Kalau terdakwa tidak bisa meyakinkan hakim, alamat akan bernasib seperti  Tommy Sumardi yang malah hukuman yang dideritanya lebih berat dari hukuman yang dituntut Jaksa penuntut umum (ultra petita).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H